-->

Makalah Tentang Kenakalan Remaja dan Kegemaran Berkelahi Secara Massal


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kejahatan dan kenakalan remaja tidak dapat dilepaskan dari konteks kondisi sosial-budaya zamannya. Sebab setiap periode sifatnya khas, dan memberikan jenis tantangan khusus kepada generasi mudanya; sehingga anak-anak muda ini mereaksi dengan cara yang khas pula terhadap stimuli sosial yang ada.
Pada tahun-tahun 1970-an kenakalan remaja di kota-kota besar di tanah air sudah menjurus pada kejahatan yang lebih serius; antara lain berupa tindak kekerasan, penjambretan secara terang-terangan di siang hari, penggarongan, perbuatan seksual dalam bentuk perkosaan beramai-ramai sampai melakukan pembunuhan, dan perbuatan kriminal lainnya yang berkaitan dengan kecanduan bahan narkotik.
Makalah Tentang Kenakalan Remaja dan Kegemaran Berkelahi Secara Massal

Pada saat sekarang ini gejala kenakalan remaja menjadi semakin meluas, baik dalam frekuensi maupun dalam keseriusan kualitas kejahatannya. Hal ini dapat dilihat dari : semakin banyaknya pengedaran dan penggunaan ganja dan bahan-bahan narkotik di tengah masyarakat yang juga memasuki kampus dan ruang sekolah; peristiwa banyaknya anak “teler” dan semakin meningkatnya jumlah remaja yang terbiasa menenggak minuman keras; penjambretan dan keberandalan di jalan-jalan ramai; tindak-tindakan kekerasan oleh kelompok-kelompok anak muda; penganiayaan berat, perkosaan sampai pada pembunuhan secara berencana; pemerasan atau pengkompasan di sekolah-sekolah terhadap murid yang lemah yang mempunyai orang tua yang kaya raya. Disamping itu juga banyak terjadi pelanggaran terhadap norma-norma susila lewat praktek seks bebas, cinta bebas, “kumpul kebo”, permainan bagong lieur (babi mabuk, yaitu gadis-gadis remaja yang melacurkan diri tanpa imbalan uang), pereks (perempuan eksperimen), bondon (boneka Don Juan yang mudah dibawa), serta perkelahian masal antar kelompok dan antar sekolah.
B.     Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan selain untuk melengkapi tugas akhir pada mata kuliah Perkembangan Peserta Didik juga untuk memaparkan tentang hakekat kanakalan remaja dan kegemaran berkelahi secara massal serta faktor-faktor penyebab kenakalan remaja tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hakikat Kenakalan Remaja Dan Arti Perkelahian Antar Kelompok
Anak-anak remaja yang ikut-ikutan mengambil bagian dalam aksi-aksi perkelahian beramai-ramai antar gang dan antar sekolah, yang acapkali secara tidak sadar melakukan tindak kriminal dan antisosial itu pada umumnya adalah anak-anak norma yang berasal dari keluarga baik-baik. Hanya oleh satu bentuk pengabaian psikis tertentu mereka kemudian melakukan mekanisme kompensatoris guna menuntut perhatian lebih, khususnya untuk mendapatkan pengakuan lebih terhadap egonya yang merasa tersisih atau terlupakan, dan tidak mendapatkan perhatian yang pantas dari orang tua sendiri maupun dari masyarakat luas.
Tingkah laku delinkuen itu pada umumnya merupakan kegagalan sistem kontrol diri terhadap impuls-impuls yang kuat dan dorongan-dorongan instinktif. Impuls-impuls kuat, dorongan primitif dan sentimen-sentimen hebat itu kemudian disalurkan lewat perbuatan kejahatan, kekerasan, dan agresi keras, yang di anggap mengandung nilai lebih oleh anak-anak remaja tadi. Karena itu mereka perlu memamerkan energi dan semangat hidupnya dalam wujud aksi bersama atau perkelahian massal.
Dengan begitu anak-anak remaja yang merasa kesepian, marah, bingung serta sengsara batinnya itu sebab merasa selalu dihambat dan dihalang-halangi keinginannya untuk memainkan peranan sosial tertentu, secara spontan di antara mereka saling tarik-menarik dan saling mebutuhkan. Anak-anak muda yang merasa senasib sepenanggungan karena “ditolak” oleh masyarakat itu secara otomatis lalu menggerombol, mencari dukungan moril guna memainkan peranan sosial yang berarti, dan melakukan perbuatan spektakuler bersama-sama. Karena itulah maka gerombolan anak muda ini senang berkelahi, atau melakukan “perang” antar kelompok supaya lebih nampak, dan untuk menonjolkan egonya.
Pada umumnya gang kriminal pada masa awalnya merupakan kelompok bermain yang dinamis. Permainan yang mula-mula bersifat netral, baik dan menyenangkan, kemudian ditransformasikan dalam aksi eksperimental bersama yang berbahaya dan sering mengganggu atau merugikan orang lain. Pada akhirnya kegiatan tadi ditingkatkan menjadi perbuatan kriminal.
Jiwa kelompok ini menumbuhkan kerelaan berkorban dan semangat saling tolong-menolong pada setiap saat, khususnya pada waktu-waktu kritis/gawat. Karena itu bagi anak-anak muda tadi, gang sendiri menjadi satu realita supranatural yang berdiri di atas segala-galanya, berdiri di atas semua kepentingan. Maka tantangan serta kesakitan hati dan jasmaniah yang diderita oleh seorang anggota kelompok, secara otomatis menjadi tantangan dan kesakitan bagi segenap anggota kelompok, yang harus dilawan dan dibalaskan dengan keras. Hukum pembalasan harus ditegakkan. Karena itu kelompok harus melakukan vendetta (balas dendam) terhadap “serangan” dari luar, lewat aksi perkelahian massal antar kelompok atau antar sekolah, demi gengsi dan prestige kelompok.
Di dalam gangnya, sekalipun mereka melakukan perang batu dan perang antarsekolah, anak-anak remaja merasa bersemangat, aman, dan terlindung. Sebab di dalamnya merasa lebih kokoh, kuat, dan bisa memainkan peranan penting seperti yang mereka harap-harapkan. Maka kelompok ini oleh anak dianggap sebagai alas dasar bagi martabat dan harga diri mereka, dalam mana sang ego mendapat arti khusus, punya posisi, dan bisa memainkan peranan menonjol. Tumbuhlah kemudian proses identifikasi terhadap kelompok sendiri, yang secara perlahan-lahan bisa memunculkan rasa aku-susial anak, dengan sikap, kebiasaan, sentimen, fanatisme, cara berpikir dan pola tingkah-laku tersendiri. Maka identifikasi ini merupakan gejala inti dari setiap pembentukan kelompok, dalam mana seseorang bisa menemukan diri/pribadinya kembali pada kawasan sekelompoknya.




Selanjutnya, kegemaran perkelahian massal antarsekolah dan antarkelompok remaja itu mencerminkan dua peristiwa penting, yaitu :
-          Merupakan pencerminan secara mini dari perilaku masyarakat orang dewasa pada saat sekarang.
-          Disamping mencerminkan peningkatan ambisi dan pelampiasan reaksi-frustasi negatif, sebab mereka merasa marah, tertekan dan dihalang-halangi “untuk menjadi” oleh masyarakat luar.

B.     Faktor Penyebab Terjadinya Perkelahian Antarsekolah Dan Antarkelompok
Kegemaran berkelahi secara massal di antara anak-anak sekolah lanjutan di sebabkan oleh dua faktor eksternal.
1.      Faktor Internal
Faktor internal atau faktor endogen berlangsung lewat proses internalisasi-diri yang keliru oleh anak-anak remaja dalam menanggapi milieu di sekitarnya dan semua peranguh dari luar. Tingkah laku mereka itu merupakan reaksi yang salah atau irrasional dari proses belajar, dalam bentuk ketidakmampuan mereka melakukan adaptasi terhadap lingkungan sekitar. Dengan kata lain, anak-anak remaja itu melakukan mekanisme pelarian diri dan pembelaan diri yang salah atau tidak rasional dalam wujud: kebiasaan maladaptif, agresi, dan pelanggaran terhadap norma-norma sosial dan hukum formal; diwujudkan dalam bentuk kejahatan, kekerasan, kebiasaan berkelahi massal dan sebagainya.
a.       Reksi Frustasi Negatif
Dengan semakin pesatnya usaha pembangunan, modernisasi, urbanisasi dan industrialisasi yang berakibat semakin kompleksnya masyarakat sekarang, semakin banyak pula anak remaja yang tidak mampu melakukan penyesuaian diri terhadap berbagai perubahan sosial itu. Mereka lalu mengalami banyak kejutan, fustrasi, konflik terbuka baik eksternal maupun internal, ketegangan batin dan gangguan kejiwaan. Apalagi ditambah oleh semakin banyaknya tuntutan sosial, sanksi-sanksi dan tekanan sosial/masyarakat yang mereka anggap melawan dorongan kebebasan mutlak dan ambisi mereka yang sedang menggebu-gebu.
Ditengah hiruk pikuk kehidupan yang serba tergesa-gesa dan banyak menuntut itu anak muda harus ikut berpacu dan bersaing dalam perlombaan hidup. Misalnya berebut naik kendaraan umum atau kereta api menuju ke sekolah, kebut-kebutan mengendarai motor bersaing dengan mobil-mobil mewah, berlomba merebut kesempatan sekolah atau kuliah ke perguruan tinggi dan sebagainya. Disamping dipenuhi oleh kegiatan formal yang baik-baik, juga ada diwarnai dengan tingkah laku orang dewasa yang kriminal, manipulatif, korup, licik, intrik politik, kemunafikan dan ancaman-ancaman lahir-batin. Semua kejadian itu ikut dihayati oleh anak-anak remaja, yang sering kali menimbulkan rasa dendam, marah, cemas dan ketegangan batin pada diri mereka.
Jadi tingkah laku, ugal-ugalan, berandalan, bahkan sering menjurus pada kriminalitas itu, merupakan kegagalan sistem pengontrol diri anak terhadap dorongan-dorongan instinktifnya. Dengan kata lain, anak muda tidak mampu mengendalikan naluri (instink) dan dorongan-dorongan primitifnya, dan tidak bisa menyalurkannya ke dalam perbuatan yang bermanfaat dan lebih berbudaya. Misalnya mereka terlalu los, tidak terkendali, berbuat semau sendiri, ingin selalu berkuasa, menggunakan hukum sendiri, mau terus dimanja, serakah, tanpa disiplin, dan bentuk salah tingkah lainnya.
Pandangan psikoanalisa menyatakan bahwa sumber semua gangguan psikiatris, termasuk pula gangguan pada proses perkembangan anak remaja menuju pada kedewasaan serta proses adaptasinya terhadap tuntutan lingkungan sekitar, ada pada individu itu sendiri, berupa :
a)      Konflik batiniah, yaitu pertentangan antara dorongan infantil kekanak-kanakan melawan pertimbangan yang lebih rasional. Terjadilah kemudian banyak ketegangan jiwa dan kecemasan, sehingga menghambat atau membelokkan adaptasi anak terhadap tuntutan lingkungan.
b)      Pemasakan intrapsikis yang keliru terhadap segala pengalaman, sehingga terjadi harapan palsu, fantasi, ilusi, kecemasan (sifatnya semu, tapi dihayati oleh anak sebagai kenyataan). Sebagai akibatnya, anak mereaksi dengan pola tingkah laku yang salah, berupa: apatisme, putus asa, pelarian diri, agresi, gejala-gejala “amok”/mengamuk, kegila-gilaan, tindak kekerasan, kegemaran berkelahi dan lain-lain.
c)      Menggunakan reaksi frustasi negatif (mekanisme pelarian dan pembelaan diri yang salah), lewat cara-cara penyelesaian yang tidak rasional. Anak mencoba membela diri dan kelemahan dan kekerdilan sendiri dengan menggunakan macam-macam dalih, reaksi dan perilaku yang tidak wajar.
Semua mekanisme reaktif tersebut di atas sangat tidak sehat sifatnya, dan dampaknya amat merisaukan jiwa anak remaja; bahkan bisa membuat mereka salah tingkah, dan menggunakan mekanisme reaksi frustasi negatif. Reaksi sedemikian ini tidak akan dapat memecahkan kesulitan anak dengan memuaskan; sebaliknya memberikan kepuasan palsu dan menambah kesulitan serta konflik batin anak menjadi lebih komulatif lagi. Muncullah kemudian semakin banyak ketegangan, tekanan batin, kemarahan, ketakutan dan kecemasan, yang semakin membuat anak menjadi salah tingkah, dan tidak mampu menanggapi kesulitan hidupnya dengan jalan yang wajar. Terjadilah lingkaran setan yang makin menyulitkan hidupnya.
Beberapa reaksi frustasi negatif yang biasa menyebabkan anak remaja salah-ulah ialah :
1)      Agresi, yaitu reaksi primtif dalam bentuk kemarahan hebat dan ledakan emosi tanpa kendali, serangan, kekerasan, tingkah laku kegila-gilaan dan sadistis. Kemarahan hebat tersebut sering mengganggu intelegensi dan kepribadian anak, sehingga kalut batinnya, lalu melakukan perkelahian, kekerasan, kekejaman, teror terhadap lingkungan dan tindak agresi lainnya.
2)      Regresi, yaitu reaksi primitif, kekanak-kanakan, infantil, tidak sesuai dengan tingkat usia anak, yang semuanya akan mengganggu kemampuan adaptasi anak terhadap kondisi lingkungannya.
3)      Fiksasi, yaitu peletakkan pada satu pola tingkah laku yang kaku, stereotipis dan tidak wajar. Misalnya mau hidup santai, suka “ngambeg”, berlaku keras dan kasar, suka mendendam, suka berkelahi dan lain-lain.
4)      Rasionalisasi yaitu cara menolong diri yang tidak wajar, dengan membuat sesuatu yang tidak rasional menjadi rasional. Sedang sebab musabab kegagalan dan kelemahan sendiri selalu dicari pada orang lain, guna menghibur diri sendiri dan membela harga diri. Dengan demikian tingkah laku anak, khususnya reaksi adaptasinya menjadi salah kaprah dan salah bentuk.
5)      Pembenaran diri, yaitu cara pembenaran diri sendiri dengan dalih yang tidak rasional. Sebagai akibatnya, perilaku anak menjadi tidak terkendali.
6)      Proyeksi, yaitu melemparkan atau memproyeksikan isi pikiran, perasaan, harapan yang negatif, kekerdilan dan kesalahan sendiri kepada orang lain. Anak mencoba mengingkari kelemahan sendiri, lalu memproyeksikan isi kehidupan psikis yang negatif kepada orang lain; khususnya dipakai untuk membela harga diri sendiri.
7)      Identifikasi, yaitu menyamakan diri sendiri yang selalu gagal dan tidak mampu mereaksi dengan tepat terhadap lingkungan dengan tokoh-tokoh yang dianggap sukses; antara lain mengidentifikasikan diri dengan tokoh-tokoh Mafia dan dunia kelam lain.
8)      Narsisme, yaitu menganggap diri sendiri superior, paling penting, maha bisa, paling kuasa dan segala “paling” lainnya. Anak remaja menjadi sangat egosentris dan egoistis, dan dipenuhi cinta-diri berlebih-lebihan. Mereka menjadi sangat kebal terhadap nasihat baik, sulit mendengarkan argumentasi orang lain, senang meledak-ledak dan berkelahi, dan bertingkah laku semau sendiri.
9)      Autisme, kecendrungan menutup diri secara total terhadap dunia luar; dunia sekitar dianggap kotor, jahat dan palsu. Hanya diri sendirilah yang dianggap baik dan benar; sedang segala sesuatu di luar dirinya perlu dihindari dan dicurigai.

b.      Gangguan Pengamatan dan Tanggapan Pada Anak-anak Remaja
Gangguan pengamatan dan tanggapan ini antara lain berupa: ilusi, halusinasi, dan gambaran semu (waanvoorstelling).
Tanggapan anak tidak merupakan pencerminan realitas lingkungan yang nyata, tetapi berupa pengolahan batin yang keliru, sehingga timbul interpretasi dan pengertian dan pengertian yang salah sama sekali. Sebabnya ialah semua itu diwarnai harapan yang terlalu muluk, dan kecemasan yang berlebihan; dunia dan masyarakat tampak mengerikan dan mengandung bahaya laten di mata anak. Sebagai akibat jauhnya, anak-anak remaja ada yang berubah menjadi agresif dan eksplosif menghadapi segala macam “tekanan dan bahaya dari luar”. Karena itu reaksinya berupa: cepat naik darah, cepat bertindak menyerang, dan berkelahi.

c.       Gangguan Berpikir dan Intelegensi Pada Diri Remaja
Berpikir mutlak perlu bagi kemampuan orientasi yang sehat dan adaptasi wajar terhadap tuntutan lingkungan. Berpikir juga penting bagi upaya memecahkan kesulitan dan permasalahan hidup sehari-hari. Jika anak remaja tidak mampu mengoreksi pikiran-pikirannya yang salah dan tidak sesuai dengan realita yang ada, maka pikirannya terganggu; ia kemudian dihinggapi bayangan semu yang palsu. Lalu pole reaktifnya juga menjadi menyimpang dan tidak normal lagi.
Anak yang sehat pasti mampu membetulkan kekeliruan sendiri dengan jalan: berpikir logis, dan mampu membedakan fantasi dari kenyataan. Jadi ada reality-testing yang sehat. Sebaliknya, orang yang terganggu jiwanya akan memperalat pikiran sendiri untuk membela dan membenarkan gambaran-gembaran semu dan tanggapan yang salah. Akibatnya, reaksi dan tingkah laku anak menjadi salah kaprah; bisa menjadi liar tidak terkendali, selalu memakai cara-cara yang keras dan perkelahian dalam menanggapi segala kejadian.
Inteligensi atau kecerdasan dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengguinakan secara tepat cermat efisien alat-alat bantu berpikir guna memecahkan masalah dan adaptasi diri terhadap tuntutan-tuntutan baru. Maka inteligensi bisa diartikan pula sebagai potensi mawas situasi dengan cepat dan cermat.
Orang tua, pendidik, otoritas lainnya (misalnya pemerintah, polisi, hukum, dan lain-lain) bisa menghambat atau bisa menstimulir baik daya pikir dan inteligensi anak. Bisa menghambat antara lain dengan jalan: menekan dan menghukum anak-anak secara tak adil, mengadakan macam-macam larangan yang tidak wajar, mencanangkan kebodohonan artifisial, mengindoktrinasikan ajaran-ajaran yang dogmatis keliru, menanamkan perasaan berdosa, tabu, dan seterusnya. Sebaliknya juga bisa menstimulir dengan jalan: memberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam penentuan keputusan, belajar memecahkan masalah dengan menggunakan beberapa alternatif, memberikan kesempatan untuk beremansipasi dan memainkan peranan yang lebih penting lainnya.

d.      Gangguan Perasaan/Emosional Pada Anak-anak Remaja
Perasaan memberikan nilai pada situasi kehidupan, dan menentukan sekali besar kecilnya kebahagiaan serta rasa kepuasan. Perasaan bergandengan dengan pemuasan terhadap harapan, keinginan dan kebutuhan manusia. Jika semua tadi terpuaskan, orang merasa senang dan bahagia; sebaliknya jika keinginan dan kebutuhannya tidak terpenuhi, ia mengalami kekecewaan dan banyak frustasi. Maka perasaan selalu mengiringi proses “ketegangan oleh kebutuhan” dan proses pemuasan kebutuhan.
Pada proses penghayatan makna hidup, perasaan memegang peranan penting, bahkan primer. Karena itu memperhatikan perasaan anak remaja yang tengah berkembang juga perasaan orang lain adalah sama dengan memperhatikan kebutuhan serta keinginan manusiawi mereka.
Gangguan-gangguan fungsi perasaan ini antara lain berupa :
a.       Inkontinensi emosional.
b.      Labilitas emosional.
c.       Ketidakpekaan dan menumpulnya perasaan.
d.      Ketakutan dan kecemasan.
e.       Perasaan rendah diri.

2.      Faktor Eksternal
Faktor eksternal atau faktor eksogen dikenal pula sebagai pengaruh alam sekitar, faktor sosial atau faktor sosiologis adalah semua perangsang dan pengaruh luar yang menimbulkan tingkah laku tertentu pada anak-anak remaja (tindak kekerasan, kejahatan, perkelahian massal dan seterusnya).
a.       Faktor Keluarga
Keluarga adalah lembaga pertama dan utama dalam melaksanakan proses sosialisasi dan sivilisasi pribadi anak. Di tengah keluarga anak belajar mengenal makna cinta kasih, simpati, loyalitas, ideologi, bimbingan dan pendidikan. Keluarga memberikan pengaruh menentukan pada pembentukan watak dan kepribadian anak; dan menjadi unit sosial terkecil yang memberikan fondasi primer bagi perkembangan anak. Baik buruknya struktur keluarga memberikan dampak baik atau buruknya perkembangan jiwa dan jasmani anak.

b.      Lingkungan Sekolah yang tidak Menguntungkan
Kondisi buruk ini antara lain berupa bangunan sekolah yang tidak memenuhi persyaratan, tanpa halaman bermain yang cukup luas, tanpa ruang olahraga, minimnya fasilitas ruang  belajar, jumlah murid dalam satu kelas yang terlalu banyak dan padat (50-60 orang), ventilasi dan sanitasi yang buruk, dan sebagainya. Semua keadan itu tidak menyenangkan anak-anak muda untuk belajar di sekolah.
Selanjutnya, berjam-jam lamanya setiap hari anak-anak harus melakukan kegiatan yang tertekan, duduk, dan pasif mendengarkan, sehingga mereka menjadi jemu, jengkel dan apatis.
Anak merasa sangat dibatasi gerak-geriknya, dan merasa tertekan batinnya (dilarang bertanya kalau tidak perlu). Kurang sekali kesempatan yang diberikan oleh sekolah untuk melakukan ekspresi bebas, baik yang bersifat fisik maupun psikis; sebab semua sudah diatur dan dipastikan, mengikuti buku, kurikulum dan satuan pelajaran yang sudah “baku”.
Sekolah kita sampai waktu sekarang masih banyak berfungsi sebagai “sekolah dengar” daripada memberikan kesempatan luas untuk membangun aktivitas, kreativitas dan inventivitas anak. Dengan demikian sekolah tidak membangun dinamisme anak, dan tidak merangsang kegairahan belajar anak.

c.       Faktor Lingkungan
Lingkungan sekitar tidak selalu baik dan menguntungkan bagi pendidikan perkembangan anak. Lingkungan adakalanya dihuni oleh orang dewasa serta anak-anak muda kriminal dan anti-sosial, yang bisa merangsang timbulnya reaksi emosional buruk pada anak-anak puber dan adolensens yang masih labil jiwanya. Dengan begitu anak-anak remaja ini mudah terjangkit oleh pola kriminal, asusila dan anti sosial tadi.
Kelompok orang dewasa yang kriminal dan asusila tersebut biasanya terdiri atas orang-orang gelandangan, tidak punya rumah dan pekerjaan yang tetap, malas bekerja namun berambisi besar untuk hidup mewah dan bersenang-senang. Karena itu mereka menempuh jalan pintas, menyerempet-menyerempet bahaya dengan melakukan tindak kriminal dan kekerasan. Pola hidup dan kebiasaan mereka banyak ditirukan oleh gang-gang pemuda berandalan, baik yang masih bersekolah maupun yang putus sekolah.
Jiwa para remaja itu amat labil. Jika mereka mendapatkan pengaruh buruk dari film biru, buku porno, bacaan immoral dan sadistis, banyak melihat perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh orang dewasa, maka mereka dengan mudah akan terjangkit perilaku buruk tadi (dijadikan pola kebiasaan yang menetap). Lalu beroperasilah gang-gang remaja berandalan yang biasanya “gagal belajar”, dengan jalan menyebar teror di tengah lingkungan, selalu membuat onar dan berkelahi sepanjang hari.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Jika kita mau jujur dan dengan mata terbuka melihat gejala kenakalan remaja dan perkelahian antarkelompok serta antar sekolah dapat kita mengambil kesimpulan sebagai berikut :
  1. Kenakalan remaja dan perkelahian massal itu merupakan refleksi dari perbuatan orang dewasa di segala sekotor kehidupan yang dipenuhi bayang-bayang hitam dan pergaulan seru (penuh intrik, kekerasan, kekejaman, nafsu kekuasaan, kemunafikan, kepalsuan, dan lain-lain) yang terselubung rapi dengan gaya yang elegant dan keapikan.
  2. Merupakan proses peniruan atau identifikasi anak remaja terhadap segala gerak-gerik dan tingkah laku orang dewasa “modern dan berbudaya” sekarang ini.

B.     Saran
Oleh karena itu, jika kita ingin menyembuhkan gejala patologis yang disebut sebagai kenakalan remaja dan perkelahian antar kelompok anak-anak muda itu, seyogyanya kita melakukan perbuatan sebagai berikut :
  1. Banyak mawas diri, melihat kelemahan dan kekurangan diri sendiri; dan melakukan koreksi terhadap kekeliruan yang sifatnya tidak mendidik dan tidak menuntun itu. Sebaliknya, memperbanyak kearifan, kebaikan dan keadilan, agar kita (orang dewasa) bisa dijadikan panutan bagi anak-anak muda, demi perkembangan dan proses kultivasi generasi penerus kita.
  2. Berilah kesempatan kepada anak muda untuk beremansipasi dengan cara yang baik dan sehat, menyertakan mereka pada kegiatan menentukan keputusan penting demi keadilan yang lebih merata dan peningkatan kesejahteraan rakyat pada umumnya.
  3. Memberikan bentuk kegiatan dan pendidikan yang lebih relevan dengan kebutuhan anak muda zaman sekarang, serta ada kaitannya dengan pengembangan bakat dan potensi anak muda, lagi pula mempunyai sambungan dengan profesi/penkerjaan anak muda di masa-masa mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

-          Kartini, Kartono, 2006. Kenakalan Remaja. Jakarta: Grapindo Persada.

-          Soetejo, Ichwan, 1995. Penyelamatan Generasi Penerus. Bandung: Bulan Bintang.

-          Tabah, Anton, 1992. Kejahatan Narkoba dan Masalah Pembinaan Generasi Muda. Jakarta

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Makalah Tentang Kenakalan Remaja dan Kegemaran Berkelahi Secara Massal"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel