-->

Asal Mula Gagasan Wajib Belajar 9 Tahun

Gagasan untuk memperpanjang masa wajib belajar dan 6 tahun menjadi 9 tahun dimajukan pertama kalinya dalam Rapat Kerja Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1987, berhunyi sebagai berikut:


“Mengadakan perintisan pola pendidikan dasar yang meliputi kesatuan sekolah dasar dan sekolah menengah tingkat pertama” (butir keenam)

dan selanjutnya dalam Rakernas Departemen Pendidikan dan Kehudayaan 1988 disebutkan:

Menyempurnakan pelaksanaan pengajaran di SD melalui langkah-langkah yang lebih konkret ke arah terselenggaranya pendidikan dasar yang merupakan satu paket (SD + SMP) (butir kedua)

Perlu dicatat bahwa usaha perintisan ini dilaksanakan secara hati-hati, mengingat belum adanya undang-undang tentang sistem pendidikan nasional pada waktu itu, sehingga yang menjadi tugas kita ialah agar gagasan wajib belajar 9 tahun yang meliputi (SD + SMP) mendapat penegasannya dalam perundang-undangan yang nantinya berlaku. Oleh sebab itu, sebagai langkah ke arah itu tindakan pertama diambil ialah mengusahakan agar gagasan wajib belajar 9 tahun itu tercantum dalam GBHN 1988. Oleh sebab itu, dengan dicantumkannya perumusan dalam GBHN 1988 yang berhunyi:

“Titik berat pembangunan pendidikan diletakkan pada peningkatan mutu setiap jenjang dan jenis pendidikan serta perluasan kesempatan belajar pada jenjang pendidikan menengah dalam rangka perluasan wajib belajar pada jenjang menengah tingkat pertama ...”,

Tersedialah ancang-ancang untuk mengukuhkan gagasan tersebut melalui perundang-undangan yang tengah dipersiapkan. Demikianlah, ketika UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional berlaku sejak tanggal 27 Maret 1989, disusul dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 28/1990 tentang Pendidikan Dasar, mantaplah pula landasan untuk mewujudkan wajib belajar 9 tahun yang meliputi jenjang pendidikan dasar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kita pun menyadari bahwa sejumlah SLTP masih jauh dari memadai dibandingkan dengan jumlah SD. Hal ini berarti bahwa daya tampung SLTP harus ditingkatkan secara besar-besaran dan hal ini bukan saja menuntut penyediaan dana yang amat besar, melainkan tidak kurang pentingnya ialah keharusan untuk menyediakan tenaga pengajar dan sarana belajar yang karena masih adanya berbagai kendala belum dimungakinkan. Hal ini sudah kita perkirakan jauh sebelumnya dan, dengan antisipasi tersebut dalam Rakernas Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1988 kebijaksanaan umum di bidang pendidikan luar sekolah disejajarkan dengan usaba perintisan wajib belajar 9 tahun itu, sebagai berikut:

“Melaksanakan pendidikan luar sekolah dengan menggiatkan penyelenggaraan pendidikan yang dapat diakhiri dengan ujian persamaan tingkat SMTP dengan tujuan Untuk melaksanakan paket pendidikan dasar 9 tahun (SD + SMTP).” (butir keenam belas)

Usaha ini dimaksudkan terutama untuk menampung kenyataannya bahwa daya tampung melalui jalur pendidikan sekolah belum memadai dan juga karena masih banyaknya mereka yang oleh satu dan lain sebab belum mampu atau tidak berkesempatan untuk menempuh jalur pendidikan sekolah. Dengan diperluasnya pendidikan luar sekolah yang meliputi kegiatan yang membuka kemungkinan bagi peserta didiknya untuk melakukan ujian persamaan setingkat SLTP, maka kekurangan daya tampung di jalur pendidikan sekolah dapat diimbangi. Dengan tujuan itu pula diselenggarakan apa yang disebut SMP terbuka yang hasilnya memadai untuk disetarak an dengan pendidikan SLTP. Dengan merancang kegiatan pendidikan luar sekolah sedemikian itu, maka tertolong pula sejumlah besar populasi masyarakat kita yang sudah melampaui batas usia sekolah tetapi belum berkesempatan mengenyam pendidikan sekolah setara SLTP.

Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang Sekarang berlaku, madrasah ibtidaiyah dan tsanawiyah termasuk jenjang pendidikan dasar yang dijangkau oleh wajib belajar 9 tahun. Dengan demikian, maka kesempatan untuk memperluas jangkauan masa wajib belajar tidak hanya bergantung kepada daya tampung SLTP, melainkan juga oleh daya tampung madrasah tsanawiyah (yang jumlahnya di beberapa daerah cukup besar dengan persebaran yang cukup merata). Dalam hubungan ini, perlu disertakan catatan bahwa di beber apa daerah turunnya angka partisipasi di SLTP terkadang bertalian dengan beralihnya sejumlah siswa SD ke madrasah tsanawiyah, dan bukan karena turunnya minat untuk melanjutkan pendidikan sesudah SD.

Dengan demikian, perhitungan terhadap kemungkinan pelaksanan wajib belajar 9 tahun hendaknya meliputi juga peluang belajar yang terbuka melalui program pendidikan luar sekolah yang membuka kesempatan untuk mengikuti ujian persamuan atau penilaian hasil akhir suatu program pendidikan luar sekolah yang hasil akhirnya dapat disetarakan dengan tingkat SLTP. Disamping itu, ditambahkan daya tampung yang tersedia melalui madrasah tsanawiyah.

Perintisan wajib belajar tidak hanya berkenaan dengan usaha penambahan sekolah dan peningkatan daya tampung, melainkan tidak kurang pentingnya ialah penyediaan tenaga guru dengan kualifikasi dan kompetensi yang (dapat diandalkan bagi terselenggaranya upaya pendidikan sekolah yang bermutu. Ini berarti hahwa perencanaan untuk menghasilkan guru yang diperlukan bagi pelaksanaan wajib belajar 9 tahun ini harus menjadi bagian dari keseluruhan rencana pelaksanaan wajib belajar 9 tahun.

Masih satu hal lagi yang perlu diupayakan, yaitu pengadaan berbagai sarana pengajaran yang telah disesuaikan dengan tuntutan kurikulum berdasarkan UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta PP No. 28/1990 tentang Pendidikan Dasar. Kurikulum itu sudah dirancang sejak berlakunya undang-undang dan peraturan pemerintah termaksud dan diharapkan dapat berangsur-angsur diterapkan mulai tahun ajaran 1993/1994 yang akan datang. Sekali lagi ditegaskan bahwa penerapan akan dilakukan secara berangsur-angsur karena penerapan kurikulum yang disesuaikan dengan peraturan perundangan yang berlaku tentu harus disejalankan dengan penyediaan tenaga pengajar dan sarana pengajaran yang diperlukan. Kita harus menghindarkan terjadinya penerapan kurikulum sebelum kesiapan daya dukungnya, khususnya yang berupa tenaga dan sarana. Kesenjangan antara kurikulum dan daya dukungnya tersebut dapat menimbulkan kecenderungan untuk mengambil tindakan tambal sulam, yang akibatnya berlarut-larut dan sulit dibenahi. Jangan terjadi kenyataan bahwa kurikulum “baru” sudah dinyatakan berlaku tetapi segala daya dukungnya masih versi kurikulum “lama” atau, karena daya dukungnya belum siap, maka pengisian kurikulum dilakukan secara seadanya atas dalih sambil menunggu tersedianya daya dukung yang memadai sehingga sulit untuk mempertahankan kebakuan kurikulum bahkan dalam taraf yang minimal.

Dalam usaha perintisan pelaksanaan wajib belajar yang meliputi jenjang pendidikan dasar, perlu diprioritaskan penyiapan kurikulum minimal yang baku dan berlaku secara nasional, ditamhah dengan porsi waktu untuk diisi dengan muatan lokal. Kurikulum dengan muatan lokal merupakan saluran bagi kegiatan pendidikan yang tetap menjaga keakraban antara siswa, lingkungan alam, dan budayanya. Hal ini bahkan harus berarti ditingkatkannya mutu huhungan tersebut melalui pengayaan pengetahuan dan keterampilan. Muatan lokal itu pada analisis akhirnya menyiapkan kemampuan siswa untuk lehih tanggap terhadap kenyataan dalam lingkungan hidupnya. Kalau pengisian muatan lokal itu direncanakan Sebaik-baiknya, sekolah juga akan menjadi bagian yang menyatu dengan masyarakat sekitarnya dan jauh dari kesan sebagai “lingkungan asing” yang steril terhadap kenyataan kehidupan di sekitarnya. Muatan lokal juga merupakan pendekatan yang perlu ditempuh untuk mewujudkan upaya pendidikan yang berakar pada budaya bangsa sebagaimana yang dipesankan dalam Bab I pasal 1 ayat (2) UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Diberikannya kesempatan untuk menerapkan kurikulum dengan muatan lokal itu pun merupakan pendekatan yang realistik mengingat kebhinekaan budaya kita dalam kehidupan bermasyarakat, tanpa mengurangi penghayatan kesatuan dan persatuan bangsa kita. Hal ini perlu ditekankan karena penyusunan kurikulum pendidikan sekolah mestinya tidak sekadar diarahkan pada usaha pembekalan pengetahuan dan keterampilan bagi para peserta didik, melainkan juga harus menjamin tumbuhnya tunas muda bangsa yang sesuai dengan tujuan pendidikan yang dicita-citakan. Tujuan itu jelas dijabarkan oleh pasal 4 UU No.2 Tahun 1989:

“Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.”

Perumusan tentang tujuan pendidikan itu serasi dan sesuai dengan fungsi pendidikan sebagaimana tercantum pada pasal 3, yang menegaskan bahwa:

“Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan nasional.”

Demikianlah, menyusun kurikulum yang hendak diterapkan di Indonesia bukanlah sekedar upaya teknis, melainkan juga harus memperhatikan kaitannya dengan pendidikan nilai-nilai yang kita unggulkan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Dalam hal ini tidak mungkin kita melakukan sekadar penjiplakan suatu model asing. Kita bisa mempelajari kurikulum asing sebagai bahan bandingan, tetapi pada akhirnya kita harus mampu menyusun kurikulum nasional yang sesuai dengan kondisi serta aspirasi nasional Indonesia.

Kita semua menyadari bahwa penyusunan kurikulum yang relevan dengan perkembangan dan tantangan zaman serta tetap beranjak dari bumi dan budaya kita sendiri adalah tugas sentral dan strategis dalam merancang upaya pengembangan dunia Pendidikan kita pada umumnya. Susunan kurikulum harus sedemikian rupa sehingga cukup stabil untuk berlaku dalam janka waktu yang layak, tanpa harus ke diubah dan diganti, sehingga mengakibatkan terganggunya kelancaran proses belajar mengajar baik bagi peserta didik maupun bagi para guru. Di sisi lain, penyusunan kurikulum itu sebaiknya cukup memberikan peluang untuk secara berkala dan hanya manakala perlu ditinjau kembali (reviewed) dan disempurnakan (revised), atau dimutakhirkan (updated).

Dengan konsepsi demikian itu, rancangan kurikulum yang cukup stabil tidak harus diterapkan secara kaku, membeku, dan tertinggal oleh kondisi dan kenyataan yang berkembang di luar sekolah. Dalam arti demikian itulah kurikulum yang stabil tetap menjamin terselenggaranya proses belajar-mengajar yang hidup dan dinamis. Kurikulum yang stabil dalam arti yang sebenarnya tidak mungkin menjelmakan statisme dalam proses belajar-mengajar dengan akibat aus dan usangnya bahan pelajaran, yang pada gilirannya berarti pemanfaatan masa peka untuk belajat secara tidak efektif.

Kita semua menyadari benar bahwa merancang muatan kurikulum untuk berbagai jenjang pendidikan tidaklah sesederhana seperti tampaknya. Selain apa yang diuraikan di atas tadi, muatan kurikulum juga harus ada kaitannya dengan masa kini ataupun masa depan. Muatan kurikulum diharapkan memiliki nilai guna demi kepentingan nyata dan segera, sekaligus demi kesiapan menanggapi kecenderungan perkembangan di masa depan. Oleh sebab itu, selain penyesuaian muatan kurikulum dengan kondisi aktual di masa kini, antisipasi terhadap perkembangan di masa depan juga perlu disertakan dalam penyusunan kurikulum (apalagi mengingat kian meningkatnya laju proses perubahan dewasa ini). Telah beberapa kali dikemukakan pada beherapa kesempatan di waktu lalu bahwa memperkirakan kecenderungan perkembangan di masa depan tidak mungkin hanya didasarkan pada ekstrapolasi dan multiplikasi belaka dan apa yang sudah terwujud di masa kini. Kita harus mampu memperkirakan juga berbagai kemungkinan tampilnya dimensi baru yang boleh jadi akan besar dampaknya terhadap penyelenggaraan pendidikan sekolah dan, oleh karenanya, Juga perlu dipertimbangkan demi relevansi kurikulum pendidikan sekolah. Misalnya, satu-dua dasawarsa yang lalu masalah lingkungan hidup tidak terasa sebagai urgensi, sedangkan dewasa ini lingkunan hidup merupakan tantangan yang mendapat perhatian universal. Bagaimana informasi tentang masalah ini bisa mencapai peserta didik pada jenjang pendidikan dasar? Perlu jugakah diperhatikan kemungkinan pemanfaatan hasil perkembangan teknologi, terutama teknologi komunikasi dan informasi, bagi kepentingan pemutakhiran pengetahuan dalam proses belajar-mengajar pada umumnya?

Untuk melengkapi uraian di atas, perlu dipertimbangkan pula adanya pemilahan antara pelajaran yang seharusnya menjadi muatan kurikuler dan pelajaran yang sebaiknya ditampung sebagai program ekstrakurikuler. Perlu ditegaskan bahwa pengertian ekstrakurikuler tidak identik dengan ekstramural karena, kalau yang pertama diselengarakan masih dalam kaitannya dengan sekolah sehingga tidak harus bersifat klasikal, yang kedua adalah kegiatan di luar sekolah yang tidak kurikuler dan tidak klasikal. Keterlibatan peserta didik dalam perkumpulan olahraga, pengajian, pramuka, dan lain sebagainya dapat digo1ongkan sebagai kegiatan ekstramural yang menunjang perkembangan anak sebagai peserta didik. Dengan memperhatikan adanya peluang untuk kegiatan ekstrakurikuler dan ekstramural itu, maka kelebihan beban untuk muatan kurikuler dapat dihindarkan (sebagaimana sudah kita amati sejak Rakernas 1986).

Kita semua memahami betapa besar dana yang harus disediakan untuk mendukung pelaksanaan wajib belajar 9 tahun itu, sedangkan pelaksanaan itu harus selekasnya dapat dimulai dalam periode Pelita VI yang sudah di ambang pintu. Penangguhan akan berarti terhambatnya usaha peningkat mutu sumber daya manusia dan hal ini pada gilirannya akan berdampak terhadap mutu performa sesuai dengan meningkatnya tahap pembangunan dan kemajuan zaman. Oleh itu, belum cukupnya dana yang dapat disediakan oleh Pemerintah, i.c. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hendaknya tidak berakibat ditangguhkanya pencanangan wajib belajar 9 tahun. Sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal 25 ayat (1) UU No. 2 Tahun 1989 (“Pada dasarnya pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan Pemerintah, yang berlaku juga dalam hal pembiayaan”), maka dalam rangka pelaksanaan wajib belajar 9 tahun nanti seharusnya ketiga unsur itu secara proporsional ikut serta dalam usaha penyediaan dana pendukungnya. Dengan keinsafan tentang pentingnya pelaksanaan wajib belajar 9 tahun itu demi memajukan peri kehidupan sosial dan nasional, niscaya keluarga dan masyarakat akan menunjukkan peran sertanya untuk bersama Pemerintah siap mencanangkan berlakunya wajib belajar 9 tahun, seawal mungkin dalam periode Pelita VI yang akan datang.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Asal Mula Gagasan Wajib Belajar 9 Tahun"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel