Pendidikan Tinggi Dalam Perspektif Undang Undang No 2 Tahun 1989
Sekarang ini waktunya bagi kita untuk menetapkan heberapa langkah dalam rangka mengusahakan penyesuaian penyelenggaraan pendidikan tinggi dengan UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta PP No.30/1990 tentang Pendidikan Tinggi.
Usaha penyesuaian termaksud dilaksanakan secara berangsur-angsur dan sedapat mungkin tanpa mengakibatkan situasi yang stagnan bagi kelangsungan kegiatan akademik dan kelancaran administratif dalam lingkungan perguruan tinggi. Kita jangan terperdaya oleh anjuran menciptakan perubahan melalui cara dadakan dan kejutan. Meskipun di bidang lain cara demikian mungkin dilakukan, pasti tidak bijaksana untuk melancarkannya dalam bidang pendidikan. Jauh lebih berguna bagi dunia pendidikan kalau usaha perubahan itu dirintis melalui serangkaian perencanaan dan pelaksanaan bertahap. Pendekatan ini lebih terasa perlunya mengingat masih adanya berbagai diskrepansi dalam dunia pendidikan pada skala nasional.
Yang sekarang merupakan tugas mendesak ialah dilaksanakannya perubahan dalam rangka penyesuaian dengan perundang-undangan yang berlaku dan, untuk keperluan tersebut kita perlu menguasai materi perundang-undangan itu dengan sebaik-baiknya. Perlu kita ingat apa yang secara instruktif ditegaskan oleh Bapak Presiden pada saat beliau membuka Rakernas Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1990 yang lalu, sebagai berikut:
Jika usaha penyesuaian itu mungkin menimbulkan trauma, janganlah kita lantas cenderung menunda-nunda usaha itu. Akan lebih baik kita alami trauma momentum dan dengan penuh pengertian kita mengatasinya dari pada kita semakin larut dan hanyut dalam ketidakpastian oleh tiadanya tatanan.
Maka kita semua harus berusaha keras untuk memenuhi harapan tersebut dan juga menjadi dambaan masyarakat pendidikan pada umumnya demi terealisasinya sistem pendidikan nasional yang bertatanan mantap, tidak lagi gonta-ganti seiring dengan pergantian pejabat serta tidak pula terombang-ambing oleh perselisihan pendapat yang tidak bertolak dan perundang-undang sebagai sumber acuan dan arahan. Tugas kita dalam periode Pelita V adalah untuk menciptakan kerangka landasan yang kokoh guna memasuki kurun pembaangunan nasional yang akan datang dan bukan sekadar ditujukan pada terwujudnya garansi objektif untuk memulai era tinggal landas. Tidak kalah pentingnya juga adalah sikap mental dan penghayatan subjektif yang siap untuk membangun kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang ditandai oleh perilaku yang menghargai perundang-undangan yang berlaku.
Kini tiba saatnya bagi kita untuk memulai usaha-usaha penyesuaian dengan perundang-undangan yang berlaku dalam mengembangkan dunia pendidikan tinggi pada umumnya. Salah satu urgensi ialah dimilikinya statuta oleh perguruan tinggi yang menjadi dasar pengaturan rumah tangga suatu perguruan tinggi, baik sebagai lembaga maupun sebagai masyarakat akademik. Ini merupakan tindakan pertama untuk memberi makna pada otonomi perguruan tinggi sebagai lembaga dan masyarakat ilmiah.
Apabila pada kesempatan ini kita berhasil menetapkan mulai berlakunya statuta dalam lingkungan perguruan tinggi kita, hal ini jelas merupakan langkah maju yang penting artinya bagi perwujudan otonomi perguruan tinggi sebagaimana dimaksudkan oleh pasal 22 ayat 2 UU No. 2 Tahun 1989, pasal 30 dan pasal 112 PP No. 30/1990. Ini berarti bahwa diwaktu mendatang setiap perguruan tinggi memiliki landasan yang kokoh untuk mengatur rumah tangganya masing-masing berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.
Sementara kita bekerja keras untuk merintis berbagai usaha pembenahan dan penyesuaian terhadap UU yang baru berlaku sejak 2 tahun dan PP yang baru berusia satu tahun saja, sudah bermunculan pernyataan kritik terhadap keluaran perguruan tinggi, terutama menyangkut mutu lulusannya. Tidak jarang kritik yang demikian itu dilontarkan secara pukul-rata dan tanpa didukung oleh data yang tangguh sehingga mudah disangsikan keabsahannya. Sungguh merupakan suatu kecerob ohan untuk menarik kesimpulan pukul-rata yang diangkat dari pengamatan satu-dua fakta semata-mata. Inilah yang terkadang terlontar sebagai pernyataan pars pro toto yang menyesatkan atau mengelabui pandangan umum. Apalagi kalau pernyataan demikian itu diungkapkan oleh seseorang yang sesuai dengan citranya dalam masyarakat semestinya tahu bagaimana mengukuhkan pernyataannya dengan data yang cermat. Hal ini perlu ditegaskan sebab ada kalanya suatu pernyataan itu menyertakan angka dan persentase yang bukan saja tidak benar, melainkan juga tanpa mengacu kepada sumber yang cermat dan ceroboh dalam penggunaan peristilahan.
Kita tidak dapat menyangkal kenyataan bahwa pertumbuhan perguruan tinggi di Indonesia berlangsung amat pesat dan, seiring dengan proses pertumbuhan itu, terjadilah diskrepansi antara berbagai perguruan tinggi kita, terutama yang berkenaan dengan prestasi akademik serta mutu lulusannya. Mengingat pula bahwa dalam hal personalia dan perangkat serta pirantinya masih belum terwujud kesepadanan antar sesama perguruan tinggi, maka tidaklah mudah untuk menarik kesimpulan yang berlaku secara umum.
Sekalipun demikian, kita semua sejak lama bersepakat bahwa prioritas utama dalam rangka pengembangan pendidikan tinggi ialah usaha konsolidasi dan peningkatan mutu. Hal ini sudah kita galang sebagai sikap dan orientasi kita sejak Rakernas Dep P & K Tahun 1987 dan kemudian diperkuat oleh pesan GBHN 1988 yang menyatakan bahwa “Titik berat pembangunan di bidang pendidikan diletakkan pada peningkatan mutu setiap jenjang dan jenis pendidikan....” Hingga saat ini prioritas tersebut tetap kita pertahankan karena memang sejak lama kita sadari perlunya pemusatan segala daya upaya demi perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan tinggi kita pada umumnya. Di beberapa perguruan tinggi usaha ini berjalan baik, sedangkan di beberapa lainnya belum sebagaimana diharapkan. Akan tetapi, hal ini tidak mengurangi urgensi usaha tersebut bagi semua perguruan tinggi, baik kini maupun di waktu mendatang. Betapapun juga setiap perguruan tinggi sebagai lembaga ilmiah harus mampu menyejajarkan diri seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi pada umumnya, baik yang terjadi dalam lingkungan akademik maupun luarnya. Hal ini amat bergantung kepada ketekunan dan siapan masyarakat akademik dan perguruan tinggi yang bersangkutun untuk senantiasa memutakhirkan diri sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Dalam kaitan ini, kita tentunya perlu rajin mencari bahan pustaka dan publikasi dari lingkungan akademik maupun dari luarnya untuk memutakhirkan pengetahuan tentang disiplin ilmiah kita masing-masing. Hal ini tidak melulu bergantung kepada tersedianya bahan-bahan dari luar negeri, melainkan juga kepada karya ilmiah yang diterbitkan di dalam negeri dan, untuk yang belakangan ini, kita perlu menggencarkan kegiatan penulisan dan penerbitan karya ilmiah, hasil riset, dan hahkan tidak kalah pentingnya juga hasil penerjemahan.
Tuntutan untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi demikian merata disuarakan oleh mayarakat luas sehingga dapat diibaratkan sebagai “paduan suara” yang terus-menerus menggema di mana-mana. Hal ini harus menjadi pemacu kita agar tetap memusatkan segenap ikhtiar pada usaha konsolidasi serentak dengan peningkatan mutu.
Sementara itu ada kalanya penilaian terhadap “mutu akademik” itu didasarkan pada kesiapan seseorang lulusan perguruan tinggi untuk memasuki suatu lapangan kerja. Dan penamatan ini lantas timbul kecenderungan untuk mengaitkan “mutu akademik” dengan apa yang menjadi tuntutan dalam suatu lapanan kerja dengan deskripsi tugas yang khas. Pendidikan berjenjang pada umumnya harus dipahami sebagai ikhtiar yang jauh lebih luas lingkupnya daripada sekadar memolakan manusia demi kesesuaian dengan pemakaiannya sesuai dengan kebutuhan segera dan sesaat. Demikian juga halnya dengan perguruan tinggi; sekalipun pendidikan tinggi menyiapkan lulusannya dengan bekal untuk siap-kerja, bukanlah lantas berarti bahwa perguruan tinggi melulu bertugas untuk menghasilkan lulusan yang sekadar cocok (fitted into) dengan suatu tugas dengan deskripsi yang khas, melainkan harus sesuai (adjusted to) dengan tuntutan dunia kerja dalam arti yang luas, termasuk kesanggupan untuk bekerja sendiri (sel-employment) atau bahkan kesanggupan untuk berprakarsa membuka kesempatan kerja (employment-generating initiative).
Perlu segera dicatat bahwa sistem pendidikan nasional berdasarkan UU No. 2 Tahun 1989 memang tersedia jenis pendidikan yang terutama ditujukan pada kesiapan lulusannya untuk memasuki dunia kerja termasuk pada jenjang pendidikan tinggi. Penyelenggaraan upaya pendidikan yang melembaga melalui politeknik dan akademi termasuk sejumlah akademi kedinasan jelas ditujukan untuk menghasilkan lulusan yang lebh diarahkan pada dunia kerja. Hal yang sama berlaku pada jenjang sebelumnya, yaitu melalui berbagai sekolah kejuruan pada jenjang pendidikan menengah. Dalam hubungan ini dapat ditambahkan tujuan penyelenggaraan berbagai ragam kegiatan belajar melalui jalur luar sekolah.
Dengan demikian, kelirulah kalau ada orang yang bera nggapan hahwa sistem pendidikan yang kita kelola berdasarkan U No. 2 Tahun 1989 tidak memperhitungkan dimensi praktis dan pragmatis. Hal ini ditegaskan melalui sejumlah pasal dalam UU No. 2 Tahun 1989 secara konsekuen dan konsisten. Dan pasal-pasal tersebut jelaslah bahwa sistem pendidikan nasional pun memberi arah bagi terselengaranya jenjang dan jenis serta jalur pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan nyata yang praktis dan pragmatis. Dalam hubungan inilah perguruan tinggi ditugasi untuk melaksanakan kegiatan akademik yang diunggulkan sebagai Pola Ilmiah Pokok (PIP) dengan tujuan agar kesadaran (awareness) dan minat (interest) serta sikap (attitude) yang positif dari masyarakat akademik terhadap lingkungannya tetap terpelihara.
Cita-cita dan citra Pendidikan akan berubah secara mendasar kalau apa yang tersebut di atas diringkas dalam perumusan bahwa pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan pasar, yang berarti bahwa pendidikan mesti diselengarakan berdasarkan dan ditujukan terutama pada terpenuhinya proses timbale balik yang berketanjutan antara penawaran dan permintaan di pasaran kerja.
Memang ada benarnya bahwa sebagian lulusan dari suatu jenis atau jenjang pendidikan disiapkan langsung untuk menanggapi tuntutan dunia kerja. Berbagai jenis dan jenjang pendidikan telah dinyatakan memiliki kemampuan termaksud, sebagaimana ditegaskan pula oleh UU No. 2 Tahun 1989. Dalam pendidikan luar sekolah bahkan diutamakan program-program yang ditujukan pada terbukanya peluang untuk bekerja dan berpenghasilan (employment & income-generating,).
Dalam kaitannya dengan masalah pengangguran perlu ditegaskan bahwa mengaitkan pendidikan dengan pengangguran secara kausal-deterministik sangat keliru. Kalaupun ada kaitan antara keduanya, kaitan itu tidak mungkin dipolakan sebagai sebab-akibat. Mengaitkan keduanya secara kausal deterministik adalah pendekatan yang naif dan simplistik. Di lain pihak kita harus mengamati pula kenyataan bahwa, berkenaan dengan masalah pengangguran ini, pertumbuhan perguruan tinggi perlu menyusutkan berbagai bidang studi yang lulusannya sudah berlebihan (surplus) dibandingkan dengan peluang kerja dalam bidang yang bersangkutan, dan mengembangkan berbagai bidang studi yang masih kurang (minus) lulusannya untuk mengisi peluang kerja yang tersedia. Sebagai gambaran umum kiranya sudah bisa diprojeksikan pola dan kecenderungan yang akan berkembang dalam beberapa tahun mendatang dan, atas dasar itu, kita membuat perencanaan yang ditujukan pada penyusutan bidang studi yang lulusannya sudah surplus seiring dengan pengembangan bidang studi yang lulusannya masih minus, dibandingkan dengan peluang kerja yang tersedia.
Yang sekarang merupakan tugas mendesak ialah dilaksanakannya perubahan dalam rangka penyesuaian dengan perundang-undangan yang berlaku dan, untuk keperluan tersebut kita perlu menguasai materi perundang-undangan itu dengan sebaik-baiknya. Perlu kita ingat apa yang secara instruktif ditegaskan oleh Bapak Presiden pada saat beliau membuka Rakernas Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1990 yang lalu, sebagai berikut:
“Saya minta agar usaha-usaha penyesuaian itu dapat kita selesaikan sebelum kita memasuki Repelita VI yang akan datang. Dengan demikian, kita akan dapat meletakkan kerangka landasan pembangunan yang kukuh di bidang pendidikan. Pesan ini saya tujukan kepada semua pengelola berbagai jenjang pendidikan, baik negeri maupun swasta, yang sama-sama harus melaksanakan undang-undang tentang sistem pendidikan nosional yang telah kita miliki itu”.
Jika usaha penyesuaian itu mungkin menimbulkan trauma, janganlah kita lantas cenderung menunda-nunda usaha itu. Akan lebih baik kita alami trauma momentum dan dengan penuh pengertian kita mengatasinya dari pada kita semakin larut dan hanyut dalam ketidakpastian oleh tiadanya tatanan.
Maka kita semua harus berusaha keras untuk memenuhi harapan tersebut dan juga menjadi dambaan masyarakat pendidikan pada umumnya demi terealisasinya sistem pendidikan nasional yang bertatanan mantap, tidak lagi gonta-ganti seiring dengan pergantian pejabat serta tidak pula terombang-ambing oleh perselisihan pendapat yang tidak bertolak dan perundang-undang sebagai sumber acuan dan arahan. Tugas kita dalam periode Pelita V adalah untuk menciptakan kerangka landasan yang kokoh guna memasuki kurun pembaangunan nasional yang akan datang dan bukan sekadar ditujukan pada terwujudnya garansi objektif untuk memulai era tinggal landas. Tidak kalah pentingnya juga adalah sikap mental dan penghayatan subjektif yang siap untuk membangun kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang ditandai oleh perilaku yang menghargai perundang-undangan yang berlaku.
Kini tiba saatnya bagi kita untuk memulai usaha-usaha penyesuaian dengan perundang-undangan yang berlaku dalam mengembangkan dunia pendidikan tinggi pada umumnya. Salah satu urgensi ialah dimilikinya statuta oleh perguruan tinggi yang menjadi dasar pengaturan rumah tangga suatu perguruan tinggi, baik sebagai lembaga maupun sebagai masyarakat akademik. Ini merupakan tindakan pertama untuk memberi makna pada otonomi perguruan tinggi sebagai lembaga dan masyarakat ilmiah.
Apabila pada kesempatan ini kita berhasil menetapkan mulai berlakunya statuta dalam lingkungan perguruan tinggi kita, hal ini jelas merupakan langkah maju yang penting artinya bagi perwujudan otonomi perguruan tinggi sebagaimana dimaksudkan oleh pasal 22 ayat 2 UU No. 2 Tahun 1989, pasal 30 dan pasal 112 PP No. 30/1990. Ini berarti bahwa diwaktu mendatang setiap perguruan tinggi memiliki landasan yang kokoh untuk mengatur rumah tangganya masing-masing berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.
Sementara kita bekerja keras untuk merintis berbagai usaha pembenahan dan penyesuaian terhadap UU yang baru berlaku sejak 2 tahun dan PP yang baru berusia satu tahun saja, sudah bermunculan pernyataan kritik terhadap keluaran perguruan tinggi, terutama menyangkut mutu lulusannya. Tidak jarang kritik yang demikian itu dilontarkan secara pukul-rata dan tanpa didukung oleh data yang tangguh sehingga mudah disangsikan keabsahannya. Sungguh merupakan suatu kecerob ohan untuk menarik kesimpulan pukul-rata yang diangkat dari pengamatan satu-dua fakta semata-mata. Inilah yang terkadang terlontar sebagai pernyataan pars pro toto yang menyesatkan atau mengelabui pandangan umum. Apalagi kalau pernyataan demikian itu diungkapkan oleh seseorang yang sesuai dengan citranya dalam masyarakat semestinya tahu bagaimana mengukuhkan pernyataannya dengan data yang cermat. Hal ini perlu ditegaskan sebab ada kalanya suatu pernyataan itu menyertakan angka dan persentase yang bukan saja tidak benar, melainkan juga tanpa mengacu kepada sumber yang cermat dan ceroboh dalam penggunaan peristilahan.
Kita tidak dapat menyangkal kenyataan bahwa pertumbuhan perguruan tinggi di Indonesia berlangsung amat pesat dan, seiring dengan proses pertumbuhan itu, terjadilah diskrepansi antara berbagai perguruan tinggi kita, terutama yang berkenaan dengan prestasi akademik serta mutu lulusannya. Mengingat pula bahwa dalam hal personalia dan perangkat serta pirantinya masih belum terwujud kesepadanan antar sesama perguruan tinggi, maka tidaklah mudah untuk menarik kesimpulan yang berlaku secara umum.
Sekalipun demikian, kita semua sejak lama bersepakat bahwa prioritas utama dalam rangka pengembangan pendidikan tinggi ialah usaha konsolidasi dan peningkatan mutu. Hal ini sudah kita galang sebagai sikap dan orientasi kita sejak Rakernas Dep P & K Tahun 1987 dan kemudian diperkuat oleh pesan GBHN 1988 yang menyatakan bahwa “Titik berat pembangunan di bidang pendidikan diletakkan pada peningkatan mutu setiap jenjang dan jenis pendidikan....” Hingga saat ini prioritas tersebut tetap kita pertahankan karena memang sejak lama kita sadari perlunya pemusatan segala daya upaya demi perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan tinggi kita pada umumnya. Di beberapa perguruan tinggi usaha ini berjalan baik, sedangkan di beberapa lainnya belum sebagaimana diharapkan. Akan tetapi, hal ini tidak mengurangi urgensi usaha tersebut bagi semua perguruan tinggi, baik kini maupun di waktu mendatang. Betapapun juga setiap perguruan tinggi sebagai lembaga ilmiah harus mampu menyejajarkan diri seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi pada umumnya, baik yang terjadi dalam lingkungan akademik maupun luarnya. Hal ini amat bergantung kepada ketekunan dan siapan masyarakat akademik dan perguruan tinggi yang bersangkutun untuk senantiasa memutakhirkan diri sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Dalam kaitan ini, kita tentunya perlu rajin mencari bahan pustaka dan publikasi dari lingkungan akademik maupun dari luarnya untuk memutakhirkan pengetahuan tentang disiplin ilmiah kita masing-masing. Hal ini tidak melulu bergantung kepada tersedianya bahan-bahan dari luar negeri, melainkan juga kepada karya ilmiah yang diterbitkan di dalam negeri dan, untuk yang belakangan ini, kita perlu menggencarkan kegiatan penulisan dan penerbitan karya ilmiah, hasil riset, dan hahkan tidak kalah pentingnya juga hasil penerjemahan.
Tuntutan untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi demikian merata disuarakan oleh mayarakat luas sehingga dapat diibaratkan sebagai “paduan suara” yang terus-menerus menggema di mana-mana. Hal ini harus menjadi pemacu kita agar tetap memusatkan segenap ikhtiar pada usaha konsolidasi serentak dengan peningkatan mutu.
Sementara itu ada kalanya penilaian terhadap “mutu akademik” itu didasarkan pada kesiapan seseorang lulusan perguruan tinggi untuk memasuki suatu lapangan kerja. Dan penamatan ini lantas timbul kecenderungan untuk mengaitkan “mutu akademik” dengan apa yang menjadi tuntutan dalam suatu lapanan kerja dengan deskripsi tugas yang khas. Pendidikan berjenjang pada umumnya harus dipahami sebagai ikhtiar yang jauh lebih luas lingkupnya daripada sekadar memolakan manusia demi kesesuaian dengan pemakaiannya sesuai dengan kebutuhan segera dan sesaat. Demikian juga halnya dengan perguruan tinggi; sekalipun pendidikan tinggi menyiapkan lulusannya dengan bekal untuk siap-kerja, bukanlah lantas berarti bahwa perguruan tinggi melulu bertugas untuk menghasilkan lulusan yang sekadar cocok (fitted into) dengan suatu tugas dengan deskripsi yang khas, melainkan harus sesuai (adjusted to) dengan tuntutan dunia kerja dalam arti yang luas, termasuk kesanggupan untuk bekerja sendiri (sel-employment) atau bahkan kesanggupan untuk berprakarsa membuka kesempatan kerja (employment-generating initiative).
Perlu segera dicatat bahwa sistem pendidikan nasional berdasarkan UU No. 2 Tahun 1989 memang tersedia jenis pendidikan yang terutama ditujukan pada kesiapan lulusannya untuk memasuki dunia kerja termasuk pada jenjang pendidikan tinggi. Penyelenggaraan upaya pendidikan yang melembaga melalui politeknik dan akademi termasuk sejumlah akademi kedinasan jelas ditujukan untuk menghasilkan lulusan yang lebh diarahkan pada dunia kerja. Hal yang sama berlaku pada jenjang sebelumnya, yaitu melalui berbagai sekolah kejuruan pada jenjang pendidikan menengah. Dalam hubungan ini dapat ditambahkan tujuan penyelenggaraan berbagai ragam kegiatan belajar melalui jalur luar sekolah.
Dengan demikian, kelirulah kalau ada orang yang bera nggapan hahwa sistem pendidikan yang kita kelola berdasarkan U No. 2 Tahun 1989 tidak memperhitungkan dimensi praktis dan pragmatis. Hal ini ditegaskan melalui sejumlah pasal dalam UU No. 2 Tahun 1989 secara konsekuen dan konsisten. Dan pasal-pasal tersebut jelaslah bahwa sistem pendidikan nasional pun memberi arah bagi terselengaranya jenjang dan jenis serta jalur pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan nyata yang praktis dan pragmatis. Dalam hubungan inilah perguruan tinggi ditugasi untuk melaksanakan kegiatan akademik yang diunggulkan sebagai Pola Ilmiah Pokok (PIP) dengan tujuan agar kesadaran (awareness) dan minat (interest) serta sikap (attitude) yang positif dari masyarakat akademik terhadap lingkungannya tetap terpelihara.
Cita-cita dan citra Pendidikan akan berubah secara mendasar kalau apa yang tersebut di atas diringkas dalam perumusan bahwa pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan pasar, yang berarti bahwa pendidikan mesti diselengarakan berdasarkan dan ditujukan terutama pada terpenuhinya proses timbale balik yang berketanjutan antara penawaran dan permintaan di pasaran kerja.
Memang ada benarnya bahwa sebagian lulusan dari suatu jenis atau jenjang pendidikan disiapkan langsung untuk menanggapi tuntutan dunia kerja. Berbagai jenis dan jenjang pendidikan telah dinyatakan memiliki kemampuan termaksud, sebagaimana ditegaskan pula oleh UU No. 2 Tahun 1989. Dalam pendidikan luar sekolah bahkan diutamakan program-program yang ditujukan pada terbukanya peluang untuk bekerja dan berpenghasilan (employment & income-generating,).
Dalam kaitannya dengan masalah pengangguran perlu ditegaskan bahwa mengaitkan pendidikan dengan pengangguran secara kausal-deterministik sangat keliru. Kalaupun ada kaitan antara keduanya, kaitan itu tidak mungkin dipolakan sebagai sebab-akibat. Mengaitkan keduanya secara kausal deterministik adalah pendekatan yang naif dan simplistik. Di lain pihak kita harus mengamati pula kenyataan bahwa, berkenaan dengan masalah pengangguran ini, pertumbuhan perguruan tinggi perlu menyusutkan berbagai bidang studi yang lulusannya sudah berlebihan (surplus) dibandingkan dengan peluang kerja dalam bidang yang bersangkutan, dan mengembangkan berbagai bidang studi yang masih kurang (minus) lulusannya untuk mengisi peluang kerja yang tersedia. Sebagai gambaran umum kiranya sudah bisa diprojeksikan pola dan kecenderungan yang akan berkembang dalam beberapa tahun mendatang dan, atas dasar itu, kita membuat perencanaan yang ditujukan pada penyusutan bidang studi yang lulusannya sudah surplus seiring dengan pengembangan bidang studi yang lulusannya masih minus, dibandingkan dengan peluang kerja yang tersedia.
0 Response to "Pendidikan Tinggi Dalam Perspektif Undang Undang No 2 Tahun 1989"
Posting Komentar