-->

Tradisi Turun Baka Pada Masyarakat Minangkabau


TRADISI TURUN BAKA PADA MASYARAKAT KELURAHAN
LUBUK BUAYA KECAMATAN KOTO TANGAH PADANG
Tradisi Turun Baka Pada Masyarakat Minangkabau


Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang dalam kehidupannya kaya akan seni dan adat. Hal ini tercermin dalam upacara-upacara adat yang dilakukan dalam memperingati dan merayakan kejadian-kejadian penting sehubungan dengan siklus hidup manusia. Seperti kelahiran, atau turun mandi, upacara perkawinan, upacara batagak gala, upacara pengangkatan penghulu, upacara kematian, dan lain-lain. Upacara-upacara ini menjadi sebuah kebiasaan hidup yang berkembang dan dipertahankan masyarakat setempat.
Dengan adanya upacara-upacara adat tersebut dapat dilihat bahwa masyarakat dan kebudayaan emnjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan, karena masyarakat merupakan wadah tempat tumbuh dan berkembangnya kebudayaan. Dimana kebudayaan itu memiliki nilai-nilai yang akan melahirkan kebiasaan yang direflekan oleh anggota masyarakatnya dalam kehidupan mereka.
Pada umumnya dalam melaksanakan upacara-upacara adat, masyarakat Minangkabau memiliki solidaritas yang cukup tinggi, sumando manyumando, bako anak pisang serta masyarakat sekitar akan hadir secara bersama. Hal ini tertuang dalam pepatah “karajo baik baimbauan, karajo buruak baambauan”. Pepatah adat tersebut mengandung pengertian bila ada pekerjaan baik (misalnya pesta pernikahan) harus diberitahukan kepada orang banyak, dan bila yang bersangkutan mendapat musibah, kerabat dan masyarakat sekitar juga akan berdatangan tanpa diundang.
Begitu pula halnya dengan masyarakat Lubuk Buaya yang sampai sekarang masih melaksanakan Tradisi Turun Baka. Baka adalah sebuah upacara adat pada saat manyaratuih hari (100 hari). Ini merupakan upacara untuk melepas kepergian bagi orang yang telah meninggal dunia.
Baka terdiri dari Payuang karateh (payung kertas), kambuik yang berisi bareh dan pinyaram (beras dan makanan kecil kas masyarakat Lubuk Buaya), tabu sakarek (tebu sepotong), cerek kaco ( teko kaca), galeh (gelas) pisang tigo sikek (pisang tiga sisir) yang terdiri dari 3 jenis pisang yang berbeda, kain saruang (kain sarung) dan samba baarok’an dengan dulang (sambal yang disusun di atas dulang).
Turun Baka merupakan salah satu ritual yang penting dilakukan saat penyelenggaraan kematian di Lubuk Buaya. Namun seiring perkembangannya IPTEK (Ilmu Pengetahudan dan Teknologi), tradisi Turun Baka ini mulai bergeser dan sebahagian masyarakat Lubuk Buaya bahkan sudah mulai menghilangkannya.
Masyarakat Lubuk Buaya merupakan masyarakat yang sudah terpengaruh dengan kebudayaan modern, karena letaknya tidak begitu jauh dengan pusat Kota Padang. Seperti yang kita ketahui perubahan sosial akan lebih cepat terjadi pada masyarakat perkotaan. Dibandingkan dengan masyarakat desa masyarakat Kota Padang seperti masyarakat perkotaan lainnya, juga tampak lebih dinamis, mempunyai tingkat pendidikan dan mengenal keterampilan yang lebih tinggi, mengenal teknologi yang lebih maju. Sehingga masyarakat menyerap teknologi modern dalam segenap aspek kehidupannya. Keberhasilan dalam sektor ekonomi memberi pengaruh lain dalam kehidupan sosial masyarakat, yang memberi pengaruh terhadap perkembangan sosial budaya. Begitu pula dengan masyarakat Lubuk Buaya.
Baka merupakan acara adat pada saat menyaratuih hari (100 hari) setelah manigo hari (3 hari), mamarik (7 hari), dan ampek puluh ampek hari (44 hari). Baka bagi masyarakat Lubuk Buaya adalah bekal yang disiapkan untuk orang yang telah meninggal. Karena pada saat 100 hari tersebut orang-orang yang telah meninggal itu akan benar-benar pergi meninggalkan rumah yang dulu pernah ditempatinya. Berdasarkan kepercayaan orang Lubuk Buaya sebelum seratus hari orang telah meninggal itu masih bergentayangan di sekitar rumah tinggalnya. Jadi saat dia akan pergi perlu disediakan Baka baginya untuk perjalanan ke akhirat.
Baka terdiri dari payuang karateh, gambuik yang berisi beras dan kue pinyaram, gelas, pisang tiga sisir, tebu, kain sarung serta sambal yang disusun di atas dulang atau nampan. Baka ini dibawakan oleh Minantu, atau istri dari anak laki-laki orang yang meninggal, Bisan dan orang-orang yang terdekat.
Upacara kematian adalah suatu upacara yang diadakan untuk menghormati orang yang sudah meninggal dunia, dimana upacara yang dilaksanakan sesuai dengan adat dan kebiasaan dari masyarakat yang bersangkutan. Proses penyelenggaraan upacara kematian di Minangkabau pada umumnya terdiri atas memandikan, mengkafani, menguburkan dan mendoakan jenazah. Tradisi Turun Baka ini dilaksanakan sesudah penyelenggaraan rangkaian proses di atas.
Tradisi turun baka telah dilaksanakan sejak lama dari generasi ke generasi dan telah menjadi tradisi masyarakat Lubuk Buaya. Tradisi ini erat kaitannya dengan kebutuhan bersama suatu masyarakat. Segala aktivitas kebudayaan pada dasarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhann naluriah makhluk manusia yang berhubungan dengan kehidupan.
Memahami keberadaan tradisi Turun Baka di Lubuk Buaya, dapat dianalisis dengan neofungsionalisme yang dikembangkan oleh Jeffrey Alexandaer dan Paul Colomy 14. Teori ini merupakan bagian dari upaya untuk membangkitkan kembali teori fungsionalisme struktural. Akan tetapi berbeda dengan fungsionalisme struktural sebelumnya yang anti perubahan, dalam hal ini neofungsionalisme mengakui pentingnya perubahan dalam sebuah sistem. Beberapa orientasi dasar yang dikemukakan oleh Alexander dan Colony tentang neofungsionalisme adalah: Pertama, neofungsionalisme melihat masyarakat tersusun dari unsur-unsur yang saling berinteraksi menurut pola tertentu. Unsur-unsur sistem berhubungan secara simbiosis dan interaksinya tidak ditentukan oleh kekuatan semata.
Kedua, neofungsionalisme memusatkan perhatian yang sama besar terhadap tindakan dan keteraturan. Ini berarti menghindarkan kecendrungan fungsionalisme struktural tradisional yang memusatkan perhatian hampir sepenuhnya pada sumber dan keteraturan. Tingkat maksro di dalam struktur sosial dan kultur. Perspektif ini memberikan perhatian yang lebih mikro. Selain itu juga mempunyai per perhatian besar terhadap tindakan tidak hanya yang rasional tetapi juga tindakan ekspresif.
Ketiga, neofungsionalisme tetap memperhatikan masalah integrasi, tetapi bukan dilihat sebagai kemungkinan sosial. Neofungsionalisme memperhatikan keseimbangan. Keseimbangan sosial tidak dilihat sebagai keseimbangan statis, tetapi dilihat sebagai titik rujukan untuk analisis fungsional dan bukan sebagai deskripsi kehidupan individual sosial yang nyata.
Keempat, neofungsionalisme tetap menerima penekanan parson atas kepribadian, kultur, dan sistem sosial. Selain sebagai aspek vital untuk struktur sosial. Interpretasi atas sistem sosial itu juga menghasilkan ketegangan yang merupakan sumber perubahan dan kontrol. Kelima, neofungsionalisme memusatkan perhatian pada perubahan sosial dan proses diferensiasi di dalam sistem sosial, kultur dan kepribadian. Perubahan tak hanya menghasilkan keselarasan dan konsensus, tetapi juga dapat menimbulkan ketegangan, baik individual maupun kelembagaan. Keenam, neofungsionalisme secara tak langsung menyatakan komitmennya terhadap kebebasan dalam mengkonseptualisasikan dan menyusun teori berdasarkan analisis sosiologis pada tingkat.
Tradisi Turun Baka merupakan salah satu ritual yang penting dilakukan saat penyelenggaraan kematian di Lubuk Buaya. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mempertahankan keberadaan tradisi tersebut. Upaya yang dilakukan tidak terlepas dari fungsi tradisi tersebut bagi masyarakat. Suatu unsur kebudayaan akan bertahan apabila masih berfungsi dalam kehidupan, sebaliknya unsur-unsur itu akan punah apabila tidak berfungsi lagi bagi masyarakatnya. Tradisi Turun Baka pada intinya menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat Lubuk Buaya. Beberapa aspek kegiatan Baka ada yang bertahan dan ada yang dihilangkan. Aspek yang bertahan dianggap aspek yang relevan dengan kehidupan saat ini, sementara aspek yang hilang merupakan hal yang dinilai tidak relevan dengan kehidupan mereka sekarang. Perubahan dalam hal ini dipandang sebagai suatu yang wajar dan sudah semestinya terjadi sehingga tercipa keseimbangan.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Tradisi Turun Baka Pada Masyarakat Minangkabau"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel