-->

Sejarah Lengkap Perang Aceh (Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Belanda)

Sebagaimana diketahui bahwa kesultanan Aceh telah berdiri sejak tahun 1507 yang diperintah oleh seorang sultan yang bernama Sultan Alial Moghayat Syah, dan mencapai titik kejayaannya pada saat Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam berkuasa (1607-1636). Sejak itu kesultanan Aceh mengalami kemunduran, dengan pertentangan diantara para pewaris, sehingga menimbulkan kerajaan kecil-kecil di daerah-daerah.


Walau demikian, kesultanan Aceh yang luas itu tidak pernah terjajah baik oleh Portugis, Inggris maupun Belanda, sampai tahun 1873. Untuk menjaga netralisasi kesultanan Aceh; Inggeris dan Belanda negara kolonial yang berkuasa di semenanjung Malaysia dan Indonesia, pada tahun 1824 telah mengadakan perjanjian di London, yang terkenal dengan nama Traktat London, dimana antara lain berisi:
  1. Belanda mengundurkan diri dari Semenanjung Malaysia dengan jalan menyerahkan Malaka dan Singapura kepada Inggeris;
  2. Inggerismengundurkan diridariIndonesiadengan Jalan menyerahkan Bengkulu dan NiaskepadaBelanda;
  3. Belanda harus menjamin keamanan di perairan Aceh, tanpa mengganggu kedaulatan negara itu.

Netralisasi kesultanan Aceh yang berdaulat, sejak tahun 1863 secara diam-diam tidak diakui lagi oleh Belanda. Sebab pada tahun itu, Sultan Deli yang dejure berada di bawah kekuasaan Aceh telah mengadakan perjanjian kerjasama dengan Belanda, dimana dinyatakan bahwa Deli hanya mematuhi segala ketentuan dari Batavia. Dengan perjanjian ini, Sultan Mahmud telah memberi konsesi kepada Belanda untuk membuka perkebunan tembakau secara besar-besaran di Deli dengan syarat-syarat yang sangat menguntungkan. Pada tahun 1864 penguasa kolonial Belanda telah dapat mengekspor tembakau ke Negeri Belanda dengan keuntungan yang sangat menggiurkan.

Untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, pada tahun 1870 setelah didirikan satu perusahaan tembakau dengan nama 'Deli Maatschappij', yang kantor pusatnya berkedudukan di Amsterdam, Belanda. Pada tahun pertamanya perusahaan baru itu telah mengeluarkan 200% dividen; pada tahun kedua 330%, pada tahun ketiga 1300%. Perusahaan Deli Maatschappij telah memberi keuntungan yang luar biasa kepada penguasa Hindia Belanda.

Pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869, merubah alur pelayaran dari Eropa ke Asia Timur tidak lagi melalui selatan, yaitu melalui Selat Sunda, tetapi lewat Aden dan Kolombo terus ke Selat Malaka. Dengan demikian posisi pulau Sumatera, khususnya Aceh menjadi sangat strategis. Aceh yang telah mengetahui rencana pembukaan Terusan Suez dan posisinya di kemudian hari yang sangat strategis dalam alur pelayaran internasional, serta sangat mungkin menggiurkan negara-negara kolonial seperti Inggeris dan Belanda untuk mencaploknya, maka pada tahun 1868 delegasi kesultanan Aceh berlayar menuju Istambul untuk memohon kepada Sultan Turki agar menjadi pelindung kekhalifahan kekuasaan tertinggi atas Negara Islam Aceh. Turki yang dalam posisi sangat lemah, karena menghadapi negara-negara Kristen Eropa, terutama Perancis dan Inggeris, tidak mampu untuk memberikan payung pengaman kepada Negara Islam Aceh yang letaknya begitu jauh dari Turki. Dengan demikian missi delegasi Aceh gagal.

Selain itu keberhasilan penguasa kolonial Hindia Belanda dalam menumpas peperangan-peperangan Banten, Jawa, Padri dan Banjarmasin menumbuhkan rasa superioritas yang angkuh, bahwa seluruh Indonesia bisa menjadi daerah jajahannya dalam waktu yang tidak terlalu lama. Satu-satunya daerah di Indonesia yang belum terjamah oleh Belanda hanyalah Aceh. Sesuai dengan watak kolonialis Eropa-Kristen, khususnya Belanda, hal-hal tersebut diatas seperti keuntungan dan terbukanya terusan Suez dan keberhasilan menumpas perlawanan umat Islam, mereka berbulat hati untuk melakukan ekspansi kekuasaan kolonialnya ke Aceh.

Rencana untuk mencaplok kesultanan Aceh; dimulai oleh pertemuan Menteri Jajahan Belanda E. De Waal dengan duta besar Inggeris Harris di Denhaag pada tahun 1869. Hasil dari persekongkolan E. De Waal dan Harris (Belanda dan Inggeris) membuahkan laporan Kepada Raja Belanda, dimana de Waal pada bulan Juni 1870 menulis berdasarkan perundingan-perundingan dengan Inggeris, bahwa Aceh demi kepentingan politik yang mendesak harus dikuasai Belanda.

Sejalan dengan hasil perundingan ini, maka Inggeris meminta pendapat gubernurnya di Singapura, Sir Harry St, untuk memberikan pertimbangannya. Pada tanggal 9 Desember 1859, Sir Harry memberi jawaban bahwa direbutnya Aceh oleh Belanda akan sangat menguntungkan bagi perdagangan Inggeris. Pendapat Sir Harry dipublisir oleh media Massa di Singapura, antara lain "Penang Gazette" tertanggal 10 Nopember 1871, di mana berbunyi "Makin cepat ada suatu negara Eropa yang berwenang campur tangan di Aceh, makin cepat pula daerah-daerah ini yang dahulu begitu subur dengan hasil-hasil bumi timur akan hidup kembali dan akan pulih dari keruntuhannya sekarang".

Pada akhir Nopember 1871 lahirlah apa yang disebut Traktat Sumatera, dimana disebutkan dengan jelas" Inggeris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda dibagian manapun di Sumatera. Pembatasan pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh dibatalkan". Usaha-usaha untuk menyerbu Aceh, makin santer didengarkan baik Nederland maupun di Batavia, sehingga mendorong Multatuli pada bulan Oktober 1872 menulis surat terbuka kepada Raja dimana antara lain berbunyi: "Gubernur Jenderal Anda, Tuanku dengan bermacam dalih yang dicari-cari, paling-paling berdasarkan alasan provokasi yang dibuat-buat, bersikap memaklumkan perang kepada sultan Aceh, dengan tujuan merampas kedaulatan kesultanan itu, Tuanku, perbuatan ini tidak berbudi, tidak luhur, tidak jujur, tidak bijaksana."

Peringatan yang dilancarkan oleh Multatuli, tidak dihiraukan sama sekali, dianggap angin lalu saja. Persiapan-persiapan kearah operasi militer terus dilakukan. Setelah telegram program menyerbu dari Den Haag tertanggal 18 Februari 1873 diterima oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, London, maka segera ia mengangkat Nieuwenhuyzen, ketua Dewan Hindia Belanda dan dalam kedudukan ini nomor dua dalam hierarki Hindia; sebagai komisaris pemerintah. Yang menjadi panglima tertinggi militer ekspedisi dan penyerbuan ke Aceh ialah Mayor Jenderal J.H.R. Kohler, komandan teritorial Sumatera Barat. Sebab Kohler telah lama mendapat perintah dari London untuk mengumpulkan keterangan militer tentang Aceh. Bahkan diatas kertas telah diperhitungkan berapa banyak pasukan yang diperlukan untuk operasi militer tersebut. Kohler dibantu oleh Kolonel E.C. van Daalen, yang menjabat sebagai wakil komandan operasi.

Dengan cepat sekali Kohler dan van Daalen mulai menghimpun kekuatan pasukan yang terdiri atas tiga batalyon dari kota-kota garnisun di Jawa, disamping itu juga suatu batalyon 'Barisan Madura', pasukan-pasukan bantuan dibawah pimpinan perwira-perwira Eropa. Mengingat musim barat biasanya jatuh bersamaan hujan badai besar di Sumatera Utara pada akhir bulan April, maka dengan alasan itu operasi militer terhadap Aceh, sekiranya belum selesai, hendaklah sebagian besar harus telah dilaksanakan.

Tidak mudah menghimpunkan keempat batalyon itu serta menambah artileri dan kavaleri. Seluruhnya berjumlah tiga ribu orang; sekitar seribu orang tamtama dan bintara Eropa dan 118 orang perwira. Ditambah seribu orang pekerja paksa sebagai tukang pikul, narapidana yang harus melakukan kerja paksa diluar pulaunya sendiri. Juga termasuk dalam ekspedisi ini 220 wanita Indonesia sebagai tenaga kerja dapur dan teman tidur serdadu-serdadu Jawa dan Ambon; yang menurut ketentuan tradisional operasi militer, delapan orang setiap kompi; dan akhirnya tiga ratus orang pelayan perwira, dua orang bagi setiap perwira dan sisanya personil kantin.

Mengumpulkan operasi yang demikian pun sudah tidak mudah. Lebih sulit adalah mempersenjatai infantri secara layak. Pasukan Belanda (NIL) tengah beralih dari penggunaan bedil cara lama yang diisi dari depan menjadi penggunaan bedil Beaumont modern yang diisi dari belakang, sebenarnya larasnya masih juga panjang-panjang, dan dengan sangkur terpasang menjadi jauh lebih panjang dari sebagian besar serdadu. Tetapi setidak-tidaknya bisa digunakan cara yang mirip menembak cepat; tentunya kalau orang mahir menggunakannya.

Dan inilah justru kekurangan batalyon-batalyon pasukan Belanda di Aceh. Batalyon ke XII sedikit banyaknya telah dapat berlatih dengan Beaumont, Batalyon ke-IX memperoleh bedil-bedil baru itu tidak lama sebelum masuk kapal, Batalyon ke-III masih harus menggunakan senapan yang diisi dari depan. Memang ada satu batalyon yang terlatih baik. menggunakan bedil-bedil baru itu, tetapi tidak mungkin menarik pasukan pilihan dari seluruh Jawa tidak diikut-sertakan. Karena menurut dugaan, perang Aceh tidak akan sehebat itu.

Mengerahkan pasukan militer sebanyak itu memang tidak mudah. Mempersenjatai pasukan ekspedisi sebanyak itu lebih sulit. Tetapi yang paling sulit ialah memperoleh ruang kapal untuk mengangkut pasukan ekspedisi. Seperti dikawatkan Loudon ke Den Haag, keadaan angkutan ekspedisi laut sangat menyedihkan. Kapalnya tua-tua, ketel uapnya bocor. Dengan susah payah diusahakan menjadi enam kapal kecil siap berlayar. Dua kapal pemerintah dan enam kapal milik Nederlands Indische Stoomvaart Maatschappij, akan mengangkut pasukan militer Belanda dengan sejumlah kapal layar tua yang ditarik.

Keinginan Gubernur Jenderal Loudon adalah segera sesudah tangal 18 Februari 1873 akan mengirimkan Nieuwenhuyzen bersama beberapa kapal perang ke Aceh. Pasukan ekspedisinya akan menyusul kemudian. Tetapi keadaan armada negara begitu buruk, sehingga baru pada tanggal 7 Maret 1873 dua kapal perang siap berlayar. Nieuwenhuyzen berangkat pada tanggal 7 Maret 1873. Kendatipun dia terlambat berangkat, Loudon dan Franservan de Putte masih belum juga sependapat mengenai instruksinya yang menjadi pertanyaan ialah sang Sultan Aceh serta-merta harus dihadapkan pada pilihan mengakui kedaulatan Belanda atau perang; Loudon menganggap hal itu mutlak perlu. Fransen van deputte (Menteri Jajahan Belanda) sedikit masih samar-samar. Terutama ketika hari keberangkatan Nieuwenhuyzen dengan pasukannya ke Aceh.

Perasaan geram terbukti dari telegram-telegram Loudon; seperti pada telegram tanggal 9 Maret1873: "…tidak ada jaminan yang dapat dipikirkan kecuali pengakuan kedaulatan. Tanpa ini ekspedisi tidak ada artinya. Harap segera berikan saya perintah tegas atau membiarkan saya bertindak sepenuhnya atas tanggung jawab sendiri seluruhnya…" Nieuwenhuyzen berada dalam perjalanan, dia sudah berada di depan pinang (artinya pada kantor telegraf yang terakhir) dan masih juga mendapat telegram bertubi-tubi dari Menteri Fransen yang tetap bersikeras bahwa alternatif tegas Loudon. (tuntutan pertama), disini ataupun ditempat lain, akan memberikan kesan buruk. Pendiriannya tetap. Mulai dengan meminta pada Aceh kejelasan, pertanggung jawaban, penyelesaian yang memuaskan, mengadakan perjanjian. Dan kalau ini tidak diberikan? Jelas, hal ini bergantung pada keadaan. Pada tanggal 19 Maret 1873 Nieuwenhuyzen meneruskan perjalanan ke Aceh. "Situasi yang kritis ini bagi Aceh sangat menyedihkan. Sebab Sultan yang naik tahta pada tahun 1870 baru berusia 14 tahun, sehingga kesultanan diwakilkan oleh para pembantunya. Sedangkan Habib Abdurrahman A1 Zahir yang menjabat sebagai perdana Menteri belum kembali dari missi diplomatiknya ke Turki dan Amerika Serikat dan Inggeris dalam rangka mencari bantuan senjata guna menghadapi penyerbuan Belanda.

Sebagaimana diketahui bahwa peran Habib Abdurrahman Al Zahir sebagai Perdana Menteri dan seorang ulama telah berhasil memadamkan intrik dan dendam kesumat di kalangan para hulubalang dan kaum bangsawan di istana kesultanan Aceh. Ia telah berhasil menghimpun para ulama dan rakyat Aceh untuk bahu-membahu membentuk pasukan militer dalam menghadapi segala kemungkinan penyerbuan Belanda, ia pula yang berulang kali memimpin delegasi Aceh ke Turki dan Timur Tengah.

Sikapnya yang tegas terhadap negara-negara asing, seperti diungkapkan dalam percakapannya dengan Kraayenhoff, dimana antara lain berisi: "Aceh bersahabat dengan Inggeris, Perancis dari Turki serta negara-negara lain, karena tidak dilukai oleh negara-negara ini. Sebaliknya negeri Belanda yang sekarang ingin mempererat persahabatan, tetapi tidak mengekang diri untuk merampas bagian-bagian dari Kesultanan Aceh, seperti baru saja terjadi. Apakah itu yang dinamakan persahabatan?" Ilmu yang luas dan wibawanya yang besar, baik dikalangan para hulubalang maupun para ulama, merupakan benteng yang kokoh yang sulit untuk ditumbangkan; pada saat awal-awal Perang Aceh, "demikian menurut kesan C. Snouck Hurgronye. Walaupun demikian Aceh telah mempersiapkan diri untuk menghadapi penyerbuan pasukan Belanda, dengan jalan membuat benteng-benteng dan kubu-kubu pertahanan sepanjang pantai yang diperhitungkan akan menjadi tempat pendaratan pasukan musuh.

Pada tanggal 19 Maret 1873, kapal-kapal perang Belanda yang dipimpin oleh Jenderal J.H.R. Kohler dan Kolonel Nieuwenhuyzen telah berada di lepas pantai Aceh. Dari kapal 'Citadelvan Antwerpen' melalui surat-surat, Belanda memberikan ultimatum, dan ultimatum itu dijawab oleh Sultan Aceh dengan menyatakan, antara lain: "..... Kemudian dari pada itu kami iringi harapan kami yang sungguh-sungguh, agar hendaknya negeri kami jangan dihancurkan".

Dalam surat ini sultan tidak menyinggung secara langsung ultimatum pengakuan kedaulatan Belanda atas Aceh. Karenanya Belanda mendesak agar Aceh memberikan jawaban yang tegas, seperti surat yang dilayangkan kembali dari kapal Citadelvan Antwerpen, yang berisi antara lain : "Karenanya saya minta kembali agar seripaduka tuanku sultan mengemukakan dengan tegas apakah sripaduka tuanku bersedia mengakui kedaulatan sribaginda raja Belanda atas kerajaan Aceh. Tergantung kepada bentuk jawaban surat ini, akan dapat saya menetapkan apakah penyerangan dapat dihentikan atau tidak ". Surat ini ditandatangani oleh Kolonel Nieuwenhuyzen. Sultan memberikan jawaban, yang berbunyi: "Mengenai permakluman yang dimaksud dalam surat kami kemarin itu isinya tidak lain dari pada mengemukakan bahwa dari pihak kami tidak ada tumbuh sedikitpun keinginan untuk merubah hubungan persahabatan yang sudah diikat. Sebab kami hanya seorang miskin dan muda dan kami sebagai juga Gubernur Hindia Belanda; berada dibawah perlindungan Tuhan Yang Mahakuasa. Akhirulkalam kami sampaikan salam kepada tuan-tuan sekalian…"

Dalam jawaban surat sultan ini terlihat dengan jelas, bahwa Aceh tidak mau mengakui kedaulatan Belanda, Aceh hanya mengakui kedaulatan Tuhan. Jawaban sultan tentunya sangat tidak memuaskan Belanda, sehingga pada tanggal 26 Maret 1873 Nieuwenhuyzen menyataan perang kepada Aceh. Pagi berikutnya, kapal yang ditumpangi Nieuwenhuyzen, Citadelvan Antwerpen, melepaskan tembakan ke arah sebuah benteng pantai, yang baru saja selesai dibangun oleh pasukan Aceh. Di Den Haag sejak tanggal 19 Maret 1873 sama sekali berada dalam ketidak-pastian. Pada tanggal 2 April 1873 koran-koran Belanda menerbitkan sebuah telegram Reuter dari Pinang, yang memuat pernyataan perang itu. Pemerintah Belanda tidak menerima berita apapun. Tidak ada hubungan langsung dengan Nieuwenhuyzen. Fransvan de Puttetelah meminta Loudon menyampaikan buku kode kepada Nieuwenhuyzen, agar Pada waktu yang bersamaan ia dapat memberikan berita ke Den Haag dan Batavia.

Loudon menjawab bahwa tidak ada waktu untuk menyuruh membuat salinan buku kode. Jelas dia takut akan tindakan Den Haag. Lagi pula, antara tanggal 1 dan 5 April 1873 kabel laut antara Singapura dan Batavia terganggu lagi. Berita resmi tentang pernyataan perang baru mencapai Loudon pada tanggal 5 April 1873, Den Haag sendiri sehari kemudian pada hari-hari pasukan pendaratan untuk melakukan pengintaian. Pendaratan pasukan utama Belanda baru menyusul dua hari kemudian. Sejak saat yang pertama, Perang Aceh secara militer pun lain dari pada semua perang yang terdahulu. Bila di nusantara dianggap 'normal' bahwa suatu pendaratan pasukan yang begitu besar dihadapi dengan penarikan mundur musuh yang terorganisasi secara umum, pertempuran di Aceh satu lawan satu. Pada waktu batalyon-batalyon mendarat, sembilan orang tewas dan 46 orang luka dan sebagian besar karena serangan kelewang. Hanya dengan sangkur yang tidak praktis, serdadu-serdadu Belanda itu sempat mengelakkan serbuan-serbuan dahsyat pasukan tentara Islam Aceh. Artileri orang Aceh pun lebih baik daripada yang pernah pasukan Belanda hadapi. Pada hari pertama, Citadelvan Antwerpen terkena dua belas tembakan meriam.

Rencana perang Kohler sederhana sekali. Akan didirikannya sebuah pangkalan di sekitar muara Sungai Aceh, dan dari sini pasukan Belanda maju menuju keraton kediaman Sultan; yang sekaligus menjadi ibukota. Bila ini telah direbut, maka menurut pengertian pasukan Belanda (NIL) telah terlaksana pekerjaan yang utama. Begitu pusat pemerintahan dikuasai, menuru tanggapan Belanda, Aceh pasti akan menyerah. Tetapi dimana tepatnya letak kraton, orang Belanda tidak tahu persis. Bagaimana amat miskinnya-informasi mereka, ternyata dapat dilihat dari Buku Saku Ekspedisi pasukan Belanda di Aceh, yang diberikan kepada para perwira. Didalamnya dikemukakan bahwa keraton adalah 'sebuah tempat yang luas dan besar yang terdiri dari berbagai kampung, dengan banyak sawah, lapangan, kebun kelapa, serta kira-kira 6.000 jiwa yang bermukim'. Dalam kenyataannya, tempat sultan bersemayam paling-paling hanya beberapa ratus orang penghuninya dan letak bangunannya lebih kesebelah sana sungai dibandingkan dengan desa-desa yang sedikit banyak tergabung didalamnya dan kampung Cina yang kecil.

Pada uraian ini disertakan dengan sebuah 'gambar' bagan figuratif Afdeling Utama Aceh, dengan menggunakan gambar-gambar perlambang, yang sebenarnya sangat tidak figuratif kelihatannya. Kuala sungai disitu sudah sama saja salah letaknya seperti juga keratonnya sendiri, desa-desa pesisir bergeser, jalan jalan semuanya tidak cocok dengan yang digambarkan. Keterangan-keterangan beberapa orang mata-mata yang turut serta dibawa ternyata tidak ada harganya. Diantara mereka ini terdapat Arifin. Dia turut dalam ekspedisi pasukan Belanda tetapi tidak mempunyai peranan apapun.

Pantai Aceh yang berawa-rawa dengan pepohonan tinggi menjulang dibelakangnya tidak memungkinkan melakukan pengamatan visual yang agak jauh. Ketika mencari keraton, pada tanggal 11 April 1873 ditemukan sebuah benteng yang semula diduga adalah keraton: ruang yang dikelilingi tembok dengan beberapa ruangan bangunan di dalamnya. Ternyata bukan keraton, tetapi sebuah masjid, yang mati-matian dipertahankan bagaikan sultan sendiri yang bersemayam disini. Masjid itu ditembaki hingga terbakar dan dapat direbut dengan mengalami kerugian berat dipihak pasukan Belanda. Tetapi pada hari itu juga Kohler menyuruh meninggalkan benteng masjid itu, karena menurut dia pasukan terlalu letih untuk dapat bertahan dalam posisi yang begitu terancam.

Segera pula pasukan Aceh menduduki masjid itu dengan sorak kemenangan. Pekikan perangnya terdengar menyeramkan, terutama pada malam hari. Penarikan mundur ini lagi-1agi merupakan tindakan yang keliru dalam suatu perang kolonial, hingga tiga hari kemudian Kohler terpaksa memerintahkan merebut kembali kompleks bangunan masjid dengan menderita kerugian besar bagi pasukannya. Dia sendiri merupakan korban dalam kekeliruan ini. Ketika berdiri dalam kubu masjid itu pada tanggal 14 April 1873 sebutir peluru menembus dadanya dan menewaskannya. Saat itu seluruh pasukan Belanda kehilangan semangat.

Mestinya orang sudah meragukan strategi seorang panglima tertinggi yang mula-mula menduduki suatu kubu musuh seperti itu, lalu meninggalkannya dan kemudian menyuruh menaklukkannya lagi. Tetapi penggantinya Kolonel Van Daalen tidak ditinggalkan suatu rencana perang apapun. Kohler sama sekali tidak pernah menceritakan apa-apa kepadanya. Dalam keadaan yang tidak menguntungkan barisan, pasukan Belanda maju lagi menuju keraton. Garis hubungan dengan markasnya dipantai, yang hanya beberapa kilometer dari masjid letaknya, senantiasa terancam oleh pasukan-pasukan gerilya Aceh, yang pejuang-pejuangnya memakai baju putih tanpa takut mati, ya, bahkan ingin mati, menyerbu batalyon-batalyon serdadu Belanda itu. Tengah malam terjadi sergapan dan penembakan. Pada tanggal 16 April 1873 dua dari tiga batalyon itu menyerang keraton. Mereka dipukul mundur dengan seratus orang mati dan luka-luka dipihak pasukan Belanda.

Malam hari itu Van Daalen melakukan sidang dewan di medan. Para kolonel umumnya berpendapat harus mengundurkan diri. Di Aceh diperlukan sarana-sarana yang lain sekali dari pada yang dimiliki. Dengan diketuai oleh Nieuwenhuyzen kemudian dimusyawarahkan dikapal Citadei Van Antwerpen tentang nasib pasukan militernya. Menurut para perwira 'ternyata sudah musuh gigih yang melawan lebih besar kekuatannya'. Komandan Angkatan Laut berpendapat bahwa musim barat telah tiba dengan turunnya hujan-hujan pertama, yang menjadikan perkemahan tergenang air. Baik keamanan kapal-kapal maupun 'hubungan tanpa gangguan antara pelabuhan dan darat tidak terjamin, sehingga pengiriman bala bantuan yang telah diputuskan oleh Bataviapun tidak akan ada artinya lagi.

Nieuwenhuyzen minta diberi kuasa untuk memerintahkan pasukan penyerbunya kembali dan ini diperolehnya pada tanggal 23 April 1873. Dua hari kemudian pasukan Belanda pun masuk kapal. Kekuatan inti tetap tujuh belas hari berada di darat. Dari tiga ribu anggota, 4 orang perwira dan 52 orang bawahan tewas, 27 orang perwira dan 41 orang bawahan luka dari pasukan Belanda yang berasal dari Eropa dan hampir 400 orang serdadu lainnya yang mati dan luka, yang berasal dari pasukan pribumi. Jadi, hampir lima ratus dari tiga ribu serdadu Belanda yang mati dan luka-luka; itulah akibat kerugian Perang Aceh pertama, yang ulang-alik perjalanannya belum sampai memakan waktu enam minggu. Usaha pasukan Belanda untuk menguasaiAceh gagal. Namun, berdasarkan kebiasaan masih pula dibentuk panitia penyambutannya di Batavia bagi kembalinya pasukan yang kalah. Ketuanya Tuan Kleijn bekas komandan artileri. Tiada pesta pora; tetapi penembak meriam ini berseru kepada pasukan, yang kembali pada tanggal 11 Mei 1873: "Anda berhak dihormati, Anda telah berjasa terhadap Nederland dan Raja, Anda telah mempertinggi kemasyhuran tentara Hindia yang gagah perwira!"

Dari ucapan terimakasih Kolonel Van Daalen ternyata bahwa tidak setiap orang di Batavia, sependapat dengan sang penembak meriam yang gagah perwira itu. "Anda menunjukkan bahwa Anda tidak tertolong dalam tumpukan besar orang tolol, yang menilai suatu ekspedisi militer semata-mata dari hasil yang dicapai, tanpa memperhatikan keagungan dan kemasyhuran yang tercapai karenanya, "kata-katanya pahit. Dan benarlah, tumpukan orang tolol demikian memang ada; dan kedalamnya termasuk orang-orang seperti Gubernur Jenderal sendiri yang harus mendukung dan mempertanggungjawabkan beban kegagalan itu. Tidak diketahuinya apa yang memang dipahami orang-orang sejati 'tempo dulu', bahwa suatu ekspedisi militer yang kalah bukanlah berarti kalah perang, tetapi suatu peristiwa yang biasanya memulai setiap usaha perang kolonial di nusantara ini.

Tidakkah sudah tiga ekspedisi yang dikirim ke Bali, Sulawesi Selatan, dan ke Kalimantan pun entah sudah berapa? Tidakkah baru sesudah dua puluh tahun lamanya perang Padri Sumatera Barat ditaklukkan dan dua setengah tahun lamanya dilakukan pengepungan terus menerus dengan empat ribu orang pasukan Belanda (NIL) yang diperlengkapi dengan meriam-meriam gunung dan artileri penembak kubu pertahanan disana, dapat merebut benteng Bonjol digunung dari kaum Padri? Nah, pasukan Belanda akan mengambil balas pula di Aceh. Tetapi kali ini akan terbukti jauh berbeda dari harapan pasukan Belanda. Operasi militer Belanda selanjutnya, hanya perlengkapannyalah yang lebih baik dari yang sudah-sudah; tetapi hasilnya belum bisa menaklukkan Aceh. Kegagalan akan terus menghantui pasukan Belanda di Aceh sepanjang masa.

Pada tanggal 18 Mei 1873 RajaWillem III mengadakan kunjungan belasungkawa kepada ayah Jenderal Kohler yang tewas dalam perang Aceh pertama, yang tinggal di Groningen. Peristiwa itu merupakan semacam peristiwa nasional bagi bangsa Belanda. Kunjungan itu diabadikan pada sebuah lito yang dibuat oleh J.W. Egenberg, yang memperlihatkan Raja bersama-sama ajudannya bersikap bagaikan dibuat-buat berdiri dekat si orang yang membungkuk beserta anak-anak sang jenderal. Peristiwa kunjungan belasungkawa ini menumbuhkan semangat bagi rakyat Belanda untuk melakukan balas dendam atas kekalahannya kepada rakyat Aceh. Phaagsman telah mengarang, satu Lagu Militer untuk Perang Aceh yang lengkap dengan musiknya. Sajian Haagsman yang penuh penghinaan terhadap rakyat Aceh, telah diperjual-belikan dan dilagukan dimana-mana, antara lain berisi:
Ke Aceh, keraton sarang segala kejahatan,
Persekongkolan, pembajakan dan khianat berkecamuk;
Tumpas semua selingkuh, hajar si laknat;
Dengan sang Tiga Warna Belanda 'peradaban' tumbuh.

Tanda kutip pada kata peradaban seluruhnya menjadi tanggungjawab penyair; yang menutupnya dengan:
Ke Aceh keraton itulah semboyan kita kini;
Kita gugur atau hidup, terserah Tuhan;
Tapi Aceh pasti jatuh, atau kami tak kembali lagi,
Menang atau mati, demi kehormatan Belanda.

Tidak ada yang begitu besar pengaruhnya dalam membuat perang Aceh kedua menjadi kenyataan di negeri Belanda, hingga perang itu adalah perang orang Belanda melawan Aceh, yaitu dengan diangkatnya Jenderal Van Swieten menjadi panglima tertinggi penyerbuan kedua. Dulu pun pernah terjadi pasukan-pasukan dikirimkan ke Hindia, tetapi tidak terjadi seorang jenderal turut serta. Pengangkatan Jenderal Van Swieten menjadi panglima tertinggi perang Aceh kedua; karena pengalamannya yang banyak tentang Indonesia. Ia pernah ikut dalam perang Jawa dan Bali, juga dalam penaklukkan Bone serta pernah menjadi Gubernur di Sumatera Barat.

Pada tanggal 6 Juni 1873, belum sebulan setelah kembali pasukan Belanda dari perang Aceh pertama, Loudon mengirimkan telegram kepada Fransen van de Putte, yang kata-kata pertamanya mangandung arti: "Dengan rahasia sedalam-dalamnya saya ajukan saran untuk mengirimkan Jenderal van Swieten sebagai komisaris sipil dan panglima militer ke Aceh. Presti sebesar Nieuwenhuyzen tidak mungkin. Dan Verspijk dapat menjadi pemimpin kedua."

Pemerintah Belanda mengambil alih usul tersebut dan bertindak cepat sekali. Putusan Raja, yang menugasi kembali Van Swieten dalam dinas aktif, tertanggal 11 Juni 1873. Dalam satu hal Den Haag menunjukkan kegembiraan lebih dari pada yang dapat diterima Loudon dengan senang hati. Keberangkatan Van Swieten dari Nederland pada bulan Juli 1873 merupakan kemenangan Fransen van de Putte mengadakan jamuan malam di Wisma Renang Kota Scheveningen dimana Pangeran Mahkota Willem, semua menteri dan semua duta hadir. Pangeran, dan menteri jajahan mengangkat gelas untuk kemenangan penyerbuan tentara Belanda ke Aceh itu.

Ketika berangkat dari Den Haag beberapa orang menteri dan beberapa pejabat tinggi lain berada pula distasiun. Seorang gadis putri Fransen van de Putte mempersembahkan bunga. Di Rotterdam kereta api khusus dengan jenderal dan stafnya itu, disertai oleh Komisaris Raja di propinsi Holland Selatan, disambut oleh Walikota Joostvan Vollenhoven dan sebuah korps musik. Ketika naik kapal di Bellevoetsluisada lagi upacara kecil-kecilan. Keberangkatan yang luar biasa, yang tidak pernah dialami oleh pengangkatan seorang Gubernur Jenderal sekalipun.

Suasana perang untuk menaklukkan Aceh secepat mungkin dilaksanakan dengan cara bagaimanapun telah ditulis oleh Busken Fuet dalam koran Algexeen Dagblad voor Nederlandsch Indie di Batavia, dimana antara lain berbunyi: "Siapa di nusantara ini tidak memihak kita, menentang kita, dan siapa menentang kita, kita tumpas. Bukan Sultan Aceh yang mewakili peradaban, tetapi kita, dan kepada kitalah, bukan dia yang berhak menguasai lautan ini. Bagi kita kedaulatan sepenuhnya atas pulau-pulau di nusantara ini merupakan soal hidup-mati. Bersamanyalah jatuh atau tegaknya negara kolonial, dan daripadanyalah kita peroleh nama orang Belanda. Kekuasaan itu merupakan hak kita."

Penyerbuan pasukan militer Belanda ke Aceh yang pertama gagal, karena pelaksanaannya terlalu tergesa-gesa, perlengkapan buruk, dan tidak ada rencana peperangan, demikian dalih mereka. Hal ini tidak akan terjadi padaVan Swieten. Sudah sejak di negeri Belanda dia mempertimbangkannya secara panjang lebar dengan Fransen van de Putte. Pemerintah Belanda menaikkan anggaran belanja Perang Aceh dan memasukkannya dalam anggaran belanja negeri tersebut. Sebab Belanda menyadari bahwa prestisenasional, internasional dan kolonial harus dipulihkan dengan tercapainya suatu kemenangan hebat. Anggaran belanja Hindia Belanda dinaikkan dengan 5,5 Juta gulden, dimana setengah daripadanya disediakan untuk angkatan laut, yang memang begitu parah keadaannya. Segala yang dapat berlayar di Hindia dikumpulkan antara ekspedisi militer pertama ke Aceh dan kedua, asal saja dapat dipasangi sebuah meriam.

Di Negeri Belanda militer diperkenankan merekrut dua ribu orang pasukan militer untuk Hindia, dengan menaikkan uang persen menjadi empat ratus gulden, dan gaji untuk tugas dua tahun di Aceh mendapat gratifikasi 1500 gulden. Walaupun begitu, tenaga-tenaga militer yang direkrut belum mencukupi, karena banyak yang takut mendengar beratnya Perang di Aceh. Karenanya pemerintah Belanda menaikkan gratifikasi menjadi 4500 gulden.

Persenjataan mendapat banyak perhatian. Artileri memiliki 72 meriam dan dua mitralyur. Seluruh kekuatan tentara Belanda untuk menyerbu Aceh yang kedua ini berjumlah hampir 13.000 ribu orang: 389 perwira, 8.156 bawahan, 1.037 pelayan perwira, 3.280 nara pidana, dan 243 wanita. Mereka harus diangkut ke Aceh dari Batavia dan beberapa kota garnisun lain di Jawa. Untuk Indonesia jarak ini tidak terlalu jauh, tetapi bagaimanapun selalu lebih jauh dari dua ribu kilometer. Sembilan belas kapal pengangkut disewa, pendeknya apa saja yang bisa didapat di Batavia dan Singapura. Pelayaran dengan maut di kapal --bukan sebagai panjar atas kesulitan-kesulitan yang diharapkan akan terjadi di Aceh-- tetapi sebagai warisan salah satu wabah kolera berkala, yang terjadi pada akhir Oktober 1873 tepat mencapai Batavia. Ribuan orang yang masuk kapal itu mudah sekali menjadi mangsa penyakit kolera. Keberangkatan yang ditetapkan pada tanggal 1 Nopember 1873 diundurkan sepuluh hari tanpa adanya upacara. Sebelum armada angkutan pasukan Belanda tiba di Aceh, telah meninggal enam puluh orang didalam kapal. Begitu kapal mendarat, jumlah korban meningkat setiap hari. Hujan tanpa henti, bedeng-bedeng becek, dan terasa kekurangan tenaga dokter.

Pada tanggal 9 Desember 1873, satu dari tiga brigade (yang keempat dalam cadangan dikirim ke Padang) sesudah melancarkan gerakan tipu, didaratkan ke pantai rawa. Pendaratan itu dilakukan terlalu cepat, karena bila tinggal lebih lama dikapal yang kotor dan menyesakkan napas, bencana kolera akan menimpa. Empat belas hari lamanya dengan gerakan berhati-hati, barulah pasukan induk ditempatkan disekitar kampung Peunayong ditepi SungaiAceh, letaknya satu setengah kilometer dari keraton.

Pada akhir Desember 1875 pasukan Belanda yang meninggal sebanyak 150 orang terserang kolera. Dalam rumah sakit tenda, yang sebentar-sebentar harus dipindahkan ke tempat yang lebih kering, dirawat lima ratus pasien; 'dirawat' berarti ditempatkan dalam suatu perkemahan dengan jerami basah tanpa perawatan. Delapan belas orang Perwira dan dua ratus orang bawahan harus dibawa dalam keadaan sakit ke Padang, karena rumah sakit darurat yang ada sudah tidak menampungnya. Mereka dibawa dengan kapal-kapal pengangkut, tanpa lebih dahulu diadakan pembasmian hama kolera, lalu diangkut lagi pasukan-pasukan pengganti: Jadi, sebelum penyerbuan yang benar-benar dimulai, pasukan Belanda telah kehilangan 10% dari kekuatannya.

Sebelum mendarat, Van Swieten telah mengirimkan beberapa orang utusan dengan surat kepada sultan muda usia itu bersama para penasehatnya. Surat-surat yang mengultimatum untuk menyerah tidak dijawab, bahkan para utusan Belanda dibunuh. Sesudah pendaratan dilakukan, memang beberapa orang pemuka yang rendah pangkatnya dipesisir menyatakan takluk. Diantara mereka terdapat pemuka turun temurun dari daerah Marasa, Teuku Nek. Diluar Aceh orang akan menamakannya 'raja', tetapi disitu dia disebut 'hulubalang'. Tidak seorang pun dalam kubu Belanda yang mengetahui arti Teuku Nek. Daerahnya berada di delta segitiga Sungai Aceh, salah satu dari masyarakat Mukim yang banyak jumlahnya. Di Aceh ada pembagian kekuasaan berdasarkan mukim-mukim, yang masing-masing terdiri dari desa-desa masyarakat muslim. Sesuai dengan jumlah mukim pada permulaannya, maka mukim tersebut dinamakan mukim IX.. Mukim-mukim dipersatukan lagi menjadi tiga federasi besar, yaitu ketiga sagi di Aceh, yang juga disebut menurut jumlah mukim yang dipunyainya.

Sagi Mukim XXV meliputi daerah tepi kiri hilir sungai Aceh, Sagi Mukim XXVI lembah lebar tepi kanan. Lebih ke hulu, Sagi Mukim XXII pada kedua tepi sungai membentuk titik segitiga delta yang bersama-sama membentuk ketiga sagi. Daerah di muara sungai yang sebenarnya --dengan tempat kediaman sultan, dengan keraton sebagai intinya-- adalah satu-satunya daerah yang langsung atau lebih tepat atas nama sultan diperintah oleh para pejabat, yang seperti juga para kepala sagi memperoleh kebebasan yang besar dari Yang Dipertuan. Selain keraton, daerah sultan meliputi bebera pakampung asing pada sungai, masjid raya --tempat Kohler tewas-- dan beberapa kampung Aceh Asli.

Semuanya itu, yaitu daerah sultan ditambah beberapa sagi, merupakan sebagian kecil dari Aceh: tidak lebih dari delta, tanah subur diantara gunung-gunung yang melingkungi pantai barat Aceh. Bagian terbesar dari Aceh yang jumlah penduduknya setengah juta jiwa, dan mungkin 250.000 jiwa tinggal di delta, seluruhnya bebas dan diperintah oleh hulu balang.

Satu-satunya kekuasaan yang dapat dilaksanakan oleh sultan atas seluruh konfederasi adalah kekuasaan moral, yang pada akhir-akhir ini menjadi sangat lemah, terutama di daerah-daerah pedalaman seperti Tanah Gayo dan Alas. Kewibawaan sultan pada akhir tahun 1875, karena ditopang oleh perdana Menterinya yaitu Habib Abdurrahman Al Zahir, yang mengatasi para hulubalang, karena keahlian diplomatik, kealiman ilmunya dan luasnya pengetahuan duniawinya. Kepentingan bersama antara sultan dan para hulubalang adalah sama yaitu mengusir pasukan penjajah Belanda dari Aceh.

Mengenai ini semua, Van Swieten, ketika mendarat pada bulan Desember 1873, tidak banyak tahu seperti juga Kohler dan Nieuwenhuyzen delapan bulan sebelumnya. Ketika Teuku Nek datang menyatakan takluk, Van Swieten tidak mengetahui bahwa dalam hal ini perselisihan dengan hulubalang-hulubalang dari mukim bersebelahan memainkan peranan. Yang bisa diketahui Van Swieten dari stafnya adalah bahwa daerah Teuku Nek terletak dalam lini serangan pertama pasukan Belanda (NIL) dan bahwa karena itulah dia datang melapor.

Lebih curiga lagi mereka beberapa minggu kemudian terhadap tawanan Teuku Nya Cut Lam Reueng, panglima sagi Mukim XXVI melalui surat yang disampaikannya untuk menyatakan takluk dengan imbalan delapan ribu ringgit Spanyol. Menurut keterangannya, sang panglima ingin membagi jumlah ini dikalangan para hulubalangnya. Perbedaan antara kedua pemuka, Teuku Nek kepala mukim yang sederhana dan Teuku Nya Cut Lam Reueng kepala sagi yang perkasa, tidak berarti suatu apapun bagi Van Swieten, karena kebodohannya. Dia hanya melihat bahwa orang yang satu menyatakan dirinya takluk tanpa minta apa-apa dan tidak bermaksud mencari keuntungan, sedangkan orang yang kedua meminta delapan ribu ringgit Spanyol, Dalam benak sang jenderal tentunya berpikir: masa aku gila. Tetapi tanpa diketahuinya Van Swieten dalam hal ini kehilangan kesempatan besar yang pertama dapat digunakannya untuk memainkan peranan penting dalam konflik-konflik intern Aceh. Teuku Nya Cut Lam Reueng sedang dalam pertentangan sengit menghadapi seorang saingan. Dia belum dapat memastikan kedudukannya sebagai kepala sagi, karena ketika penggantian mahkota berdasarkan keturunan, sultan belum sempat memberikan kepadanya hadiah sultan yang dianugerahkan secara tradisional, yang selanjutnya harus dibagi kepada sagi diantara kepala mukim. Dengan membayar delapan ribu ringgit, Van Swieten seharusnya akan dapat memastikan salah seorang dari mereka yang paling utama di Aceh untuk patuh kepadanya. Hal ini tidak dilakukannya.

Sesudah terjadi beberapa pertempuran kecil, ketika maju dari pantai ke Peunayong tempat didirikannya perkemahan yang tetap, Van Swieten melancarkan pukulan besar pertamanya padatanggal 6 Januari 1874. Yaitu serangan terhadap masjid raya, untuk ketiga kalinya dalam waktu sepuluh bulan harus direbut oleh pasukan Belanda. Lagi-lagi pasukan kolonial Belanda menderita kerugian besar. Serangan itu dilakukan oleh suatu brigade lengkap yang terdiri dari 1.400 prajurit militer. Seusai pertempuran, jumlah serdadu Belanda yang luka parah dua ratus orang, dan empat belas perwira luka. Bagi suatu perang 'modern' dengan tembakan gerak cepat senapan-senapan otomatis, korban demikian mungkin tidak merupakan kerugian besar demi merebut kedudukan yang begitu penting. Van Swieten menghitung kerugian lain. Dalam pertempuran ini pada satu hari saja sepertujuh dari suatu brigade sudah tidak berdaya. Karena itu, serangan terhadap keraton sendiri diminta agar persiapannya lebih sempurna dengan pengintaian dan tembakan artileri yang kontinyu.

Atas nasehat Teuku Nek dilakukan gerakan mengitari, mengepung keraton. Lubang-lubang perlindungan pun digali lalu meriam-meriam besar penyasar benteng diseret. Juga sekoci-sekoci bermeriam kecil turut melakukan penembakan. Ketika pada tanggal 21 Januari 1874 akhirnya diberikan tanda untuk menyerbu, ternyata musuh pada malam hari telah berangkat. Daerah keraton yang dilindungi tembok serta bangunan besar dan kecil reot-reot yang tidak satupun menyerupai 'istana' tanpa pertempuran suatu apapun, jatuh kedalam tangan pasukan kolonial Belanda. Jatuhnya keraton dianggap di Batavia dan negeri Belanda sebagai hasil terpenting yang dapat dicapai pasukan penyerbu April 1873 telah ditebus pada bulan Januari 1874. Van Swieten memerintahkan musik staf memainkan Wien Nederlands Bloed (Siapa Berdarah Belanda) dan menawari tuan-tuan perwira minum sampanye yang khusus dibawa untuk tujuan itu. Perintah hariannya kepada pasukan disusun dalam gaya militer yang terbaik (Keraton telah kita kuasai, dan rakyat Aceh yang angkuh terpaksa menyerah kalah terhadap kegagahan dan keberanian serta keahlian perang Anda), dan ditambahkannya kecaman yang diterimanya bahwa terlalu lama dia menghabiskan waktu menempuh jarak dari daerah pendaratan sampai ke tempat kediaman Sultan, hampir memakan waktu tujuh minggu sejauh lima belas kilometer garis lurus.

"Bahwa keraton ini tidak akan dapat direbut dengan serangan besar, saya tahu, dan bahwa memang demikian keadaannya yang dapat disaksikan oleh setiap orang yang sempat melihat tembok-temboknya dengan pertahanan yang ada didepannya. Karena itu tidak perlu kita sesali bahwa pertahanan musuh ini baru 47 hari sesudah pendaratan dapat kita kuasai. Karena kemenangan cukup cepat tiba, bila dia diperoleh dengan hanya sedikit kerugian, dan inilah terutama yang menjadi tujuan gerakan yang kita lakukun dengan sekop dan sodok, "demikian ucapan Van Swieten dengan sombongnya. Padahal hasil yang dicapai ini hanya fatamorgana bagi pasukan kolonial Belanda. Segera setelah Van Swieten mengirimkan telegram ke Den Haag dan Batavia sekaligus, terbit nomor ekstra Berita Negeri Belanda dengan suatu buletin berjudul 'Kraton kita kuasai'. Di kota-kota di Hindia dan Negeri Belanda dikibarkan bendera tiga-warna dari gedung-gedung pemerintah kolonial. Malam hari orang membakar petasan, di Gedung Kesenian Kerajaan di Den Haag sesudah musik tiup dari ruang orkes berkumandang lagu kebangsaan Belanda, orang pun berpandangan satu sama lain dengan linangan air mata sebagai tanda gembira.

Pendeknya, hari ini hari pesta yang luar biasa bagi Belanda. Meriam-meriam perunggu yang tidak terpakai dalam keraton Aceh dikirim ke Negeri Belanda sebagai kenang-kenangan. Beberapa buah diantaranya sebuah howitzer 61 senti dari abad ke-17 dengan lambang Jacobus Rex Inggeris, mungkin sebuah hadiah lama Inggeris, ditempatkan di Bronbeek dan masih merupakan kebanggaan museum pasukan Belanda di sini. Yang lain-lainnya telah dilebur untuk menempa medali Perang Aceh, yang diberikan kepada para peserta penyerbuan pertama dan kedua ke Aceh.

Tetapi kemenangan tidak dimulai dari keraton. Berbeda sama sekali dengan pola tradisional, ternyata jatuhnya tahta sultan tidak ada artinya bagi penaklukan Aceh. Bahkan mangkatnya sang sultan remaja, karena terserang kolera yang dibawa masuk oleh pasukan kolonial Belanda, sedikitpun tidak mempengaruhi perlawatan rakyat Aceh. Penembakan-penembakan dari keraton dan masjid raya dan sergapan-sergapan atas perkemahan pasukan Belanda tetap terjadi siang malam. Orang Aceh tidak memiliki pasukan-pasukan tetap, paling hanya ada puluhan atau ratusan orang yang bersama-sama bertindak, tetapi dengan itu diawalilah gerilya yang mereka lakukan dengan hebat, bagaikan telah mendapat latihan yang sempurna.

Dan memanglah rakyat Aceh demikian adanya. Makin jelas bahwa pembagian tanah Aceh menjadi daerah kecil-kecil dengan hulubalang menjadi kepala di tiap-tiap daerah, melumpuhkan strategi Belanda dalam dua segi. Pertama, ternyata rencana politik Van Swieten untuk mendesak sultan menandatangani suatu traktat model Siak adalah suatu yang sia-sia. Tidak ada seorang sultan pun yang dapat mengikat rakyat Aceh tanpa topangan para hulubalang.

Kedua, puluhan tahun berlangsungnya otonomi yang luas telah menjadikan rakyat Aceh terbiasa melakukan gerilya tetap. Tiap kampung berbenteng, tiap laki-laki menyandang bedil, kelewang dan rencong. Kini pejuang-pejuang itu tidak saja dapat berperang sepuas hatinya, beberapa minggu tinggal di rumahnya di pedalaman dan kemudian melakukan darmawisata ke daerah kecil yang di duduki Van Swieten dengan pasukannya. Disamping itu rakyat Aceh berkeyakinan akan dapat memperoleh syurga, karena melakukan perang sabil terhadap kaum kafir. Van Swieten terpaksa merombak strategi politiknya dan strategi militernya secara mendasar sesudah sultan mangkat, dengan proklamasi tanggal 31 Januari 1874, ia menyatakan, bahwa karena sekarang "rakyat telah dikalahkan, keraton telah direbut, maka berdasarkan hak menang perang negeri menjadi milik pemerintah Hindia Belanda."

Belanda tidak akan mengakui sultan Aceh yang baru dipilih dan akan melaksanakan sendiri pemerintahan. Para panglima ketiga sagi, jika mereka menyatakan dirinya takluk secara tetulis, akan dapat memerintah daerahnya atas nama pemerintah Hindia Belanda. Daerah Sultan yang lama langsung diperintah oleh pejabat-pejabat militerBelanda. Untuk sementara pasukan Belanda kelabakan menolak kawula-kawula Belanda baru itu masuk dan melindungi daerah Teuku Nek dari serangan tetangga-tetangganya, karena itu sejak tanggal 31 Januari 1974 tidak ada lagi yang datang menyatakan takluk. Ketika Van Swieten pada tanggal 16 April 1874 bersama dengan pasukan inti akan berangkat ke Batavia, pasukan militernya ketika akan berlayar masih harus menderita kekalahan serius. Usaha merebut suatu benteng Aceh yang baru dibangun tepat di depan keraton itu gagal. Peristiwa ini pertanda buruk bagi pasukan Belanda yang masih tinggal di Aceh.

Dari 389 orang perwira dan 8.000 orang bawahan yang menjadi anggota pasukan penyerbu, telah meninggal dunia di Aceh masing-masing 28 orang perwira dan 1.700 orang bawahan. Karena sakit atau luka, seribu orang lagi dipindahkan melalui laut pada bulan-bulan sebelumya. Jadi, dalam lima bulan Van Swieten kehilangan sebagian dari kekuatan militernya. Angka kematian dikalangan nara pidana yang dijadikan kerja paksa membantu pasukan Belanda jauh lebih tinggi. Dari tiga ribu orang yang masuk kapal di Batavia, seribu orang meninggal dunia. Jumlah mereka itu diganti, tetapi dari tiga ribu orang yang ditinggalkan Van Swieten pada bulan April 1874 dibawah pimpinan penggantinya, Kolonel J.H. Pel, tahun itu juga meninggal dunia sembilan ratus orang. Sedang dua ribu orang harus diungsikan ke Padang atau ke Jawa karena sakit, dan harus diganti oleh yang baru lagi. Demi hasil yang bagaimana dengan pengorbanan yang begitu besar?

Sebuah keraton kosong diduduki, yang tidak lama kemudian oleh Belanda disebut Kutaraja, kota sultan, sebagai inti pertahanan mereka, walaupun tidak pernah lagi seorang bersemayam disana. Di daerah hulu sepanjang sungai dibangun beberapa tangsi yang berbenteng kuat. Suatu wilayah beberapa kilometer luasnya namanya saja dikuasai. Dari tujuan-tujuan politik tidak ada satu pun yang tercapai! Penyerbuan kedua, Perang Aceh kedua, pada hakikatnya merupakan bencana. Sambutan meriah terhadap pasukan-pasukan di Jawa dengan gapura-gapura kehormatan, anggur kehormatan dan karangan-karangan bunga kehormatan. Dan sambutan meriah terhadap Van Swieten di Negeri Belanda lima bulan kemudian dengan pesta jamuan lagi, yang dihadiri oleh pangeran-pangeran dan menteri-menteri di Wisma Renang Scheveningen, tidak dapat lama menutupi kenyataan yang sebenarnya. Van Swieten telah menasehatkan pada penggantinya, Kolonel Pel, agar sementara waktu mengambil sikap menanti, dengan perkiraan bahwa lama kelamaan akan lebih banyak pemuka Aceh yang akan datang melapor. Baru saja Van Swieten kembali ke Negeri Belanda, dan dielu-elukan sebagai Pemenang di Aceh, Pelpun atas permintaannya yang mendesak telah menerima bala bantuan dari Jawa. Bahkan dengan itu pun hampir-hampir dia tidak mampu mengisi sederetan pos benteng yang dibuatnya sendiri, yaitu kubu-kubu dari tanah menurut model Aceh; sekitar pangkalan terdepan yang terancam.

Menurut pendapat Pel, perlu sekali bersama dengan beberapa pasukan mengikuti hulu sungai Aceh agar musuh dapat dipaksa mundur. Baru pada ketika bulan Desember 1874 tenaga-tenaga tempurnya dibandingkan dengan bulan April 1784 menjadi dua kali lipat, hal yang demikian dapat dipikirkannya. Tetapi ketika itu pun seluruh kekuatan tentara Belanda yang tersedia dikerahkan. Yang masih berada di kota-kota garnisun di Jawa dalam keadaan sakit atau luka. Baru pada bulan Desember 1874, operasi militer secara besar-besaran oleh Belanda; terhadap pasukan gerilya Muslim Aceh dilakukan, tetapi justru saat itu seluruh Lembah Aceh Besar dilanda banjir. Sungai Aceh dengan tepinya yang terjal dan semua anak sungainya banjir hebat sekali. Jembatan yang dipasang oleh pihak zeni beberapa Kilometer kehilir keraton dekat Peunayong, untuk menghubungkan kedua tepi tangsi yang besar antara kedua tepi sungai, hancur sama sekali.

Berminggu-minggu lamanya hubungan tetap sulit. Sungai yang hampir tidak dapat diseberangi dengan kapal sama sekali. Juga sebagian besar keraton tergenang. Maka, jelas sekarang mengapa ada bidang dari lapangan di dalam tembok dulu tetap tidak dikerjakan: semuanya terlanda banjir disini. Celakanya pula, justru disinilah letak barak-barak rumah sakit yang baru dibangun. Maka, terpaksalah korban-korban kolera dipindahkan. Juga semua pos dan tangsi pasukan Belanda, kecuali satu, dilanda banjir di lembah. Harus segera ditinggalkan dan diganti oleh bivak-bivak sementara dilapangan terbuka yang tinggi letaknya. Satu-satunya sarana pengangkutan adalah perahu-perahu kecil. Berbeda dengan pasukan Belanda, pasukan gerilya Aceh tahu bahaya-bahaya apa yang akan ditimbulkan oleh sungai Aceh, seperti waduk dan saluran keluarnya air hujan dan gunung-gunung disekitarnya.

Mereka berdiam di rumah-rumah tiang atau tanah-tanah yang lebih tinggi agar tidak banyak gangguan. Dengan kondisi medan seperti ini, barulah Kolonel Pel dengan pasukannya pada akhir Desember 1874 dapat melaksanakan operasi militernya. Salah satu sasarannya adalah Kampung Lueng Bata, yang jaraknya menurut garis lurus tidak sampai dua kilometer dari keraton ke arah hulu. Di tempat itu terdapat Masjid Lueng Bata, tempat yang terpenting, yang menjadi pusat mukim dengan nama yang sama. Di sini pula tempat kediaman kepala mukim yang sangat berpengaruh, Imam Lueng Bata namanya.

Imam Lueng Bata adalah salah seorang tergolong 'raja pemilih' dan dalam tahap perjuangan rakyat Aceh ini, ia menjadi jiwa perlawanan terhadap Belanda. Sesudah sultan mangkat, bersama Panglima Polim kepala sagi Mukim XXII dan dengan Teungku Hasyim, dia tampil sebagai wali sultan terpilih yang baru. Kinipun para hulubalang pemilih menetapkan bahwa yang menjadi sultan adalah seorang anak, yaitu Tengku Muhammad Daud yang masih berusia tiga tahun, cucu salah seorang bekas sultan. Ketiga wali ini, dengan tidak adanya Perdana Menteri Abdurrahman Al Zahir, yang bermukim diluar negeri, kelompok yang memimpin di Aceh, yaitu Imam Lueng Bata, Panglima Polim dan Teungku Hasyim.

Sejauh mana pel setepatnya mengetahui kedudukan imam Lueng Bata, tidaklah dapat dipastikan. Satu hal yang dia tahu pasti dari ketiga orang pemimpin perlawanan; seorang berada di pedalaman yang tidak dapat terjangkau yaitu Panglima Polim, yang kedua yakni Teungku Hasyim tidak ditemui, dan hanyalah yang ketiga menjadi pusat kekuasaan yang mudah terjangkau, yaitu Imam Leung Bata. Pada tanggal 1 April 1875 akhirnya operasi militer Belanda, benar-benar dapat dilaksanakan. Pukul lima pagi pasukan telah dikumpulkan didepan suatu pasukan mobil diam bivak dekat keraton. Dinas mereka telah mulai tengah malam dan malahan lebih dahulu lagi waktunya bagi kompi-kompi yang harus datang dengan berjalan kaki dari tempat pendaratan, Olehleh.

Mereka terdiri dari sebuah batalyon infanteri atau menurut pembagian ketika itu dua paruh batalyon yang melakukan operasi tersendiri, satu bateri tembakan medan, dua bagian mortir; dan satu kompi anggota yang melakukan pekerjaan zeni. Semuanya kira-kira seribu orang pasukan militer, sebagian besar terdiri pasukan Eropa, yang lebih dipercayai untuk melakukan jenis operasi mihter ini dari pada pasukan 'bumi putra'. Menurut rencana, pertempuran dibentuk tiga pasukan kecil. Yang dua akan menyeberang langsung melalui lapangan, yang ketiga akan berbaris sepanjang sungai yang tinggi, sehingga di Lueng Bata pasukan dapat bersatu kembali. Pada hari-hari belakangan ini air agak menurun, tetapi sawah semuanya masih tergenang air dan pematang-pematang sawah, yang seharusnya digunakan sebagai jalan, menjadi alur lumpur. Kendati demikian, pasukan Belanda berbaris menurut cara biasa seakan-akan menempuh jalan dari Meester Cornelis ke Buitenzorg (Jatinegara ke Bogor), bukan pematang sawah. Jadi, sebanyak mungkin terkumpul, meriam lapangan ditengah-tengah kolonne, dan panji didepan sekali. Lebih baik rasanya dengan menggunakan pakaian seragam serba-biru, kaus panjang putih dan senapan-senapan panjang tidak praktis menjadi sasaran bagi jago-jago tembak pasukan Aceh.

Pasukan Belanda bukan main takutnya terhadap kelewang Aceh. Dengan parang yang begitu tajamnya, seorang Aceh yang tangkas --dan kebanyakan mereka ini tangkas- tangkas-- dengan sekali ayun bisa membelah bahu orang miring sampai ke jantungnya. Menghadapi serangan kelewang, pasukan Belanda tidak dapat berbuat lain selain mempergunakan sangkurnya yang tidak praktis terpasang pada senapan panjangnya yang lebih tidak praktis. Pada setiap rumpun bambu, di belakang setiap pematang sawah, pasukan Aceh berkelompok sambil duduk untuk menembak. Berkali-kali mereka mendekati kolonne-kolonne itu dengan teriakan perang (Allahu Akbar) yang seram dan mengayunkan kelewang serta rencong dekat sekali. Pejuang-pejuang muslim yang fanatik, yang sekarang pun ingin memasuki syurga sebagai syahid, dengan pakaian putih-putih menyerbu dengan menari-nari dan dengan hasrat ingin mati syahid menghadapi sangkur-sangkur pasukan Belanda kafir. Semenjak subuh para mujahidin muslim ini di masjid telah bersiap mati syahid dan berada dalam kondisi mental yang tinggi.

Dalam medan yang demikian, tidak mungkin pasukan Belanda kafir untuk melepaskan tembakan gencar yang beraturan dari pematang sawah. Meriam lapangan yang dengan susah payah dihela oleh dua pasang kuda, tidak bisa cepat-cepat dipasang untuk segera ditembakkan bila pasukan gerilya muslim Aceh datang menyerang berlompatan melalui pematang. Kedua kolonne darat itu merambat maju sendiri-sendiri dengan susah payah dan hilang dari pandangan masing-masing, dari pukul lima pagi sampai pukul setengah tiga petang, dalam panas yang menyengat, mereka sampai pada satu titik yang jarak garis lurusnya hanya kira-kira dua kilometer jauhnya dari keraton. Sebagian besar waktu sesungguhnya hilang karena meriam-meriam itu berulang kali meluncur ke dalam sawah karena licin. Pasukan perintis terus-menerus menebas membuat jalan menerobos pagar-pagar, belukar lebar berduri yang melingkari setiap pasang rumah dan mengitari sawah.

Mestinya pasukan Belanda sudah tiba di Lueng Bata, tetapi entah dimana mereka sekarang. Pada suatu saat kolonne-kolonne darat mendengar kolonne sungai meniup isyarat terompet Wilhelmusvan Nassauwe. Kedua komandan ini masing-masing menyimpulkan bahwa rekannya telah berhasil mencapai Leung Bata dengan menyusuri sungai. Karena mereka (kedua kolonne darat ini) tidak melihat kemungkinan sampai ke situ dan beranggapan bahwa tujuan gerakan telah tercapai, kemudian untuk kembali kekeraton.

Tetapi isyarat itu lain sekali artinya. Komandan kolonne sungai --dua kompi infanteri tidak lengkap dan dua peleton zeni-- menyuruh meniup terompet untuk memberi tahukan bahwa mereka berada dalam kesulitan. Batalyonnya memang dapat jauh lebih cepat maju dari pada yang lain-lain. Kira-kira tengah hari mereka telah mencapai Masjid Lueng Bata dan mendudukinya, dan ada perintah lewat kurir untuk terus bergerak menuju sebuah benteng tidak jauh dari situ. Dengan mencari-cari tujuannya, beberapa kilometer, selanjutnya mereka tiba di Kampung Lhong yang diperkuat, yang diserbunya dengan melakukan pertempuran hebat.

Ketika sang Komandan pasukan Belanda telah kehilangan sepuluh orang tewas dan lima orang luka-luka berat dari kira-kira 150 orang anggotanya, sedangkan tidak seorangpun yang luput tanpa cedera, dekat dari situ terdengar olehnya suara tembakan mendatang. Pikirnya tentu salah satu kolonne darat berada disekitar tempat itu. Di Lhong keadaannya lebih sulit lagi. Dengan meniup isyarat Wilhelmusvan Nassouwe serta memancangkan bendera Belanda di pohon yang tertinggi dalam kampung itu, dia ingin minta perhatian dan minta komandan-komandan rekannya membantu dia.

Alangkah terperanjatnya ketika dia mendengar orang meniup sebagai jawaban isyarat "Batalyon X kembali Pulang". Dari cepatnya suara tembakan-tembakan menjauh dapat disimpulkan bahwa kolonne darat itu merasa kira-kira jauh lebih gembira harus pulang kembali dari pada terus. Namun, tampaknya masih belum gawat. Sebagian dari kolonne sungai tertinggal di Masjid Lueng Bata, dan tentunya akan datang membantu. Akan tetapi peleton yang tinggal ini setengah mati keadaannya dimasjid itu, bahkan ditembaki dengan lila, yaitu meriam kecil Aceh yang dapat dibawa kemana-mana.

Pukul setengah enam komandan pasukan Belanda di Lhong menganggap posisinya tidak dapat dipertahankan lagi. Bayangan harus bermalam di kampung yang terkepung ini sangat berbahaya, diputuskannya untuk pulang kembali ke masjid, tapi dalam kebingungan dia mengambil jalan lain dari pada yang ditempuhnya pagi-pagi. Sesudah dilalui beberapa ratus meter ternyata jalan ini buntu. Betul-betul panik mereka dan lari pontang-panting ketika kelompok kecil ini masuk ke dalam sawah. Dengan dikelilingi pasukan Aceh yang bertakbir menghabisi pasukan Belanda yang telah jatuh terluka, pelarian-pelarian ini mencoba menyelamatkan nyawanya. Beberapa orang yang luka, bunuh diri atau memohon pada teman-temannya agar menembak mati mereka. Yang lain-lain, diantaranya seorang mati tenggelam di dalam rawa.

Hanya dengan susah payah sebagian pasukan Belanda dari Lhong dapat mencapai masjid Lueng Bata untuk bergabung dengan teman-teman mereka yang masih tinggal di sana. Markas besar pasukan Belanda, segera mengirimkan bala bantuan, karena kolonne sungai yang tidak pulang-pulang. Baru kira-kira pukul enam petang, bala bantuan datang. Dengan bala bantuan baru itu, pasukan Belanda baru dapat kembali pada malam yang pekat, disertai dengan iringan pasukan gerilya muslim Aceh, yang setiap saat menyerang pasukan Belanda yang sedang jalan kembali pulang. Serangan-serangan gerilya semacam ini jauh lebih berbasil, karena pasukan Belanda yang kecapaian, sulit untuk melakukan serangan balasan terhadap gerilya, sehingga kematian biasanya jauh lebih besar dibandingkan dengan pasukan yang bergerak maju.

Tahun 1876, akhir Perang Aceh kedua ini, memecahkan semua rekor. Kekuatan pasukan Belanda di Aceh rata-rata terdiri dari tiga ribu pasukan Eropa, lima ribu pasukan pribumi, dan 180 orang pasukan Afrika. Sebagai tukang-pikul dan pekerja diturut-sertakan tiga ribu narapidana, dan lima ratus orang kuli lepas. Pada tahun itu meninggal dunia1.400 orang anggota militer dan 1.500 orang narapidana kerja paksa. Karena sakit atau luka tidak kurang dari 7.599 orang militer harus diungsikan ke Padang atau Jawa. Jadi dalam satu tahun diperlukan tujuh belas ribu orang militer untuk memelihara suatu kekuatan pasukan yang terdiri dari delapan ribu orang. Dan masih lagi kekuatan ini seluruhnya terikat pada lima puluh benteng besar dan kecil dalam lingkungan terdekat sekitar Kutaraja.

Di kota-kota terpenting di Jawa dibentuk depot narapidana kerja paksa. Gubernur Jenderal memberi kuasa bagi semua bangunan pekerjaan umum, yang hingga sekarang ini dikerjakan dengan bantuan tenaga narapidana, untuk mengambil kuli-kuli lepas. Siapa yang bernasib sial bagi narapidana pada Perang Aceh mendapat hukuman tambahan untuk melakukan kerja paksa diluar daerah tempat tinggalnya, tinggal mati sajalah. Besar sekali kebutuhan pengangkutan tenaga manusia. Kecuali jalan dari kota pelabuhan Olehleh ke Kutaraja, yang mempunyai jalan trem kecil, semua pengangkutan harus dilakukan oleh tukang pikul. Baik tenaga pasukan maupun tenaga narapidana kerja paksa Jawa tidak dapat terus-menerus mengantar penyediaan yang diserap oleh Aceh.

Salah seorang korban perang Aceh adalah Kolonel Pel sendiri, yang kemudian pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor Jenderal. Dia meninggal dunia pada bulan Februari 1875, sebelum ia memperoleh kesempatan melaksanakan rencananya untuk menutupi seluruh Lembah Aceh dengan deretan pos ganda dari laut. Memang terus juga diperintahkan untuk membangun benteng lagi, dengan titik terjauh sembilan kilometer dari Kutaraja, tetapi dengan demikian kekuatan pasukan Belanda menjadi terpecah-pecah. Bila pos-pos ini seminggu sekali harus dibawakan perbekalan, maka kolonne-kolonne yang bertugas harus bertempur merintis jalan menuju benteng-benteng yang terkepung itu.

Tidak lama sebelum Pel meninggal, telah tewas 45 dari 60 orang pasukan pengawal dekat keraton pada pengangkutan demikian. Banyaknya korban yang jatuh pada peristiwa-peristiwa demikian dikalagan para tukang pikul, telah biasa terjadi. Berbatalyon-batalyon lengkap dikirim ke benteng-benteng yang terjauh letaknya untuk melindungi pengangkutan dan masih juga terjadi kolonne ini harus kembali dengan sia-sia. Kian menjadi jelas bahwa pasukan Aceh tidak lagi bertindak liar sewaktu-waktu, tetapi mereka beroperasi secara teratur. Orang yang mengatur segalanya ini adalah Habib Abdurrahman Al Zahir.

Setelah usaha diplomatik yang diusahakan semenjak awal Perang Aceh tidak berhasil, terutama untuk mendapatkan bantuan senjata dari Turki, maka Habib Abdurrahman Al Zahir, dengan mencukur jangkut dan rambut kepalanya, dan mengenakan pakaian orang Keling, ia menyamar masuk ke Aceh. Dengan menyamar demikian, dia berlayar dengan sebuah kapal uap kecil pada awal tahun 1875 ke seberang dipantai Aceh. Ditengah laut kapalnya ditahan; tetapi ternyata surat-suratnya beres, dan Habib tidak dikenali, walaupun semua kapal blokade Belanda telah diberitahu akan kedatangannya di negeri pantaiAceh yang kecil, Idi, yang ditujunya, tidak sulit orang mengenalnya. Kedatangannya kembali ke Aceh merupakan suatu kemenangan. Lebih dari dua tahun dia menghilang, tetapi tidak dilupakan. Di Pedir (Pidie), negeri terbesar dari konfederasi Aceh, dihimpunnya sebuah tentara yang terdiri dari ribuan orang, dan dibawanya ke Indrapuri melalui pegunungan, sebuah kota dalam Sagi Mukim XXII di hulu sungai Aceh. Dimana-mana di tengah jalan orang-orang bersenjata menggabung padanya, dengan memberikan uang dan hadiah kepadanya. Pada suatu pertemuan para hulubalang, dia diangkat menjadi panglima besar Perang Aceh.

Bantuan yang lebih penting untuk memperkokoh pasukannya adalah datangnya dari pihak ulama, terutama Teungku di Tiro yang termasyhur bersama pasukan pengikutnya, sesudah Habib Abdurrahman Al Zahir menetapkan markas besarnya di Montasik, yang letaknya hanyakira-kira dua belas kilometer dari Kutaraja. Teungku di Tiro berasal dari pusat Islam Tiro di Pidie tempat keluarga-keluarga Aceh sejak dahulu mengirimkan puteranya untuk memperdalam ajaran agama Islam. Ia besar pengaruhnya, juga diluar Pidie. Turut sertanya dalam perjuangan menentang Belanda kafir ini mengabsahkan sifat suci perang ini, yaitu perang suci (perang sabil) terhadap kaum kafir kepada para pejuang yang melakukan perjuangan menurut ketentutan-ketentuan Islam, apabila wafat berhak menjadi syuhada.

Teungku di Tiro dan para ulama yang lain memberikan gambaran terinci kenikmatan-kenikmatan yang diberikan kepada seorang yang mati syahid. Di Aceh beredar tulisan-tulisan suci, anjuran-anjuran perang, dengan uraian panjang lebar dan terinci: pada waktu tiba diakhirat sejumlah bidadari dengan tubuhnya yang putih bagaikan pualam dan mata yang jeli bagaikan mata kijang, tetirah beberapa hari ditaman syurgawi dengan pepohonan rimba dan pancuran sejuk, akhirnya mencapai penyempurnaan nikmat.

Dengan semangat perang sabil yang maksimal, pasukan Habib Abdurrahman Al Zahir, yang disokong sepenuhnya oleh para ulama, mampu menggerakkan satuan-satuan gerilyanya menyusup terus sampai dekat Kutaraja. Pada pertengahan tahun l877 Jenderal K. van der Heijden diangkat menjadi Gubernur militer Aceh. Gerakan Pertamanya, ia melakukan operasi militer dengan mengerahkan tiga ribu pasukan tentara dan sepuluh kapal perang dan kapal pengangkut untuk menyerbu daerah Samalanga. Daerah ini merupakan wilayah yang makmur dengan tiga puluh ribu orang penduduk dipantai timur laut. Para pemimpinnya pada tahun 1876 dan 1877 telah melarang mengerjakan sawah, agar semua laki-laki dapat digunakan untuk pertempuran di Aceh Besar. Bagi Jenderal K. van der Heijden sangat menjengkelkan, karena daerah-daerah pesisir sama saja keadaannya, peperangan yang berlangsung jauh dari daerah yang mereka alami, tidak sampai menyulitkan mereka untuk mengirimkan ribuan pejuang gerilya Aceh ke Aceh Besar guna menyerang Belanda.

Pendaratan pasukan militer yang besar itu --yang sama besarnya dengan seluruh pasukan penyerbuan Perang Aceh I--tidak banyak mengalami rintangan. Sesudah melakukan pertempuran seru dalam waktu singkat diwilayah pesisir, pemimpin Samalanga menandatangani Ikrar Panjang, yang terdiri atas delapan belas pasal, yang memuat pengakuan akan kedaulatan Belanda. Walau begitu Van der Heijden tidak dapat merebut Batu Iliek (Batee Iliek), walau berulang kali diadakan serbuan kesana. Batu Iliek merupakan pusat kerohanian, kira-kira dapat disamakan dengan Tiro di Pidie. Benteng ini dipertahankan oleh para santri yang penuh dengan ruhul jihad memimpin Samalanga tidak bisa banyak berbuat apa-apa. Dengan daerah pedalaman yang demikian, tidaklah mengherankan bila ia sama sekali tidak mempedulikan pelaksanaan Ikrar Panjang dalam praktek. Pada tahun 1880 dikirim lagi pasukan militer Belanda untuk kedua kalinya menyerang Batu Iliek, tetapi kali ini Jenderal K. van der Heijden sendiri yang kena hajar. Dia sendiri kehilangan sebelah matanya dalam pertempuran ini, sehingga kemudian dalam cerita rakyat Aceh ia disebut Jenderal Mata Sebelah.

Operasi-operasi militer di Aceh Besar yang dilakukan oleh Jenderal K. van der Heijden lebih berhasil. Pada tahun 1878 pasukan Habib Abdurrahman Al Zahir memasuki mukim XXV. Disini terjadi pertempuran yang sengit dan seru, sehingga Gubernur Jenderal Van Lansberge mengirimkan empat batalyon bala bantuan dari Batavia untuk membantu Van der Heijden, yang sedang kewalahan menghadapi pasukan Habib Abdurrahman Al Zahir.

Van Lansberge menginstruksikan kepada Jenderal van der Heijden, yang bunyinya antara lain: "Serbuan dalam Mukim XXV merupakan tindakan permusuhan yang begitu berat, sehingga tidak boleh tidak harus dilakukan penghukuman yang tiada taranya. Hal ini pada mulanya telah begitu rupa mengguncangkan prestise kita dan kepercayaan pada kekuatan kita, sehingga tidak cukup bagi kita hanya melakukan penghukuman, tetapi mutlak haruslah ditaklukkan seluruhnya kepada kita bagian Aceh Besar yang bermusuhan sikapnya, sekiranya kita tidak ingin mempertaruhkan hasil yang telah kita peroleh dengan begitu banyak mengorbankan harta dan darah." Van der Heijden tidak memecah-mecah bala bantuan barunya pada puluhan pos di lembah itu, yang tidak akan dapat mencegah suatu serangan dibagian yang paling ditakuti disitu. Dia membentuk kolonne mobile yang kuat, yang terdiri dari dua pasukan militer dengan seribu orang tukang pikul. Pertama-tama ia membebaskan Krueng Rabayang terkepung, kemudian maju menuju markas besar Habib Abdurrahman Al Zahir di Montasik, yang baru saja direbutnya, sekitar bulan Juli 1878.

Pada bulan-bulan berikutnya Van der Heijden diperintahkan untuk mengejar pasukan Abdurrahman Al Zahir yang kecil-kecil yang bersembunyi di Mukim XXII dan XXVI. Penyerbuan pasukan Belanda ke pusat pertahanan pasukan Habib Abdurrahman Al Zahir berhasil, dimana pada tanggal 25 Agustus 1878, tiga orang utusan Habib Abdurrahman muncul di pos Belanda Lam Baro dengan membawa permohonan tertulis meminta ampun dan minta berunding tentang penyerahan. Dalam hubungan tertulis itu ternyata Habib Abdurrahman bersedia menghentikan pertempuran, bila ia dan empat ratus orang anggota keluarga dan pengikutnya diperkenankan berangkat ke Arab dengan kapal Belanda dan menerima pensiun disana.

Tuntutan itu tidak kecil. Tetapi Van Lansberge dan Van der Heijden yakin bahwa penyerbuan Abdurrahman akan membuat peperangan ini lain sekali jalannya. Pada bulan Oktober 1878 menyusul persetujuan setelah ada izin dari pemerintah Belanda. Habib Abdurrahman akan diangkut ke Mekah bersama dengan dua puluh orang pengikut naik kapal Belanda dan disana menerima pensiun untuk seumur hidupnya dengan sepuluh ribu ringgit tiap-tiap tahunnya.

Sebelum berangkat pada tanggal 24 Desember 1878, melalui surat tertulis, ia menganjurkan kepada para pemimpin Aceh untuk menyerah kepada Belanda, tetapi tidak mendapat tanggapan sedikitpun. Para pemimpin dan ulama Aceh, yang selama ini telah berperang dengan pasukan Belanda kafir; telah bertekad bulat untuk mengusirnya dari bumi Aceh. Gabungan para pemimpin dan ulama Aceh dengan Habib Abdurrahman Al Zahir, pada saat-saat terakhir memang sudah goyah, dan kepercayaan yang diberikan kepadanya telah hilang, karena sikapnya yang banci. Oleh karena itu, kesan terakhir disaat ia menyerah kepada Belanda, tidak ada kata lain yang terbaik, kecuali 'pengkhianat'.

Jenderal Van der Heijden telah berhasil menaklukkan Lembah Aceh Besar, sehingga pada bulan Januari 1880 kenaikan pangkatnyapun dipercegat menjadi Letnan Jenderal. Ini merupakan hadiah yang indah, sekiranya dia sebulan sebelumnya tidak menerima sepucuk surat yang agak aneh dari Gubernur Jenderal van Lansberge yang memberitakan bahwa dia diberi kuasa oleh Raja "…bila van der Heijden akan berhenti kelak…" untuk membentuk pemerintahan sipil di Aceh. Karena itu "…ingin saya mengetahui dari anda, kiranya pada saat mana pada awal tahun depan ini anda merasa waktu yang sebaik-baiknya untuk meletakkan jabatan anda, hingga saya dengan demikian dapat mengharapkan diajukannya permintaan berhenti anda…" Sama sekali Van der Heijden tidak mempunyai rencana ke arah itu. Berlawanan dengan kehendaknya, bersama dengan residen Palembang, A. Pruysvan derHoeve, dia diangkat menjadi komisaris untuk penyusunan kembali pemerintahan sipil di Aceh. Dan Lansberge ingin sekali mengakhiri Perang Aceh semasih dalam masa pemerintahannya. Secara militer memang Van der Heijden-lah yang menaklukkannya, secara politik keadaan aman akan diresmikan dengan diberlakukannya pemerintahan sipil biasa.

Ternyata, kedua kesimpulan itu salah perhitungan. Gubernur Jenderal dapat mengharapkan bahwa penggantinya selambat-lambatnya akan diangkat pada tahun 1881. Ia mengusahakan dengan cepat menyusun rencana-rencana perubahan pemerintahan. Pada bulan Oktober 1880 Van der Heijden dan Pruys sudah memasukkan laporan mereka. Kedua orang itu berpendapat bahwa lama lagi baru Aceh siap melaksanakan pemerintahan sipil. Paling-paling dalam prinsip pemerintahan karesidenan di Jawa, yaitu dengan residen dengan kepalanya, tiga orang asisten residen, dan sepuluh orang kontarolir; tetapi residennya (dalam hal ini dengan pangkat gubernur langsung dibawah Batavia karena keadaannya yang luar biasa) haruslah seorang militer, sekaligus merangkap menjadi komandan angkatan bersenjata setempat. Usul ini ditolak oleh Gubernur Jenderal di Batavia.

Maka pada tahun 1881 Pruysvan der Hoeven dengan resmi diangkat menjadi Gubernur sipil pertama di Aceh. Ketertiban dan keamanan akan dijaga oleh polisi yang baru. Dia hanya sedikit memberikan perhatian kepada gangguan-gangguan dan serangan-serangan yang dilakukan oleh pasukan gerilya Aceh baik yang dilakukan oleh para ulama yang fanatik maupun oleh kelompok Teuku Umar.

Ketika Pruysvan der Hoeven pada bulan Maret 1883 menyerahkan jabatannya kepada pejabat pemerintahan P.F. Laging Tobias, dia memberikan gambaran yang menggembirakan tentang keadaan Aceh. Persoalannya, menurut dia, hanyalah melanjutkan suatu politik yang akan menjamin diperolehnya bantuan para hulubalang Aceh untuk kepentingan Belanda. "…Para pemuka yang sah harus menduduki tempat yang menjadi haknya…" dari pada kita "…menolak mereka karena tidak sadar akan bahaya mereka…" Bila suatu kebijaksanaan demikian digabungkan dengan suatu pengaturan pengawasan yang bijaksana atas pelayaran-pelayaran dinegeri-negeri pesisir, maka seluruh keamanan Aceh hanyalah soal menanti dengan tenang.

Tetapi optimisme yang berlebihan ini, tidak cocok dengan kenyataan, sebab serangan-serangan pasukan gerilya Aceh, baik yang dipimpin oleh para ulama maupun para hulubalang makin hari makin meningkat. Laging Tobias segera menyalahkan pendahulunya dan meminta bala bantuan militer, karena keadaan di daerah terdekat dengan Kutaraja saja sudah tidak aman. Jalan perhubungan yang terpenting dari Kutaraja ke Anenk Galong diperbatasan lembah, praktis tidak dapat digunakan lagi. Pos-pos polisi sedikitpun tidak ada gunanya.

Pemimpin-pemimpin pasukan Perang Aceh yang baru tampil ada yang terdiri dari ulama Teungku di Tiro, yang tegar dan fanatik, serta dipihak lain seperti Teuku Umar, yang berani dan licin, mulai memperoleh tenaga tempur yang baru untuk menghadapi pasukan kolonial Belanda. Selama tahun 1883 kelihatannya perang Aceh ketiga akan pecah lagi dengan hebat. Hal ini merupakan kekecewaan besar bagi Gubernur Jenderal s'Jacob, yang sempat mengunjungi Aceh pada bulan Agustus 1883 untuk menyelidiki apakah dengan penyusutan kekuatan pasukan Belanda tidak dapat dilakukan pengurangan biaya perang secata drastis.

Kekecewaan ini menjadi panik, karena pada tanggal 8 Nopember 1883 kapal uap Inggeris Nisero kandas dipantai daerah kecil Teunom dekat Kampung Pangah di pantai barat Aceh. Kapal itu berukuran 1.800 ton dan membawa muatan gula dari Surabaya menuju Marseille. Awak kapalnya terdiri dari segala bangsa. Sembilan belas orang Inggeris, dua orang Belanda, dua orang Jerman, dua orang Norwegia, dua orang Italia dan satu orang Amerika.

Daerah Teunom yang pada tahun 1882 pernah diserang habis-habisan oleh Belanda dari laut, membuat perhitungan terhadap kapal Nisero yang terdampar di pantainya. Semua awak kapal Nisero ditangkap dan dibawa ke pedalaman. Pemimpin Teunom melakukan tekanan besar kepada Belanda, dengan menuntut uang tebusan sebanyak 25.000 ringgit Spanyol dan jaminan tidak ada lagi blokade oleh Belanda atas pantai Teunom untuk membebaskan para sandera. Laging Tobias berpendapat bahwa suatu aksi militer terhadap Teunom akan memerlukan pasukan militer yang terdiri dari beberapa batalyon, sedangkan ada kemungkinan para sanderaitu sudah terbunuh. Perkara yang menyakitkan hati ini, tetapi dapat diperhitungkan dengan cukai masuk dan keluar daerah Teunom sendiri.

Dikirimkannya Residen Van Langen dengan 25.000 ringgit Spanyol tunai kepada pemimpin Teunom. Tetapi sang pemimpin menolak bicara dengan dia dan hanya mau berurusan dengan perunding-perunding Inggeris. Sia-sia Van Langen kembali ke Kutaraja. Karena terpaksa, Gubernur menyetujui usul Inggeris dari Singapura, yaitu sebuah kapal perang Inggeris kecil, disertai oleh dua kapal perang Belanda, dikirim ke Teunom untuk mengadakan kontak bersama. Keputusan yang didukung oleh s'Jacob tetapi tidak disetujui oleh Den Haag ini mempunyai akibat-akibat diplomatik. Sekarang Laging Tobias sendiri turut serta, tetapi dengan sangat geram ia mengalami nasib buruk, karena sang pemimpin Teunom hanya mau berbicara dengan orang-orang Inggeris. Ia menaikkan harga tuntutannya menjadi Tiga ratus ribu ringgit dan harus ada jaminan Inggeris tentang berlakunya pelayaran bebas di pantainya, yang ditandatangani sendiri oleh Ratu Victoria. Perundingan mengalami jalan buntu.

Pada tahun 1884 pemerintah kolonial Belanda memutuskan untuk bertindak keras kepada Teunom. Pada tanggal 7 Januari 1884, sebuah detasemen militer Belanda dari Kutaraja mendarat dekat pantai Teunom, dengan jalan menembaki pantai itu dari laut. Hasil satu-satunya yang diperoleh dari operasi miiiter Belanda ini ialah bahwa para sandera diseret lebih jauh ke pedalaman, dan pemimpin Teunom menaikkan uang tebusannya menjadi empat ratus ribu ringgit. Sesudah kegagalan ini, dengan tekanan Inggeris yang berat, Belanda menyetujui agar seorang dewan pemerintah Singapura, Sir Williem Maxwvell menjadi perunding dan perantara untuk berbicara dengan pemimpin Teunom. Hampir sebulan lamanya dia terus berbicara dengan pemimpin Teunom dan tidak saja mengenai sandera Nisero, tetapi juga mengenai pengaturan perdamaian dengan Aceh yang umum dengan jaminan-jaminan Inggeris. Dan inilah yang ditakutkan oleh Den Haag. Kekhawatiran Den Haag benar-benar menjadi kenyataan, sebab pada tanggal 26 April 1884, Menteri luar negeri Inggris, Lord Granville, memberi nota kepada Den Haag, bahwa Inggris bersedia menjadi perantara untuk memulihkan perdamaian di Aceh.

Nota Menteri Luar Negeri Inggris ini tidak dijawab oleh Den Haag, karena secara diam-diam Gubernur Laging Tobias telah mengirimkan pasukan militer yang terdiri dari orang-orang Aceh yang telah bersahabat untuk membebaskan para sandera. Teuku Umar yang sebelumnya telah menyatakan takluk kepada Belanda telah dipergunakan untuk memimpin operasi militer ini. Teuku Umar dengan pasukannya yang dibawa oleh kapal perang Belanda, diperlakukan sangat tidak enak. Ia harus tidur digeladak sebagai kuli-kuli saja. Rasa dendamnya dipendamnya selama ia dan pasukannya dikapal Belanda itu. Tetapi begitu Teuku Umar dengan pasukannya di daratkan oleh sebuah sekoci, maka semua awak kapal dari sekoci itu dibunuhnya, dan Teuku Umar dengan pasukannya menyatukan diri dengan rakyat Teunom.

Kegagalan yang ketiga kalinya untuk merebut sandera dari tangan rakyat Teunom, mendorong Jenderal Van Swieten untuk mengirimkan surat ke dewan menteri Belanda. Dengan kata-kata singkat diusulkannya agar Inggeris dan Belanda bersama-sama mengirimkan pasukan penyerbu untuk menghukum rakyat Teunom. Menurut Van Swieten, ini tidak akan merendahkan prestise Belanda di nusantara, tetapi justru menaikkannya. Sebab, dengan ini akan ternyatalah bahwa tidak timbul pertentangan antara Belanda dan Inggeris. "Menurut saya akan merupakan langkah politik jitu bila panglima skuadron Inggris diminta membuka perundingan atau mengajukan tuntutan. Maka; diapun bertindak bagai penuntut yang meminta warga negaranya dibebaskan." Usul Van Swieten diterima oleh Dewan Menteri Belanda dan juga oleh Inggris, sehingga pada tanggal 12 Agustus 1884, skuadron Inggris-Belanda dengan pimpinan Maxwell dan Laging Tobias mengepung daerah Teunom dan tanpa perdebatan yang berarti, pemimpin Teunom menyerahkan para sandera dengan imbalan tebusan sebanyak seratus ribu ringgit dan pelabuhannya tidak diblokade lagi.

Setelah masalah kapal Nisero selesai, pada tanggal 20 Agustus 1884, penguasa kolonial Belanda memulai memasang Lini Konsentrasi, yang luasnya kira-kira 50 km2 dengan Kutaraja sebagai jantungnya, dikelilingi oleh suatu lini dengan enam belas benteng, dalam rangka mengamankan daerah kekuasaannya di Aceh. Jarak antara satu benteng dengan benteng lainnya satu sampai dua kilometer, dan rata-rata lima kilometer, dari titik tengah. Keseluruhan bentuknya kira-kira merupakan setengah bulatan dengan bagian terbuka ke arah laut.

Reltrem menghubungkan benteng-benteng itu yang jumlah penghuninya masing-masing berbeda, dari 160 orang dengan lima perwira dalam benteng terbesar, sampai 60 orang dengan seorang perwira dalam benteng terkecil. Benteng-benteng ini temboknya tanah dengan pagar kayu runcing-runcing, dan dua meriam atau lebih dibaluarti yang menjorok dipojok-pojok, sehingga baik lapangan depan maupun sebelah tembok-tembok itu dapat tersapu oleh tembakan meriam. Pembuatan Lini Konsentrasi ini bersamaan dengan diberlakukannya kembali pemerintah militer di Aceh dan memakan waktu setengah tahun. Baru pada bulan Januari 1885, pos-pos yang berada diluar Lini Konsentrasi dikosongkan oleh pasukan Belanda, tetapi segera diisi oleh pasukan gerilya Aceh.

Sistem Lini Konsentarsi pasukan Belanda ini, dinilai oleh para pemimpin perjuangan Aceh sebagai suatu taktik kekalahan Belanda. Hal ini merupakan dorongan semangat untuk melanjutkan perjuangan bagi rakyat Aceh untuk mengusir Belanda kafir. Teungku di Tiro yang masih tetap tegar dan tidak kenal damai serta beberapa ulama lainnya; memainkan peranan penting untuk melanjutkan peperangan di Aceh sampai penguasa kolonial angkat kaki dari bumi Aceh.

Walau sistem Lini Konsentrasi dianggap yang paling aman buat Belanda, tetapi ternyata masih saja banyak pasukan gerilya Aceh dapat menembus benteng-benteng mereka dan melakukan serangan, sehingga keamanan semu tidak pernah dicapai. Disamping itu sistem Lini Konsentrasi menimbulkan kejenuhan bagi pasukan Belanda, keadaan terkurung dan tidak ada operasi militer yang dapat meningkatkan prestasi, apalagi sesudah bulan Agustus 1885 setelah beberapa sergapan pasukan gerilya Aceh dalam lini terjadi, hampir semua lalu lintas dengan luar tertutup dan semua bahan makanan harus didatangkan dari laut; akibatnya wabah beri-beri yang parah, pelanggaran disiplin dan desersi besar-besaran menimpa pasukan Belanda.

Pengaruh demoralisasi kehidupan dalam Lini Konsentrasi dengan baik dilukiskan oleh banyaknya jumlah mereka yang lari. Berapa banyak pasukan Belanda yang berasal dari penduduk bumi putera yang melakukan desersi tidak diketahui, tetapi pastilah ratusan, karena semua berita sependapat mengemukakan bahwa jumlahnya jauh lebih besar dari pada pasukan Belanda yang berasal dari Eropa. Sedangkan jumlah seratus untuk gologan yang terakhir ini (pasukan asal Eropa) tidak dilebih-lebihkan. Pada tahun 1896 pasukan Belanda menyerang tempat kediaman Panglima Polim, kepala sagi Mukim XXII, di Gle Jeung yang terletak di Sungai Aceh. Banyak keterangan yang mereka peroleh bahwa disana sudah sejak lama tidak boleh tidak berdiam sekumpulan desertir (pelarian) dalam jumlah banyak. Bukti yang paling kurang ajar adalah sepucuk surat dalam bahasa Belanda yang mereka tujukan kepada pasukan Belanda. Dalam surat itu dimintanya agar detasemen pasukan Belanda bila kembali ke Kutaraja mau meninggalkan sedikit jenewer.

Dalam kelompok pelarian ini terdapat pula seorang jago tembak bangsa Belanda yang bernama Carli dari batalyon XVI. Ia pandai berbahasa Aceh dan menggabungkan diri dengan pasukan Panglima Polim. Pada pertempuran tahun 1896 dan 1897 yang dilakukan oleh pasukan Panglima Polim, Carli dengan menggunakan senapan Besumon modern menyerang pasukan Belanda dengan gigih, sehingga pihak belanda menjadi kewalahan.

Sistem Lini Konsentrasi ternyata tidak menjamin keamanan dan ketenteraman kedudukan penguasa kolonial Belanda, karena ternyata pasukan gerilya Aceh masih mampu melakukan serangan sampai ke daerah-daerah yang terdekat dengan Kutaraja. Untuk mengatasi serangan gerilya Aceh, maka pada tanggal 20 April 1890, seorang Jaksa pada pengadilan di Kutararja, bernama Muhammad Arif, menasehatkan kepada Gubernur militer Aceh ketika itu Jenderal Van Teijn, dan kepala stafnya yang bernama J.B. van Heutsz, untuk membentuk sejumlah detasemen mobil kecil-kecil yang terdiri dari orang-orang yang cukup berani untuk mencari gerilya dan melawannya dengan senjata-senjata mereka sendiri. Kontra gerilya sebagai jawaban atas gerilya. Usul ini diterima. Nama korps baru ini menunjukkan bahwa pada mulanya ia dimaksudkan sebagai polisi militer.

Pembentukan pertama korps ini terdiri dari satu divisi yang terbagi dalam dua belas brigade, yang masing-mssing terdiri dari dua puluh orang serdadu Ambon dan Jawa dibawah pimpinan seorang sersan Eropa dan seorang kopral Indonesia. Pada tahun 1897 menyusul perluasan sampai dua divisi dan pada tahun 1899 sampai lima divisi; semuanya berjumlah seribu dua ratus orang. Kemudian ada lagi beberapa kompi yang berasal dari Jawa; dan pasukan inilah yang kemudian terkenal dengan pasukan Marsose.

Dalamkisah-kisah romantis perang Aceh biasanya digambarkan bahwa seakan-akan 1200 orang Marsose inilah yang membereskan apa yang tidak dapat dilakukan oleh bala tentera yang sepuluh kali lebih besar dulu. Ini tidak benar! Secara kekuatan efektif, kekuatan pasukan Belanda seluruhnya di Aceh dibawah van Beutsz lebih besar dari pada kekuatan-kekuatan sebelumnya. Dibawah pimpinan beberapa orang perwira telah dilakukan kekejaman-kekejaman yang tidak terlukiskan dengan pasukan-pasukan teror oleh brigade-brigade marsose, yang mengakibatkan ratusan dan bahkan ribuan orang laki-laki dan perempuan serta anak-anak yang terbunuh secara menyedihkan.

Kemandirian brigade merupakan rahasia besar marsose. Persenjataannya adalah sebaik-baik persenjataan pada masa itu, yakni karaben pendek --bukan senapan panjang-panjang, kelewang dan rencong-- sepatu dan pembalut kaki untuk semua anggota dan topi. Memang brigade-brigade ini membawa beberapa narapidana untuk mengangkut perlengkapan mereka dalam setiap operasi militer, tetapi secara keseluruhan pasukan marsose adalah hidup berdikari. Semangat pasukan senantiasa dipertinggi dengan berbagai cara: hadiah, kenaikan pangkat dan upacara.

Pasukan marsose tahun 1890 dapat disamakan dengan anggota pasukan komando, pasukan payung, dan pasukan-pasukan khusus lainnya dikemudian hari. Merekapun merasa sebagai pasukan istimewa. Adalah merupakan kehormatan bagi perwira untuk ditempatkan pada korps ini. Sebagian besar para perwira pribumi yang terkenal dan yang terjahat berasal dari pasukan marsose, dan mereka sangat disanjung-sanjung oleh penguasa kolanial Belanda, dengan memberikan berbagai gelar militer kehormatan. Ketika pada tahun 1912 pasukan marsose dibawah pimpinan Letnan B.J. Schmidt dibubarkan, setelah kedua brigadenya di Tangse selama tiga tahun mengejar-ngejar pasukan gerilya dibawah pimpinan ulama Tiro terakhir, keempat puluh satu anggota pasukannya ini semuanya memperoleh dua bintang Militaire Willemsorde kelas tiga, sebilah Pedang Kehormatan, tiga Militaire Willemsorde kelas empat, dua Bintang Perunggu, dan sepuluh pernyataan Kehormatan dalam perintah-perintah harian.

Pada bulan Januari 1891, rakyat Aceh mendapat musibah yang sangat besar. Karena kedua tokoh utama perjuangan rakyat Aceh meninggal dunia karena sakit, yaitu Panglima Polim dan Teungku di Tiro. Dengan wafatnya kedua tokoh utama Aceh ini, maka kekuatan pasukan perlawanan terhadap Belanda menjadi terpecah-pecah, sebab para penggantinya tidak mempunyai kekuatan moral sebagaimana para pendahulunya. Dalam situasi seperti itu, Teuku Umar tampil menjadi pemimpin Aceh dengan caranya sendiri, yang membingungkan setiap penulis sejarah Aceh. Pada tahun 1891, daerah Mukim VI, sebelah barat Lini Konsentrasi telah diserang oleh pasukan gerilya Aceh yang dipimpin oleh para ulama. Teuku Umar, yang telah bebilang kali membelot dan mengkhianati Belanda, menawarkan diri untuk membantu Belanda guna membasmi pasukan gerilya yang senantiasa mengancam pasukan Belanda bila pemerintah kolonial Belanda mengampuninya dan membantu sepenuhnya. Tawaran ini diterima oleh Gubernur militer, Deijkerhoff di Aceh. Atas seizin Gubernur Jenderal Pijnacker Mordijk, Deijkerhoff mengampuni Teuku Umar dan memberinya senjata untuk menumpas pasukan gerilya Aceh, terutama yang beroperasi di sekitar Mukim VI.

Pada bulan Juli dan Agustus 1893 untuk pertama kalinya Teuku Umar tampil dengan bantuan Belanda untuk membersihkan Mukim XXV dan XXVI dari sarang para gerilya Aceh. Hasilnya sangat besar. Penduduk yang melarikan diri kembali pulang, dan para hulubalang penting dari kedua sagi menggabungkan diri dengan Teuku Umar. Pada tanggal 30 Desember 1893, atasjasa-jasanya, Teuku Umar diangkat menjadi 'panglima perang besar' oleh pemerintah Belanda yang dilaksanakan upacara militer di Kutaraja. Sebutan gelar yang diberikan kepadanya adalah Teuku Johan Pahlawan.

Pada bulan-bulan terakhir tahun 1893, Teuku Umar telah memiliki dua ribu pasukan lengkap dengan senjata yang diberikan oleh Belanda untuk melakukan operasi militer terhadap pasukan perlawanan Aceh. Pada tanggal 30 Oktober 1893, pasukan Teuku Umar menaklukkan daerah Anenk Galong, pusat kekuatan Panglima Polim (muda). Keberhasilan Teuku Umar dalam menumpas pasukan perlawanan Aceh, maka pada tanggal 1 Januari 1894, ia diberi izin untuk membentuk pasukan legiun inti sebanyak 250 orang, yang seluruh biaya, persenjataan dan perlengkapan ditanggung oleh pemerintah kolonial Belanda. Kolonel Deijkerhoff dinaikkan pangkatnya menjadi Jenderal. Keadaan Aceh sejak tampil Teuku Umar menjadi Johan Pahlawan membantu Belanda relatif agak aman dan serangan-serangan gerilya tidak lagi sebesar tahun-tahun sebelumnya.

Namun demikian, kebijaksanaan Deijkerhoff masih mendapat kecaman pedas dari seorang penasehat Gubernur Jenderal di Batavia, yaitu C. Snouck Hurgronye. Kecaman pedas yang dilakukan oleh C. Snouck Hurgronye, bertitik tolak dari hasil penelitiannya di Aceh yang diselenggarakan pada tanggal 16 Juli 1891 sampai 4 Februari 1892. Menurut Snouck dalam 'Laporan Politik Agama' yang disampaikannya kepada Gubernur Jenderal di Batavia, bahwa di Aceh ada tiga kekuatan yang saling mempengaruhi rakyat Aceh untuk menentang pemerintah kolonial Belanda. Dari ketiga pihak ini, pihak sultan adalah pihak yang bisa disisihkan dan pihak adat adalah pihak yang bisa diajak kompromi. Sedangkan pihak ulama, adalah pihak yang paling tidak kenal damai dan paling tegar. Karenanya harus dipukul habis, agar tidak tumbuh kembali menjadi kekuatan potensial menentang pemerintah kolonial Belanda.

Sebab menurut ajaran Islam, demikian Snouck, setiap muslim diwajibkan untuk menentang kekuasaan kafir yang bersifat menjajah, selama kaum muslimin masih mempunyai kekuatan dan keberanian untuk menghadapi musuh. Pada awal tahun 1896 tampillah di Aceh seorang komandan lini baru, yaitu Letnan Kolonel F.W. Bisschofvan Heemskerck. Di markasnya yang berkedudukan dibenteng Lam Baro dengan 150 orang anggota pasukannya, dirasakannya bahwa optimisme Jenderal Deijkerhoff tentang politik Teuku Umar sangat berlebihan. Sebab hampir setiap hari pos-pos pasukan Belanda, terutama yang berada di luar Lini Konsentrasi, seperti sagi Mukim XXII, yang pernah dibersihkan oleh pasukan Teuku Umar, senantiasa ditembaki pasukan gerilya Aceh. Bila pos yang terjauh seperti Anenk Galong (bekas pusat pertahanan Teuku di Tiro) akan diberi perbekalan, maka untuk itu diperlukan pengawalan dengan satu kolonne yang kuat. Sebab kaum gerilya Aceh yang terampil menggunakan senjata-senjata modern mampu menembak jitu pengawal pengawal perbekalan tersebut.

Pada tanggal 7 Maret 1896 jatuhlah giliran patroli pertama kepada Kapten R.F.T. Blokland. Bolehlah dikatakan seluruh kekuatan operasi militer Anenk Galong dikerahkannya untuk berangkat. Baru saja patroli maju beberapa ratus meter, lalu ada tembakan dari kampung yang pertama sekali, yaitu Klieng. Segera sesudah itu beberapa puluh pasukan gerilya Aceh menyerang patroli Belanda dengan kelewang. Pasukan Belanda yang telah lama tidak berperang karena hanya menjaga saja di Lini Konsentrasi, menjadi tidak terampil dan menjadi panik, sehingga lari pontang-panting. Ketika Kapten Blokland memeriksa anak buahnya sewaktu pertempuran berhenti sebentar, ternyata sisa-sisa pasukannya yang masih tinggal hanya dua belas orang asal Eropa dan sepuluh orang asal Indonesia. Beberapa puluh orang yang mati dan luka-luka, sedangkan sebagian terbesar melarikan diri masuk kemarkas mereka. Peristiwa ini merupakan tamparan yang hebat terhadap Jenderal Deijkerhoff, yang selama ini dianggap telah berhasil mengamankan daerah Aceh. Namun, ia tidak segera untuk menghukum Teuku Umar sebagai Johan Pahlawan, malah dia meminta agar Teuku Umar mengamankan daerah-daerah yang selama ini telah dinyatakan aman itu.

Permintaan Deijkerhoff tidak mudah disanggupi oleh Teuku Umar, sebab memang sejak sebelum peristiwa 7 Maret 1896, kegiatan para gerilya Aceh dibawah pimpinan para ulama mulai aktif secara mencolok. Pos-pos Belanda pernah diserang dengan meriam lapangan, empat buah granat telah dilemparkam ke dalam benteng di Lam Raya. Dalam keadaan yang demikian, Teuku Umar menjadi bimbang untuk melaksanakan tugas yang telah diminta oleh Jenderal Deijkerhoff. Untuk mengelakkan tugas itu, ia meminta diperlengkapi lagi persenjataannya, dengan alasan, bahwa senjata-senjata yang dimilikinya tidak cukup untuk melakukan operasi militer secara tuntas. Dan ternyata tuntutan Teuku Umar untuk memperoleh perlengkapan dan persenjataan dipenuhi oleh sang Jenderal. Pada tanggal 26 Maret 1896, Teuku Umar telah menerima 380 senapan kokang modern dan 500 senapan lantak kuno, 25.000 butir peluru, 500 kilo mesiu, 120.000 sumbu mesiu dan 5.000 kilo timah, ditambah dengan uang operasi sebanyak l8.000 ringgit Spanyol.

Setelah Teuku Umar menerima tambahan perlengkapan dan persenjataan untuk memulai operasi militer, sebagaimana yang dimintakan oleh Deijkerhoff, terbetik berita bahwa ia akan melakukan pembelotan kepada pasukan perlawanan Aceh. Berita ini terbukti tidak benar, sebab pada tanggal 28 Maret 1896 Teuku Umar hadir dalam konferensi Gubernur yang diselenggarakan di Kutaraja. Kehadirannya dalam konferensi gubernur itu, membuat pemerintah kolonial Belanda menjadi lega, tetapi besoknya tanggal 29 Maret 1896, Teuku Umar membuat satu kejutan yang membelalakkan mata Jenderal Deijkerhoff, disana ia menyatakan secara resmi menanggalkan jabatannya sebagai "Panglima Perang Besar Teuku Johan Pahlawan", menolak melaksanakan perintah-perintah Deijkerhoff, dan wakil-wakil panglimanya pada hari itu juga memanfaatkan dengan baik senjata-senjata barunya untuk melakukan pertempuran terhadap pasukan Belanda.

Pada tanggal 30 Maret 1896, dari tempat kediamannya Lampisang, Teuku Umar mengirimkan sepucuk surat kepada Gubernur dengan pemberitahuan bahwa ia harus beristirahat sementara waktu. Dia mengeluh tentang perlakuan penghinaan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pangreh praja dan perwira-perwira Belanda terhadap dirinya dan dia menyarankan Deijkerhoff agar menyuruh mereka saja menaklukkan mukim-mukim Lam Krak. Di Kutaraja terjadi panik setelah tersebar berita-berita tentang pembelotan itu. Orang khawatir kota akan diserbu besar-besaran, dan bersiap-siap menghadapinya. Serangan itu tidak terjadi. Tetapi memang beberapa hari kemudian hampir semua hulubalang yang berada di luar Lini Konsentrasi membelot ke pihak Teuku Umar.

Teuku Umar dengan pasukannya membentuk garis pertahanannya di sebelah timur Lini Konsentrasi dengan markas besarnya bertempat di Lam Pisang, tempat kediamannya sendiri. Daerah ini sangat strategis, karena letaknya dalam sebuah lembah yang sempit. Hanya dalam beberapa hari saja di Aceh Besar keadaannya telah berubah menjadi daerah yang mencekam dan menakutkan. Gubernur Jenderd Van der Wijck, setelah mendengar laporan tentang pembelotan Teuku Umar, secepat mungkin memberhentikan Deijkerhoff dan menggantikannya dengan Jenderal Vetter. Diperintahkannya secara telegrafis bala bantuan dari Padang ke Kutaraja, diberangkatkannya satu baterai meriam lapangan dari Jawa dan dipersiapkannya dua buah baterai meriam yang lain, dan ditempatkannya sejumlah besar perwira sementara untuk Aceh, diantaranya Letnan Kolonel Van Heutsz. Operasi militer besar-besaran, dengan lebih dari dua ribu anggota militer dan seratus perwira, pada tanggal 7 April 1896 telah berada di Kutaraja.

Jenderal Vetter tidak ingin kehilangan waktu untuk segera melakukan serangan terhadap pasukan Teuku Umar. Komandan militernya Kolonel J.W. Stemfoord, pada tanggal 8 April 1896 telah bertolak dengan sebuah kolonne yang kuat terdiri dari seribu orang pasukan, yang sebagian besar terdiri dari pasukan asal Eropa. Tugas utamanya adalah untuk membebaskan pos-pos luar yang telah dikepung oleh pasukan Teuku Umar. Semua hubungan dengan sebagian besar pos ini telah putus, kawat-kawat telepon telah diputuskan, jalan-jalan dirusakkan oleh pasukan Teuku Umar. Vetter dan Stemfoord sependapat bahwa pos-pos diluar lini sebanyak enam belas buah harus dibebaskan dan kemudian dihancurkan. Dalam waktu satu minggu usaha pembebasan pos-pos ini berhasil. Jembatan besi indah yang menghubungkan Anenk Galong dengan Montasik di seberang sungai Aceh, harus diledakkan sendiri oleh pasukan Belanda.

Kian lama pengosongan berlangsung, kian besar perlawanan Aceh. Pada tanggal 17 April 1896, pos Anenk Galong, Lam Sut, Senelop dan Lam Barik mendapat serangan pasukan Teuku Umar dan gerilyawan Aceh lainnya; walau dipertahankan oleh empat batalyon infanteri, delapan brigade marsose dan dua baterai meriam lapangan. Operasi pembersihan yang dilakukan oleh pasukan Belanda pada hari itu, tidak lebih dari jarak tiga kilo meter diluar lini dengan kerugian delapan orang tewas, lima puluh orang luka-luka, tiga ekor kuda mahal, sebuah meriam, sebuah mortir, sebuah mitralyur dan berpeti-peti peluru jatuh ketangan pasukan gerilya Aceh.

Pada tahun 1896 dan awal 1897, Vetter dengan pasukannya telah melakukan penghancuran total terhadap lembah di Aceh Besar itu, yang paling sempurna dibumi hanguskan ialah tempat kediaman Teuku Umar. Di pos lini Lam Jau dipasang sebuah baterai meriam khusus dengan dua belas meriam dan delapan mortir berat, yang selama enam belas hari enam belas malam nonstop memuntahkan pelurunya ke Lampisang, pusat pertahanan Teuku Umar, sehingga pada tanggal 24 Mei 1896 Lam Pisang jatuh ke tangan pasukan Belanda dalam keadaan hancur total.

Atas perintah Jenderal Vetter, rumah kediaman Teuku Umar diledakkan dan puing-puingnya dibakar hangus. Di seluruh daerah Mukim VI dan daerah-daerah diluarnya dibakar menjadi abu. Kampung Lamasan diratakan lumat. Dengan perlindungan sepuluh kompi infanteri, dua seksi zeni, delapan ratus orang nara pidana kerja-paksa dan empat ratus orang kuli Cina, mulai tanggai 30 Mei sampai tanggal 3 Juni 1896 sibuk untuk melakukan pekerjaan ini. Ketika itu semua rumah dan bangunan lainnya seperti mushalla, masjid, madrasah diratakan dengan tanah, semua pohon ditebang, kuburan-kuburan digali. Siapa yang mencari daerah Lamasan pada tanggal 3 Juni 1896 hanya akan mendapatkan tempat hangus besar ditanah gundul. Tidak pernah lembah di Aceh Besar ini timbul lagi.

Peristiwa pembelotan Teuku Umar memberikan kesan yang sangat menghancurkan di negeri Belanda. Bagaimana besarnya rasa ketakutan dan kebencian terhadap Teuku Umar, tampak dari lagu-lagu yang diciptakan saat itu dan sempat bertahan sampai lebih dari setengah abad lamanya. Lagu itu antara lain berbunyi: "Teuku Umar mesti digantung. Gantung ditali, gantung ditali, Teuku Umar dan isteri." Perang Aceh yang dimulai sejak tahun 1873 sampai tahun 1896, bagi pemerintah kolonial Belanda telah menderita kerugian sebanyak lima ratus juta gulden, kira-kira sepuluh ribu pasukan militer Belanda yang tewas, lima belas ribu orang narapidana kerja-paksa yang mati. Sedangkan dipihak pasukan perlawanan Aceh diperkirakan tiga puluh lima ribu orang menjadi syahid, sekarang pada tahun 1896 harus dimulai baru lagi.

Tindakan-tindakan biadab pasukan Belanda-kafir dilembah Sungai Aceh telah mengakibatkan kehancuran yang tidak terlukiskan. Aceh Besar begitu dihabisi penduduknya, sehingga puluhan tahun kemudian para pengunjung dari luar masih merasa heran mendapati kampung-kampung yang ditinggalkan dan sawah-sawah yang tidak dikerjakan, pengairan yang tidak bisa lagi diperbaiki. Tidak kurang dari sepuluh ribu sampai dua puluh ribu orang Aceh meninggalkan kampung halamannya sesudah tahun 1896, dan bermukim di Pinang dan Malaka. Dan puluhan ribu yang lain keluar dari Aceh Besar menuju daerah-daerah pantai. Daerah ketiga sagi, yang dulu merupakan salah satu wilayah makmur di Aceh, telah menjadi salah satu wilayah yang paling miskin. Tidak pernah daerah ini pulih dari pukulan yang dideritanya.

Sampai kemana buasnya pasukan kolonial Belanda dalam menghadapi pasukan perlawanan Aceh, secara tepat dilukiskan oleh sebuah tanda kenangan yang dipajang di beranda belakang rumah sakit tentara Belanda, di Kutaraja, pada tahun I897. Ada sebuah stoples besar berisi alkohol, dan didalamnya terapung kepala Teuku Nya Makam. Pemimpin gerilya Aceh ini, pada tahun 1896 tertangkap oleh pasukan Belanda dalam keadaan sakit parah. Dia diletakkan diatas tandu dan bersama dengan keluarganya dihadapkan pada komandan kolonne Letnan Kolonel Soeters. Perwira ini menyuruh melemparkannya dari tandu serta diperintahkannya agar dia ditembak mati ditempat. Dihadapan isteri dan anak-anaknya, kepalanya pun dipancung. Kolonel Stemfoort menyuruh memajang kepala Teuku Nya Makam ini sebagai tanda kenangan. Seorang saksimata yang tersayat hatinya menulis: "Kebiadaban ini dan yang semacamnya tidaklah membantu menaklukkan dan mengamankan Aceh, sebaliknya pasukan Belanda akan memperoleh ribuan dan ribuan musuh yang tidak kenal damai."

Lembah Aceh memang bisa saja dihancurkan dan ditaklukkan, tetapi yang jelas perang di luar Aceh besar tidak akan berakhir. Snouck Hurgronye menganjurkan kepada Gubernur Jenderal Van der Wijck agar melakukan penyerbuan yang besar ke pedir (Pidie), dengan argumentasi bahwa orang yang dapat menaklukkan negeri ini yang dapat menjajah daerah Aceh seluruhnya. Usul Snouck Hurgronye ini disetujui oleh Van der Wijck sehingga ia memerintahkan Van Vliet untuk menyerang Pidie dengan kekuatan batalyon lewat laut dan dua batalyon lewat darat dari Selimun.

Disamping itu Van der Wijck juga menginstruksikan kepada Van Heutsz untuk membantu serangan ke Pidie ini melalui pantai utara, dengan diperlengkapi satu baterai meriam gunung dan satu skuadron kavaleri. Bukan dua minggu waktu yang diperlukan, sebagaimana yang direncanakan oleh pasukan Belanda, tetapi tiga bulan diperlukan untuk bertempur melawan pasukan gerilya Aceh. Penyerbuan ke Pidie yang dimulai pada tanggal 1 Juni 1898, yang langsung dipimpin oleh Van Heutszdan didampingi Snouck Hurgronye, adalah merupakan penyerbuan terbesar yang luar biasa dari seluruh perang Aceh. Dari Selimun dan Sigli berangkat dua kolonne yang semuanya berjumiah 7500 orang pasukan. Dibawa 15 km rel kereta api kecil untuk memasang lintasan (line) trem sementara dari Sigli ke pedalaman. Semua anggota militer diberi senjata modern Mauser, dan marsose diberi karaben mauser lima puluru, dengan diperlengkapi makanan dalam kaleng.

Tidak banyak terjadi pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan pasukan gerilya Aceh. Tetapi harapan dan khayalan Belanda untuk sekali pukul dapat menyingkirkan Panglima Polim, Teuku Umar dan Sultan, lenyap sama sekali. Sebab tokoh-tokoh perlawanan yang diduga berada di daerah Pidie, ternyata tidak dijumpai sama sekali. Berbulan-bulan waktu yang diperlukan oleh pasukan Belanda untuk bisa menghancurkan pasukan gerilya Aceh. Akhirnya, pada tanggal 10 Februari 1899, Van Heutsz menyerang tempat yang dipergunakan oleh Teuku Umar sebagai markasnya, yang berada disekitar Meulabohe.

Dalam pertempuran ini, pasukan Belanda berhasil dipukul mundur oleh pasukan Teuku Umar. Tetapi korban dari pasukan Teuku Umar cukup banyak, bahkan ia sendiri tewas. Tetapi isterinya, Cut Nya Dien, bersama-sama pasukan yang masih tinggal, melanjutkan perjuangan suaminya, Teuku Umar, dengan cara bergerilya didaerah pedalaman pantai barat, selama lebih dari enam tahun. Pada tahun 1905, Cut Nya Dien terserang penyakit rematik, matanya setengah buta dan lumpuh. Walau dalam keadaan begitu, ia tidak pernah berniat untuk menyerah kepada Belanda. Karena pengkhianatan seorang panglimanya, yang bernama Pang Lot, pasukan Belanda mengetahui dan menyergap tempat persembunyian Cut Nya Dien. Dia ditangkap dan kemudian dibuang ke Jawa sampai meninggal, tanpa sesaatpun berdamai dengan pasukan Belanda kafir.

Setelah Teuku Umar tewas dan pasukannya mulai cerai-berai, Belanda merasa bahwa mereka telah berhasil untuk menaklukkan seluruh Aceh, padahal masih terlalu banyak daerah-daerah yang masih secara utuh dikuasai oleh pasukan gerilya Aceh, dan pasukan Belanda belum mampu untuk menjejakkan kakinya disana. Salah satu daerah itu adalah Samalanga, dimana terdapat sebuah benteng gunung. Batu Ilieq. Jenderal Heijden, yang dinobatkan menjadi Jenderal Mata Sebelah oleh orang Aceh, karena matanya buta terkena peluru pasukan santri Batu Ilieq, telah berulang-ulang tidak berhasil menaklukkan benteng tersebut. Bahkan sesudah daerah Samalanga dapat takluk kepada Belanda, tetapi benteng Batu Ilieq masih tetap berfungsi sebagai pusat perlawanan rakyatAceh terhadap Belanda.

Batu Ilieq adalah sebuah desa, dimana terdapat pusat pendidikan pondok pesantren yang dipimpin oleh para ulama dengan ratusan santrinya. Di desa inilah didirikan benteng-benteng pertahanan yang mengambil lokasi dipuncak gunung yang dihubungkan oleh terowongan-terowongan perlindungan. Benteng Batu Ilieq ini sepenuhnya dipertahankan oleh pasukan santri. Pada tahun 1901 pasukan Belanda dibawah pimpinan Van Heutsz menyerbu benteng Batu Ilieq dengan menggunakan meriam-meriam kapal jarak jauh dan howitzer berat. Peluru-peluru meriam dan howitzer berat itu dimuntahkan kemulut-mulut benteng Batu Ilieq ini secara nonstop berhari-hari, tetapi tidak dapat merobohkan benteng dari pasukan santri, tidak bergeming sedikitpun.

Oleh karena itu serangan harus langsung dilakukan dengan cara menaiki bukit melalui lapangan depan yang ditaburi ranjau, dan menentang arus batu dan gumpalan-gumpalan karang yang digelindingkan oleh pasukan santri yang bertahan dibenteng. Belum lagi disebut tentang tembakan-tembakan yang terbidik baik dari senapan-senapan mauser yang begitu tangkas digunakan para santri, selancar mereka membaca ayat-ayat Al Qur'an. Penyerangan harus dilakukan oleh Belanda, pasukan marsose yang berasal dari Ambon menerobos ke dalam benteng yang dihadang oleh pasukan santri dengan gagah perkasa, sehingga pertempuran sengit terjadi. Tetapi, karena kekuatan yang tak seimbang antara pasukan Belanda dengan pasukan santri, benteng Batu Ilieq sebagian telah jatuh ke tangan Belanda. Dalam keadaan kritis semacam itu, seorang ulama tua yang berjanggut putih, dengan obor menyala meledakkan tempat persediaan mesiu, sehingga benteng itu ambruk. Dalam pertempuran sengit ini, pasukan Belanda yang mati berjumlah lima orang dan yang luka-luka berat berjumlah 27 orang, sedangkan dipihak santri dan ulama seluruhnya berjumlah 71 orang menjadi syuhada, tak satu pun yang masih hidup.

Jatuhnya benteng Batu Ilieq, tidak berarti perlawanan rakyat Aceh telah berhenti, sebab hampir setiap daerah baik dipantai maupun di pedalaman, yang belum sempat dijelajah oleh pasukan Belanda, masih tetap mengkonsolidasikan diri dengan benteng-benteng pertahanan, untuk setiap saat menghadapi serangan pasukan Belanda. Para hulubalang Terutama para ulama di daerah tersebut tetap tegar untuk menentang setiap bentuk kolonial, walau harus ditempuh dengan pertumpahan darah. Operasi militer yang dilakukan oleh Van Heutsz senantiasa mendapat perlawanan dari rakyat Aceh, walau akhirnya kemenangan diperoleh pasukan kolonial. Dalam posisi terdesak, maka pada tanggal 10 Pebruari 1903 Sultan menyerah. Dan pada tanggal 6 Desember 1903 Panglima Polis menyerah pula.

Van Heutsz, setelah diangkat menjadi Gubernur Militer Belanda di Aceh, pada bulan Februari 1904, telah memerintahkan Letnan Kolonel G.C.E. Van Daalen memimpin pasukan marsose untuk menyerang Tanah Gayo dan Alas, yang letaknya ditengah tengah pegunungan Aceh. Serangan pertama direncanakan ke Gayo Laut, kedua ke Gayo Linge, ketiga ke Gayo Lues dan serangan ke empat ke Tanah Alas. Daerah Gayo dan Alas dapat dianggap merupakan benteng terakhir rakyat Aceh, dan daerah terakhir dalam perang terbuka yang dilancarkan oleh pasukan Belanda, dalam sejarah perang kolonial dalam usahanya untuk menjajah seluruh Aceh. Serangan pasukan Belanda ke daerah Gayo dan Alas pada tahun 1904 ini, dilancarkan setelah perang Aceh berlangsung selama 31 tahun, sejak meletusnya Perang Aceh pada tahun 1873. Vaan Heutsz ingin cepat-cepat menaklukkan daerah Gayo dan Alas, daerah yang selama ini masih utuh dikuasai oleh rakyat Aceh, agar kekuasaan Belanda benar-benar merata di Aceh, selama ia masih menjadi gubernurnya.

Pada tanggal 8 Februari 1904, pasukan Belanda dibawah pimpinan Van Daalen berangkat dari Kutaraja menuju Gayo dan Alas, dengan kekuatan sepuluh brigade bersenjata lengkap, dibantu oleh 450 orang narapidana kerja-paksa. Pasukan ini merupakan pasukan 'induk' karena masih ada lagi pasukan mobile yang dipimpin oleh Kapten Creutsz Lecheitmerer dengan kekuatan 150 pasukan tentara yang bergerak dari arah timur dari Kuala Simpang. Dengan demikian maka jumlah seluruh pasukan Belanda yang digunakan untuk menyerbu Gayo dan Alas tidak kurang dari 500 orang pasukan militer bersenjata lengkap, ditambah dengan kira-kira 1.000 orang tenaga kesehatan, narapidana kerja paksa dan tukang-tukang pikul perlengkapan perang dan makanan.

Padatanggal 12 Februari 1904 pasukan Belanda telah tiba di daerah tujuan, yaitu di daerah Gayo Laut, kira-kira 50 kilometer dari Takengon. Tetapi begitu Belanda menginjakkan kakinya didesa dekat Ketol, disambut dengan pertempuran sengit yang pertama, dimana pasukan Belanda mengalami korban, baik mati maupun luka-luka. Dalam perjalanan menuju Takengon, pasukan Belanda tidak henti-hentinya mendapat perlawanan, Sampai mereka berhasil membuat markasnya di desa Kung, kira-kira 7 kilometer dari Takengon. Dari markas yang baru didirikan ini, pasukan Belanda melakukan operasi militer disekitar Gayo Laut. Walau perlawanan pasukan rakyat Gayo cukup sengit, dan hampir setiap daerah yang dilalui pasukan Belanda terjadi pertempuran, tetapi akhirnya daerah Gayo Laut pun jatuh ketangan pasukan kolonial.

Setelah pasukan Belanda berhasil menguasai daerah Gayo Laut, operasi militernya maju menuju Gayo Lues, dimana pada tanggal 9 Maret 1904, pasukannya telah mencapai daerah Kla, yaitu daerah yang merupakan pintu masuk Gayo Lues. Berbeda dengan pertempuran di Gayo Laut, disini rakyat memperkuat pertahanannya dengan benteng-benteng yang dibangun dari tanah dicampur batu-batu. Disekelilingnya dibuat pagar kayu berduri yang telah dibuat runcing, dan dilapisi pula dengan tanaman hidup bambu berduri, yang oleh orang Gayo disebut 'uluh kaweh' yang berlapis-lapis. Kemudian dipasang pula bambu runcing dan kayu runcing dalam bentuk ranjau-ranjau. Dibagian dalam benteng dibuat lobang-lobang perlindungan, lubang pengintaian lubang penembak dibagian dinding-dinding benteng. Selain itu dibuat pula lubang perlindungan untuk wanita dan anak-anak didalam benteng tersebut. Dengan cara ini, benteng pertahanan rakyat Gayo berusaha menahan serangan pasukan Belanda yang jauh lebih kuat dan modern.

Benteng-benteng semacam ini tersebar di daerah Gayo Lues dan Alas, serta tidak kurang dari sepuluh benteng yang besar dan kokoh yang dipertahankan mati-matian oleh rakyat Gayo, dalam pertempurannya dengan pasukan Belanda. Salah satu bukti tentang pertempuran benteng yang dahsyat, yaitu benteng Gemuyang, setelah berhari-hari bertempur, akhirnya baru jatuh setelah rakyat Gayo sebanyak 308 orang tewas: antaranya 168 orang laki-laki, 92 orang wanita dan 48 orang anak-anak. Sedangkan yang luka-luka sebanyak 47 orang: antaranya seorang pria, 26 orang wanita dan 20 orang anak-anak. Hanya 12 orang yang tertangkap hidup-hidup, dimana 3 orang wanita dan 9 orang anak-anak. Sedangkan korban dari pihak pasukan Belanda hanya dua orang tewas dan 15 orang luka-luka berat.

Pertempuran dibenteng Rikit Gaib antara pasukan penyerbu dengan pasukan rakyat Gayo lebih berimbang, sehingga korban yang jatuh dikedua belah pihak cukup banyak. Dipihak rakyat Gayo telah meninggal dunia sebanyak 148 orang: antaranya 143 orang pria, 41 orang wanita dan anak-anak, hanya seorang laki-laki dan dua orang wanita yang tertangkap hidup-hidup oleh Belanda. Korban dipihak pasukan Belanda: 7 orang mati, diantaranya 2 orang perwira dan 42 orang luka-luka berat, diantaranya 15 orang perwira.

Pertempuran dari benteng ke benteng yang tersebar di daerah-daerah Gayo tidak kurang dari sepuluh buah banyaknya, dengan korban ribuan rakyat Gayo yang mati terbunuh. Hanya dengan cara itu pasukan Belanda dapat menaklukkan Gayo, sehingga pada tanggal 2 Juni 1904, Van Daalen berhasil mengumpulkan penghulu-penghulu Gayo sebanyak dua belas orang untuk memaksa mereka takluk kepada penguasa kolonial Belanda. Setelah daerah Gayo berhasil ditundukkan, maka pada tanggal 13 Juni 1904 pasukan Belanda melanjutkan serangan ke daerah Alas, dengan sasaran utamanya desa Batu Mbulen dimana tinggal seorang ulama besar bernama Teungku Haji Telege Makar dengan pondok pesantrennya. Mendengar kedatangan pasukan Belanda mau menyerbu kaum muslimin, dengan pimpinan para ulama mereka mengosongkan desa tersebut dan semuanya berkumpul dibenteng Kute Reh yang telah disiapkan jauh sebelum pasukan musuh datang.

Pertempuran dahsyat dan bermandikan darah berlangsung berhari-hari antara pasukan musuh dengan pasukan kaum muslimin di benteng Kute Reh tersebut. Benteng Kute Reh jatuh ketangan pasukan Belanda, setelah 561 orang pasukan yang mempertahankan benteng itu tewas, diantaranya 313 orang pria, 189 orang wanita, dan 59 orang anak-anak. Yang luka-luka sebanyak 51 orang, antaranya 25 orang wanita dan 31 orang anak-anak, yang tertangkap hidup-hidup dua orang wanita dan 61 orang anak-anak. Sedangkan dipihak musuh hanya dua orang mati dan 17 orang luka-luka berat.

Pada tanggal 20 Juni 1904 pasukan Belanda dibawah pimpinan Van Daalen sendiri melanjutkan penyerbuannya ke benteng Likat. Pertempuran sengit bermandikan darah berlangsung dahsyat dan ngeri. Sebab pasukan Belanda main bantai tanpa pandang bulu, sehingga 432 orang mati terbunuh, diantaranya 220 pria, 124 wanita, dan 88 orang anak-anak. Yang luka-luka berat dan ringan sebanyak 51 orang, diantaranya 2 orang pria, 17 orang wanita dan 32 orang anak-anak, yang tertangkap hidup-hidup hanya anak-anak sebanyak 7 orang. Dipihak pasukan musuh yang mati hanya seorang dan 18 orang tentara luka-luka, termasuk Letnan Kolonel Van Daalen dan Kapten Watrin.

Daerah Alas dapat dikuasai pasukan Belanda setelah jatuhnya benteng Lengat Baru pada tanggal 24 Juli 1904, dengan korban yang sangat besar dipihak rakyat Alas, dimana 654 orang tewas, diantaranya 338 orang pria dan 186 wanita serta anak-anak 130 orang. Sedangkan yang luka-luka seorang pria, 16 orang wanita dan 32 orang anak anak. Dipihak musuh hanya 4 orang mati dan 28 orang luka-luka.

Sebagaimana telah terjadi di daerah-daerah lainnya di Aceh, jika pertempuran terbuka telah tidak mungkin dilakukan, karena kekuatan yang tak seimbang dengan pasukan musuh, maka 'perang gerilya' merupakan satu-satunya jawaban untuk melumpuhkan pasukan Belanda. Di Gayo dan Alaspun berlaku hal yang sama. Apalagi daerah Gayo dan Alas adalah daerah bergunung-gunung dan berhutan lebat, sehingga 'perang gerilya' yang dilakukan rakyat Gayo dan Alas sangat menguntungkan. Dan sebaliknya pasukan Belanda tidak pernah bisa tinggal tenteram di daerah-daerah yang didudukinya, karena mendapat serangan gerilya.

Walaupun perang kontra gerilya dengan pasukan marsose yang dianggap berani dan kejam, sebagaimana digariskan oleh Van Heutsz, dinilai berhasil dengan gemilang, tetapi tidak berarti pasukan gerilya muslimin Aceh dianggap pengecut dan senantiasa kalah. Bahkan terkadang pasukan gerilya muslimin Aceh jauh lebih berani dan lebih lincah dari pasukan marsose yang paling dibanggakan. Hal ini terbukti dari pengalaman salah seorang komandan marsose yang paling terkenal, Kapten M.J.J.B.H. Campion, yang pada tahun 1904 didaerah Meulaboh dipantai barat, dengan kekuatan setengah divisi melakukan penyerbuan terhadap pasukan gerilya Teuku Keumangan dan kakaknya, Teuku Johan. Padabulan Maret 1904 sebuah kolonne yang terdiri dari enam brigade marsose, yaitu kira-kira 160 orang tentara, masuk kedalam jebakan pasukan gerilya muslimin yang berkekuatan sebanyak 300 orang gerilyawan. Dengan gerak cepat dan ketangkasan yang luar biasa, pasukan gerilyawan muslimin Aceh ini menyerang dengan kelewang dan rencong terhadap pasukan marsose yang terjebak itu. Seluruh pasukan Belanda sebanyak 160 orang tentara mati terbunuh, termasuk Kapten Campion yang mati karena luka-luka berat.

Pasukan gerilyawan muslimin Aceh masih terus efektif melakukan serangan-serangan terhadap pasukan Belanda didaerah-daerah seperti Lhong, dimana pada tahun 1925 dan tahun 1926 dan kemudian pada tahun 1953 telah berkembang menjadi 'perang terbuka'. Untuk mengatasi kekuatan gerilyawan muslimin Aceh ini, pemerintah kolonial Belanda mengumpulkan kembali bekas-bekas pasukan marsose dari seluruh Hindia Belanda. Operasi-operasi pasukan marsose disungai atau didarat sering kali terjebak oleh pasukan gerilyawan muslimin, sehingga dapat dihancurkan secara total. Bahkan bivak-bivak rahasia pasukan marsose sering diserang dan dibakar oleh pasukan gerilyawan.

Idola gerilyawan muslimin Aceh terlukiskan dalam person tokoh ulama Aceh Teungku di Tiro Syeikh Saman. Ia mempunyai lima orang putera, yang tertua bernama Muhammad Amin, yang gugur pada pertempuran dengan pasukan Belanda pada tahun 1896. Empat orang putera lainnya dan dua orang cucu semuanya gugur sebagai syuhada pada pertempuran antara tahun 1904 dan 1911.

Pada bulan Desember 1909, Letnan B.J. Schmidt mendapat perintah untuk menyerang pasukan gerilyawan muslimin Tiro di daerah Tangse. Menurut taksiran, kekuatan pasukan gerilyawan muslimin Tiro ini berjumlah 250 orang. Dengan menggunakan dua brigade pasukan marsose, Schmidt secara sistimatis menyerang dan menangkap pasukan gerilyawan muslimin Tiro, dimana pada tahun 1909 dan 1911 dapat dikatakan hampir seluruhnya tertangkap.

Keberhasilan pasukan Belanda dalam menumpas pasukan gerilyawan muslimin Tiro ini karena pengkhianatan orang-orang Aceh sendiri, yaitu para kaum bangsawan yang menjadi kolaborator Belanda. Tetapi tidak seorang pun dari pimpinan gerilyawan muslimin Tiro ini yang menyerah hidup-hidup. Akhirnya keturunan Syeikh Saman, tokoh gerilyawan muslimin Tiro, tinggal seorang lagi, seorang pemuda remaja yang terus bergerilya menyerang pasukan Belanda kafir. Letnan Schmidt meminta bantuan tokoh-tokoh Aceh untuk bisa membujuk tokoh pemuda-remaja gerilyawan muslimin Tiro ini supaya menyerah dengan jaminan oleh Gubernur Jenderal tidak akan dijatuhi hukuman. Hasilnya, tidak mungkin menyerah. Hidup mulia atau mati syahid itulah semboyan gerilyawan muslimin Tiro.

Padabulan Desember 1911, perwira Marsose dengan pasukannya bernama Nussy menyerang tempat persembunyian gerilyawan muslimin Tiro yang terakhir, yang tinggal tiga orang saja lagi. Dalam serangan ini, dua orang dari tiga gerilyawan muslimin Tiro ini tewas menjadi syuhada, dan ternyata yang seorang itu bernama Cit Ma'az (Ma'at), adalah keturunan terakhir dari Syeikh Saman, tokoh utama perang Aceh. Dengan wafatnya Cit Ma'az, yang baru berusia lima belas tahun, maka berarti tiga generasi Teuku di Tiro diabadikan didalam Perang Aceh. Perang gerilya yang berkepanjangan tidak hanya dilakukan oleh gerilyawan muslimin Tiro, tetapi juga dilakukan oleh pasukan gerilyawan Teuku di Matale, Teungku di Barat dan Pang Naggru di daerah-daerah sekitar Lhok Seumawe dan Lhok Sukon.

Daerah medannya yang berubah-ubah dari gunung-gunung sampai ke laut, sangat memungkinkan pasukan gerilyawan muslimin ini dapat melakukan gerakan yang sulit untuk diketahui dan dikejar oleh pasukan Belanda. Pasukan gerilyawan dibawah pimpinan Pang Nanggru , masih aktif sampai tahun 1910, pasukan gerilyawan Teungku di Barat aktif sampai tahun 1912. Sedangkan pasukan gerilyawan Teungku di Matale masih terus aktif sampai tahun 1913, dan wafat pada tahun 1917 karena luka-luka kena peluru.

Perang Aceh tidaklah berakhir pada tahun 1913 atau 1914. Dari tahun 1914 terentang benang merah sampai tahun 1942, alur perlawanan dibawah tanah. Perang gerilya, yang pada tahun 1925, tahun 1926, sampai tahun 1933 berkembang menjadi perlawanan terbuka lagi.

Dengan demikian perang Aceh berlangsung mulai sejak tahun 1873, terus sambung menyambung sampai tahun 1942, dimana Belanda angkat kaki untuk selama-lamanya, adalah perang terlama di dalam sejarah perang kolonial Belanda di Indonesia. Perang Aceh yang melanda hampir setiap daerah Aceh, dari mulai pantai sampai ke puncak-puncak gunung, dengan pertempuran tanpa henti dan lelah, adalah bentuk perang yang spesifik bagi Aceh.

Keberanian, pengorbanan dan daya tahan yang mengagumkan bagi setiap orang yang mempelajari sejarah Perang Aceh, adalah berkat keyakinan yang kokoh terhadap ajaran Islam, yang telah dimiliki sejak kelahiran Kesultanan Aceh pada tahun 1507.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Sejarah Lengkap Perang Aceh (Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Belanda)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel