Taman Kanak Kanak Sebagai Pendidikan Prasekolah
Pengalaman penyelenggaraan taman kanak-kanak (TK) sudah cukup lama dikenal di Indonesia, khususnya di daerah perkotaan. Cukup banyak TK yang melaksanakan pendidikan prasekolah dalam arti sesungguhnya. Namun, tidak sedikit pula TK yang akhir-akhir ini cenderung menyimpang dari tujuan semula diselenggarakannya pendidikan prasekolah melalui wujud TK. Bahkan dilaporkan adanya TK yang acara kegiatannya makin merupakan duplikasi dan makin kehilangan ciri sebagai pendidikan prasekolah. Berbagai alasan dikemukakan untuk membenarkan “ditingkatkannya TK’ hingga mirip sekolah (SD), antara lain karena nyatanya anak mampu “mengikuti pelajaran” yang disajikan. Padahal bukanlah keajaiban kalau sampai batas tertentu anak-anak di TK dapat “mengikuti pelajaran” yang disediakan untuk masa awal di SD. Anak di TK pun dapat dipaksa menyelesaikan pekerjaan rumah (PR), apalagi jika dihadang “hukuman” kalau tidak mengerjakan.
Berbagai alasan itu dapat dimengerti dari sudut pandang orang tua yang mendambakan percepatan prestasi anak, akan tetapi apakah hal ini bisa dibenarkan mengingat kepentingan tahap-tahap perkembangan anak sesuai dengan kodratnya?
Sejak dimulai oleh Friedrich Frobel, penyelenggara TK sengaja dirancang sebagai upaya persiapan anak memasuki SD dan ditegaskan sebagai pendidikan prasekolah. Untuk menyegarkan ingatan kita, berikut ini disajikan gagasan dan prakarsa F. Frobel. Memang benar bahwa dalam perkembangannya kemudian ada beberapa pendapat yang berbeda dengan penye1engaraan TK gaya röbel. Pendekatan yang berbeda antara lain diperkenalkan oleh M. Montessori. Akan tetapi, perbedaan itu bukan terletak pada hakikat TK sebagai pendidikan pra-sekojah, melainkan oleh adanya perbedaan teori tentang bermain, yang pada gilirannya membedakan cara bermain dan alat permainan antara TK yang satu dan TK lainnya. Adapun TK sebagai pendidikan prasekojah tetap mempertahankan asasnya, yaitu sebagai wahana belajar sambil bermain atau bermain sambil belajar serta mengantar anak ke dalam proses sosialisasi lebih lanjut.
Di antara nama-nama yang terkenal dalam sejarah pendidikan tercatat nama Friedrich Frobel (1782-1852); seorang yang kurang mengalami kebahagiaan masa kecilnya, tetapi kemudian mewujudkan gagasan yang sampai kini disenangi oleh anak usia prasekolah.
Frobel mengamati betapa bermain itu merupakan kenikmatan bagi seorang anak. Nyata sekali bahwa bermain dan permainan itu merupakan kesempatan bagi seorang anak untuk membangun dunianya sendiri, betapapun dunia itu dunia khayalannya belaka. Kita semua dapat mengamati sendiri betapa asyiknya seorang anak yang sedang bermain. Melalui bermain si anak menemui kebebasannya untuk membangun dunia serba kemungkinan.
Keasyikan anak untuk sepenuhnya berada dalam dunia bermain itu membawa Frobel sampai pada kesimpulan bahwa setiap anak harus mendapat kesempatan untuk bermain. Bermain adalah hak anak dan tidak boleh diasingkan dari seorang anak apabila diinginkan pertumbuhan dan perkembangan anak cecara wajar. Frobel bahkan berpendapat hahwa kebebasan anak berkhayal selama bermain tidak perlu dikekang sebab, seusai bermain, anak akan kembali lagi pada dunia realitas. Oleh sebab itu, Frobel pun beranggapan bahwa bermain adalah kegiatan sesaat yang dinikmati oleh anak dalam kekiniannya, terlepas dari suatu orientasi ke masa lalu atau ke masa depan.
Memperhatikan betapa pentingnya arti bermain bagi anak dan demi terwujudnya kesempatan bermain sebagai hak tiap anak, Frobel memandang perlu untuk memanfaatkan periode bermain itu menjelang saat seorang anak masuk sekolah besar (sekolah dasar).
Hari pertama masuk sekolah besar tidak selalu berlangsung mulus dan lancar; tidak jarang anak merasa enggan, bahkan cemas untuk dilepas dari tuntunan ibu dan ditinggalkan di sekolah. Sekolah seolah-olah meniadakan kebebasan yang semula dialami oleh anak dalam dunia bermain. Anak harus menyesuaikan diri dengan tatatertib dan aturan yang berlaku sama bagi semua anak. Keberadaan anak di tengah lingkunan yang baru ini mungkin menggelisahkan, sekalipun sebagian besar adalah anak sebaya dirinya. Ibu guru adalah pusat wibawa yang harus diperhatikan. Pendeknya hari-hari pertama anak di sekolah sarat dengan tantangan. Sekolah terutama merupakan tempat belajar, sekalipun diselingi jam istirahat untuk bermain.
Untuk melancarkan peralihan anak dan bermain ke belajar itu, Frobel mendirikan Kindergarten, dengan menonjolkan makna garten: taman yang menyenangkan. Frobel yakin bahwa melalui Kindergarten anak dapat dipersiapkan untuk beralih secara lancar dari bermain ke belajar. Di Kindergarten anak bermain, sekarang tidak seorang diri saja, melainkan bersama dengan teman-teman sebayanya. Meskipun demikian, karena suasana bermain masih amat menonjol, anak mudah terbiasa dalam kebersamaan itu. Anak tidak terlampau dikekang oleh tatatertib dan peraturan yang ketat. Sekalipun demikian, proses sosialisasi berangsur-angsur terjadi dan membuat anak makin lama makin sadar akan ketertiban. Ia pun makin terbiasa dengan ibu guru sebagai pemandu kegiatan bersama.
Bermain dan permainan selama di Kindergarten adalah cara yang paling cocok untuk melakukan pendekatan edukatif untuk menyiapkan anak masuk sekolah besar. Bermain dan permainan tidak diasingkan dari alam anak, melainkan justru dimanfaatkan untuk melancarkan peralihan anak ke alam belajar kemudian. Itulah tujuan Frobel mendirikan Kindergarten yang pertama pada tahun 1837 di Blankenburg, Thuringia.
Di Kindergarten yang pertama itu Frobel menerapkan apa yang menjadi pandangannya tentang bermain sebagai ciri kodrati pada anak yang perlu dileluasakan berkembangnya. Kebebasan bermain itu berguna untuk merangsang kreativitas anak, antara lain melalui khayalannya. Kebebasan ini sempat membuat gusar kalangan pemerintah Prusia waktu itu sehingga pada tahun 1851 sekolah Frobel itu ditutup karena pendidikan cara Frobel itu dianggap menanamkan ciri-ciri liberalisme. Baru sepuluh tahun kemudian (1861) Frobel diperkenankan membuka kembali sekolahnya. Sejak saat itu berkemhanglah Kindergarten dan menyebarlah model pendidikan Frobel ke banyak negara lain.
Demikianlah, maka pendidikan prasekolah model Frobel ini selalu ditandai oleh kegiatan bermain sebagai acara utamanya. Andaikata pun ada unsur “belajar”, maka cara yang ditempuh ialah bermain sambil belajar. Jika ada perbedaan dalam pendidikan prasekoiah ini, perbedaan itu pasti disebabkan oleh adanya perbedaan teori tentang bermain; bukan meniadakan atau mengurangi nilai bermain itu sendiri. Maria Montessori bertolak dan teori bermain yang berbeda dengan pandangan Frobel, mengubah cara bermain dan jenis permainan anak prasekojah. Akan tetapi, Ia tidak mengubah ke utamaan peran bermain dalam pendidikan prasekolah. Jadi, baik Frobel maupun Montessori sama pendapatnya tentang perlunya diutamakan bermain dalam pendidikan prasekolah; hanya antara keduanya terdapat perbedaan persepsi dan konsepsi tentang bermain.
Bertolak dari pandangan itulah, maka di mana pun adanya pendidikan prasekolah model Frobel itu tetap disebut garten (taman) demi memelihara kesan nyaman untuk bermain. Seperti halnya dalam bahasa-bahasa lain, maka dalam bahasa Indonesia sebutan “taman” dipergunakan sampai sekarang: taman kanak-kanak.
Tentu akan menjadi lain sifatnya jika taman kanak-kanak itu “dibesarkan” mirip sekolah dasar, misalnya dengan bebas tugas untuk pekerjaan rumah, ada anak yang tinggal kelas, dan sebagainya. Kiranya jua berlebihan untuk mengacarakan “upacara wisuda TK” sebagai penutup masa prasekolah di taman kanak-kanak. Tentu saja dapat diselengg arakan pesta perpisahan yang serba-riang; tetapi kiranya tidak perlu diciptakan kebiasaan bagi “wisudawan TK” untuk mengenakan toga, apalagi untuk itu ada pungutan biaya.
Perlu dicatat bahwa, sampai saat ini, TK hanyalah merupakan gejala di daerah perkotaan. Hal itu tidak berarti bahwa di setiap kota sudah cukup jumlah TK-nya. Adapun di pedesaan TK masih merupakan keistimewaan. Padahal di desa pun mungkin diselenggarakan TK kalau saja yang diterapkan adalah pendekatan yang sesuai dengan asas belajar-sambil bermain atau bermain-sambil belajar. Malahan boleh jadi di desa ragam permainan anak banyak yang akrab terjalin dengan alam sekitar anak. Desa niscaya banyak memberikan peluan untuk kegiatan luar (outdoors) seperti jalan-jalan menikmati alam bebas, menghimpun hal-hal yang khas yang ada di kawasan sekitar TK, begitu juga cukup banyak cerita setempat yang mengandung nilai edukatif untuk dituturkan kepada anak, dan sebagainya. Sementara kenyataan masih menunjukkan bahwa TK hanya merupakan gejala perkotaan, jangan timbul kesan seakan-akan TK hanyalah privilege orang kota, apalagi yang mahal pembiayaannya bagi orangtua.
Kearifan orang seperti Frobel terletak pada pengamatannva bahwa bermain adalah gejala yang sesuai dengan kodrat anak. Menyanggah kodrat anak berarti mengekang hak anak untuk mengalami kenikmatan dan kebahagiaan serta kepuasan sesuai dengan usianya.
Anak adalah anak, dengan kodratnya serta dunianya yang khas. Anak tidak perlu dipaksa dan dipacu untuk mempercepat proses pendewasaannva. Tiap tahap perkembangan yang dilalui secara wajar jauh lebih baik bagi pembentukan watak dan kepribadian anak dibandingkan dengan pemaksaan dengan kemungkinan terjadinya pengalaman traumatis demi mempercepat tempo perkembangannya. Anak tidak perlu diperlakukan sebagai buah karbitan karena setiap tahap perkembangan anak menampilkan kepekaan tertentu yang patut diberi perhatian demi kepentingan aktualisasi dirinya sebagai anak. Demikianlah, TK seharusnya merupakan tempat anak berbagi suasana riang sambil belajar dengan teman sebayanya karena, dalam kebersamaan itulah, seorang anak bisa menikmati keadaan bebas-beban (carefree) meskipun tidak berarti boleh berbuat semaunya sendiri (careless).
Dengan berlakunya PP Nomor 27/1990 tentang Pendidikan Prasekolah, maka sepatutnya dibenahi penyelenggaraan TK sesuai dengan PP itu agar tidak menyimpang dari gagasan awalnya, yaitu TK sebagai persiapan yang berguna bagi anak sebelum sekolah besar, tegasnya TK harus hanya merupakan upaya pendidikan prasekolah.
Berbagai alasan itu dapat dimengerti dari sudut pandang orang tua yang mendambakan percepatan prestasi anak, akan tetapi apakah hal ini bisa dibenarkan mengingat kepentingan tahap-tahap perkembangan anak sesuai dengan kodratnya?
Sejak dimulai oleh Friedrich Frobel, penyelenggara TK sengaja dirancang sebagai upaya persiapan anak memasuki SD dan ditegaskan sebagai pendidikan prasekolah. Untuk menyegarkan ingatan kita, berikut ini disajikan gagasan dan prakarsa F. Frobel. Memang benar bahwa dalam perkembangannya kemudian ada beberapa pendapat yang berbeda dengan penye1engaraan TK gaya röbel. Pendekatan yang berbeda antara lain diperkenalkan oleh M. Montessori. Akan tetapi, perbedaan itu bukan terletak pada hakikat TK sebagai pendidikan pra-sekojah, melainkan oleh adanya perbedaan teori tentang bermain, yang pada gilirannya membedakan cara bermain dan alat permainan antara TK yang satu dan TK lainnya. Adapun TK sebagai pendidikan prasekojah tetap mempertahankan asasnya, yaitu sebagai wahana belajar sambil bermain atau bermain sambil belajar serta mengantar anak ke dalam proses sosialisasi lebih lanjut.
Di antara nama-nama yang terkenal dalam sejarah pendidikan tercatat nama Friedrich Frobel (1782-1852); seorang yang kurang mengalami kebahagiaan masa kecilnya, tetapi kemudian mewujudkan gagasan yang sampai kini disenangi oleh anak usia prasekolah.
Frobel mengamati betapa bermain itu merupakan kenikmatan bagi seorang anak. Nyata sekali bahwa bermain dan permainan itu merupakan kesempatan bagi seorang anak untuk membangun dunianya sendiri, betapapun dunia itu dunia khayalannya belaka. Kita semua dapat mengamati sendiri betapa asyiknya seorang anak yang sedang bermain. Melalui bermain si anak menemui kebebasannya untuk membangun dunia serba kemungkinan.
Keasyikan anak untuk sepenuhnya berada dalam dunia bermain itu membawa Frobel sampai pada kesimpulan bahwa setiap anak harus mendapat kesempatan untuk bermain. Bermain adalah hak anak dan tidak boleh diasingkan dari seorang anak apabila diinginkan pertumbuhan dan perkembangan anak cecara wajar. Frobel bahkan berpendapat hahwa kebebasan anak berkhayal selama bermain tidak perlu dikekang sebab, seusai bermain, anak akan kembali lagi pada dunia realitas. Oleh sebab itu, Frobel pun beranggapan bahwa bermain adalah kegiatan sesaat yang dinikmati oleh anak dalam kekiniannya, terlepas dari suatu orientasi ke masa lalu atau ke masa depan.
Memperhatikan betapa pentingnya arti bermain bagi anak dan demi terwujudnya kesempatan bermain sebagai hak tiap anak, Frobel memandang perlu untuk memanfaatkan periode bermain itu menjelang saat seorang anak masuk sekolah besar (sekolah dasar).
Hari pertama masuk sekolah besar tidak selalu berlangsung mulus dan lancar; tidak jarang anak merasa enggan, bahkan cemas untuk dilepas dari tuntunan ibu dan ditinggalkan di sekolah. Sekolah seolah-olah meniadakan kebebasan yang semula dialami oleh anak dalam dunia bermain. Anak harus menyesuaikan diri dengan tatatertib dan aturan yang berlaku sama bagi semua anak. Keberadaan anak di tengah lingkunan yang baru ini mungkin menggelisahkan, sekalipun sebagian besar adalah anak sebaya dirinya. Ibu guru adalah pusat wibawa yang harus diperhatikan. Pendeknya hari-hari pertama anak di sekolah sarat dengan tantangan. Sekolah terutama merupakan tempat belajar, sekalipun diselingi jam istirahat untuk bermain.
Untuk melancarkan peralihan anak dan bermain ke belajar itu, Frobel mendirikan Kindergarten, dengan menonjolkan makna garten: taman yang menyenangkan. Frobel yakin bahwa melalui Kindergarten anak dapat dipersiapkan untuk beralih secara lancar dari bermain ke belajar. Di Kindergarten anak bermain, sekarang tidak seorang diri saja, melainkan bersama dengan teman-teman sebayanya. Meskipun demikian, karena suasana bermain masih amat menonjol, anak mudah terbiasa dalam kebersamaan itu. Anak tidak terlampau dikekang oleh tatatertib dan peraturan yang ketat. Sekalipun demikian, proses sosialisasi berangsur-angsur terjadi dan membuat anak makin lama makin sadar akan ketertiban. Ia pun makin terbiasa dengan ibu guru sebagai pemandu kegiatan bersama.
Bermain dan permainan selama di Kindergarten adalah cara yang paling cocok untuk melakukan pendekatan edukatif untuk menyiapkan anak masuk sekolah besar. Bermain dan permainan tidak diasingkan dari alam anak, melainkan justru dimanfaatkan untuk melancarkan peralihan anak ke alam belajar kemudian. Itulah tujuan Frobel mendirikan Kindergarten yang pertama pada tahun 1837 di Blankenburg, Thuringia.
Di Kindergarten yang pertama itu Frobel menerapkan apa yang menjadi pandangannya tentang bermain sebagai ciri kodrati pada anak yang perlu dileluasakan berkembangnya. Kebebasan bermain itu berguna untuk merangsang kreativitas anak, antara lain melalui khayalannya. Kebebasan ini sempat membuat gusar kalangan pemerintah Prusia waktu itu sehingga pada tahun 1851 sekolah Frobel itu ditutup karena pendidikan cara Frobel itu dianggap menanamkan ciri-ciri liberalisme. Baru sepuluh tahun kemudian (1861) Frobel diperkenankan membuka kembali sekolahnya. Sejak saat itu berkemhanglah Kindergarten dan menyebarlah model pendidikan Frobel ke banyak negara lain.
Demikianlah, maka pendidikan prasekolah model Frobel ini selalu ditandai oleh kegiatan bermain sebagai acara utamanya. Andaikata pun ada unsur “belajar”, maka cara yang ditempuh ialah bermain sambil belajar. Jika ada perbedaan dalam pendidikan prasekoiah ini, perbedaan itu pasti disebabkan oleh adanya perbedaan teori tentang bermain; bukan meniadakan atau mengurangi nilai bermain itu sendiri. Maria Montessori bertolak dan teori bermain yang berbeda dengan pandangan Frobel, mengubah cara bermain dan jenis permainan anak prasekojah. Akan tetapi, Ia tidak mengubah ke utamaan peran bermain dalam pendidikan prasekolah. Jadi, baik Frobel maupun Montessori sama pendapatnya tentang perlunya diutamakan bermain dalam pendidikan prasekolah; hanya antara keduanya terdapat perbedaan persepsi dan konsepsi tentang bermain.
Bertolak dari pandangan itulah, maka di mana pun adanya pendidikan prasekolah model Frobel itu tetap disebut garten (taman) demi memelihara kesan nyaman untuk bermain. Seperti halnya dalam bahasa-bahasa lain, maka dalam bahasa Indonesia sebutan “taman” dipergunakan sampai sekarang: taman kanak-kanak.
Tentu akan menjadi lain sifatnya jika taman kanak-kanak itu “dibesarkan” mirip sekolah dasar, misalnya dengan bebas tugas untuk pekerjaan rumah, ada anak yang tinggal kelas, dan sebagainya. Kiranya jua berlebihan untuk mengacarakan “upacara wisuda TK” sebagai penutup masa prasekolah di taman kanak-kanak. Tentu saja dapat diselengg arakan pesta perpisahan yang serba-riang; tetapi kiranya tidak perlu diciptakan kebiasaan bagi “wisudawan TK” untuk mengenakan toga, apalagi untuk itu ada pungutan biaya.
Perlu dicatat bahwa, sampai saat ini, TK hanyalah merupakan gejala di daerah perkotaan. Hal itu tidak berarti bahwa di setiap kota sudah cukup jumlah TK-nya. Adapun di pedesaan TK masih merupakan keistimewaan. Padahal di desa pun mungkin diselenggarakan TK kalau saja yang diterapkan adalah pendekatan yang sesuai dengan asas belajar-sambil bermain atau bermain-sambil belajar. Malahan boleh jadi di desa ragam permainan anak banyak yang akrab terjalin dengan alam sekitar anak. Desa niscaya banyak memberikan peluan untuk kegiatan luar (outdoors) seperti jalan-jalan menikmati alam bebas, menghimpun hal-hal yang khas yang ada di kawasan sekitar TK, begitu juga cukup banyak cerita setempat yang mengandung nilai edukatif untuk dituturkan kepada anak, dan sebagainya. Sementara kenyataan masih menunjukkan bahwa TK hanya merupakan gejala perkotaan, jangan timbul kesan seakan-akan TK hanyalah privilege orang kota, apalagi yang mahal pembiayaannya bagi orangtua.
Kearifan orang seperti Frobel terletak pada pengamatannva bahwa bermain adalah gejala yang sesuai dengan kodrat anak. Menyanggah kodrat anak berarti mengekang hak anak untuk mengalami kenikmatan dan kebahagiaan serta kepuasan sesuai dengan usianya.
Anak adalah anak, dengan kodratnya serta dunianya yang khas. Anak tidak perlu dipaksa dan dipacu untuk mempercepat proses pendewasaannva. Tiap tahap perkembangan yang dilalui secara wajar jauh lebih baik bagi pembentukan watak dan kepribadian anak dibandingkan dengan pemaksaan dengan kemungkinan terjadinya pengalaman traumatis demi mempercepat tempo perkembangannya. Anak tidak perlu diperlakukan sebagai buah karbitan karena setiap tahap perkembangan anak menampilkan kepekaan tertentu yang patut diberi perhatian demi kepentingan aktualisasi dirinya sebagai anak. Demikianlah, TK seharusnya merupakan tempat anak berbagi suasana riang sambil belajar dengan teman sebayanya karena, dalam kebersamaan itulah, seorang anak bisa menikmati keadaan bebas-beban (carefree) meskipun tidak berarti boleh berbuat semaunya sendiri (careless).
Dengan berlakunya PP Nomor 27/1990 tentang Pendidikan Prasekolah, maka sepatutnya dibenahi penyelenggaraan TK sesuai dengan PP itu agar tidak menyimpang dari gagasan awalnya, yaitu TK sebagai persiapan yang berguna bagi anak sebelum sekolah besar, tegasnya TK harus hanya merupakan upaya pendidikan prasekolah.
0 Response to "Taman Kanak Kanak Sebagai Pendidikan Prasekolah"
Posting Komentar