-->

Kebebasan Akademik Dan Kebebasan Mimbar Akademik

Di waktu akhir-akhir ini timbul lagi perbincangan berkenaan dengan istilah kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik. Di samping kedua istilah itu, dimunculkan jua beberapa sebutan yang tidak ada asal mulanya dalam sejarah dan tradisi akademik, seperti “kebebasan kampus” dan “otonomi kampus”.


Guna menghindari terjadinya salah paham dan salah tafsir yang berkepanjangan dengan akibat distorsi arti suatu istilah yang berkaitan dengan sejarah dan tradisi akademik kita perlu berpegang pada makna dan maksud istitah itu supaya tidak terjadi kekacauan semantik, khususnya di kalangan akademik sebab, kalau di kalangan civitas academica sendiri sudah terjadi kekaburan pengertian, tidak ganjil kalau persepsi masyarakat luas mengalami distorsi berlarut-larut dengan akibat yang niscaya merugikan kaum akademisi sendiri. Oleh sebab itu, pada tingkat pertama segenap civitas academica yang dalam arti murninya terdiri atas para dosen dan mahasiswa harus memahami benar arti peristilahan yang berkenaan dengan kehidupan akademik pada umumnya, khususnya istilah-istilah yang sudah mantap makna dan maksudnya dalam sejarah dan tradisi akademik.

Di antara istilah-istilah yang mendesak untuk dijernihkan artinya ialah kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik. Meskipun keduanya mengesankan kesamaan, sebenarnya antara keduanya terdapat perbedaan yang mesti dipahami benar.

Kedua istitah itu tumbuh dalam suatu suasana lingkungan yang khas yaitu di dunia Barat semasa abad pertengahan tatkata gereja diunggulkan sebagai satu-satunya pusat wewenang dan wibawa untuk mendalami permasalahan filsafat dan ilmu yang tidak boleh dilepas kaitannya dengan doktrin keagamaan. Beranjak dari diunggulkannya asas keagamaan dan keimanan, segala kegiatan pemikiran dan penalaran filsafat dan ilmu haruslah sesuai dengan doktrin keagamaan dan keimanan. Bila terjadi ketidak sesuaian antara kedua hai itu, keputusan yang diambil haruslah didasarkan pada dalil yang memegang keunggulan ajaran keimanan di atas hasil penalaran: faith, over reason.

Wewenang dan wibawa kaum agama itu terutama dikukuhkan oleh apa yang diucapkan ex cathedra (dari mimbar) oleh seorang pemuka agama mengenai suatu masalah. Cathedra ialah mimbar dan dari mimbar itu pemuka agama berwewenang penuh untuk membuat pernyataan yang dinilai berlaku sebagai kebenaran. Tentu saja ada prasyarat dan atribut tenentu yang harus dipenuhi sebelum seorang pemuka agama punya wewenang dan wibawa untuk berhicara ex cathedra. Dengan dipenuhinya segala prasyarat dan atribut itu, seorang uskup misalnya dapat berbicara ex cathedra dengan wewenang dan wibawa yang diterima dan diakui oleh khalayaknya.

Keadaan ini berlangsung selama abad pertengahan adakalanya dengan sedikit modifikasi seperti misalnya diakuinya kemungkin adanya kesejajaran (juxtaposition) antara kesimpulan-kesimpulan yang ditarik berdasarkan tafsiran keagamaan dengan apa yang merupakan konsekuensi proses penalaran. Akan tetapi, perselisihan antara kedua ranah itu keagamaan dan penalaran oleh kaum ilmuwan dan parafilsuf makin dirasakan mendesakkan perlunya batasan yang jelas. Hal ini karena tidak jarang terjadi pertentangan kesimpulan, pendapat, dan pandangan (contraposition) yang berlaku dan dianut dalam kalanangan kedua ranah termaksud. Beberapakasus klasik tentang hal ini bisa dijadikan ilustrasi. Misalnya, penemu astronom Polandia, Nicolaus Copernicus (1473-1543). nama aslinya Mikolaj Kopernick dan astrononi Italia, Galileo Galilei (l564-1642), yang waktu itu dianggap menyimpang dan bertentangan dengan ajaran gereja.

Menurut penafsiran kalangan gereja kala itu, bumi merupakan pusat semesta dan kesimpulan ini cocok dengan pengamatan sehari-hari yang memperlihatkan bahwa bintang, bulan, dan matahari timbul dan terbenam, sedangkan bumi tetap tinggal pada tempatnya dan tidak bergerak. Pandangan demikian itu sesuai juga dengan teori Ptolomeus tentang bumi sebagai pusat. Pandangan ini memberikan keyakinan pada manusia yang menganut ajaran agama, yaitu bahwa manusia memang istimewa kedudukannya dalam pandangan Tuhan. Oleh sebab itu, bumi tempat kehidupan manusia itulah pusat alam semesta.

Ketika filsuf dan ilmuwan Copernicus melakukan upaya ilmiah serta melanjutkan apa yang telah dirintis oleh beberapa ilmuwan lain terdahulu sampai pada kesimpulan yang berlainan dengan pandangan yang menjadi ajaran gereja, maka dia terpaksa menunda penerbitan bukunya yang berjudul De revolutionus celestium sampai hampir 20 tahun. Buku yang memuat hasil temuannya itu baru dapat disaksikannya tatkala dia dalam keadaan sekarat menjelang maut.

Di Italia, Galileo Galilei, menegaskan pendiriannya bahwa pengetahuan ilmiah diperoleh melalui 4 tahap, yaitu (1) pengamatan, (2) pemisahan dan penguraian gejala di laboratorium untuk eksperimentasi, (3) penggunaan peralatan yang teliti untuk menentukan kadar, mutu dan jumlah sasaran perhatian, serta (4) perumusan suatu hipotesis. Oleh karena pendapatnya berbeda dengan pihak gereja maka Galileo dituntut oleh Inquisisi yaitu para pejabat gereja yang berwenang untuk memeriksa pemikiran-pemikiran yang dianggap menyimpang dan atau bertentangan dengan ajaran agama dan, atas dasar itu, dia diharuskan menarik kembali ajarannya serta membuat pernyataan bahwa temuannya itu tidak mengandung kebenaran.

Galileo sendiri sebenarnya tidak beranggapan bahwa Astronomi Baru yang dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan seperti N. Copernicus dan dia sendiri bertentangan dengan ajaran agama. Ia juga berpendirian bahwa isi kitab Injil tidak dapat diganggu gugat, tetapi ia juga berpendapat bahwa mungkin saja para penafsirnya membuat tafsiran yang keliru.

Demikianlah beberapa contoh klasik yang dapat diangkat dari sejarah perkembangan dan kemajuan ilmu. Masih banyak lagi contoh yang dapat dikemukakan sebagai bukti adanya perbedaan pandangan bahkan kesenjangan antara ke dua ranah itu dan tidak jarang keadaan itu berakibat timbulnya sengketa berlarut yang biasanya berkesudahan dengan sang ilmuwan sebagai korbannya. Oleh sebab itu, semakin kuatlah para filsuf dan kaum ilmuwan untuk menegakkan kemandirian yang terlepas dari ikatan dengan gereja. Mereka menghormati wewenang dan wibawa para pemuka agama untuk menegaskan pandangannya secara ex cathedra untuk menjadi panutan khalayaknya. Namun, di lain pihak mereka menghendaki diterima dan diakuinya juga kemandirian filsafat dan ilmu sebagai ikhtiar yang didasarkan pada proses penalaran.

Kecenderungan ini timbul sejalan dengan perkembangan pola pemukiman, pada khususnya yang menjelma sebagai sistem perkotaan. Mekarnya urbanisme ini diikuti oleh tumbuhnya pula pusat-pusat pendidikan yang selama ini terutama berada dalam ranah keagamaan dan teguh berpegang asas faith over reason. Pertumbuhan pusat-pusat tersebut juga berakibat makin melonggarnya hubungan antara pusat-pusat ilmu dan lingkungan keagamaan, sedangkan kelonggaran ini pada gilirannya membuka peluang lebih besar bagi perkembangan filsafat pada umumnya dan rasionalisme pada khususnya. Sebagai kelanjutannya terjadilah perselisihan antara para penyandang wewenang dan wibawa yang berasal dari lingkungan keagamaan dan mereka yang tampil sebagai tokoh-tokoh filsafat dan keilmuan. Ini antara lain yang menyebabkan Uskup Paris pada tahun 1277 menyatakan kutukan terhadap 219 preposisi yang rumusannya dihasilkan oleh pendekatan rasionalisme. Dalam tahun itu juga kutukan yang serupa di Inggris diumumkan oleh Uskup Agung Canterbury.

Kesenjangan antara kedua ranah ini makin membesar karena para filsuf yang tergabung dalam kelompok yang dikenal sebagai penganut Averroisme (dbp Siger dari Brahant) terus bertahan pada pendiriannya untuk menggarap masalah-masalah filsafat dan ilmu behas dari ikatan dengan keagamaan. Averroisme ini berkelanjutan sampai memasuki periode renaissance yang iklimnya justru semakin menyuburkan berseminya berbagai aliran filsafat serta cabang ilmu secara mandiri. Pesatnya pertumbuhan berbagai cabang ilmu waktu itu makin menampilkan ilmu sebagai suatu manifestasi yang otonom dan hal ini pada gilirannya menimbulkan tuntutan agar juga bagi pusat-pusat pendidikan keilmuan waktu itu universitas diakui juga otonomi universitas sebagai lembaga yang menyelenggarakan kegiatan ilmiah. Oleh sebab itu, muncullah pula istilah otonomi universitas (bukan otonomi kampus), yaitu otonomi kelembagaannya sebagai pengelola kegiatan akademik (pelajaran penelitian, dan sebagainya). Dalam suasana itu universitas merupakan tempat persemaian dan persemian intelektual dan kultural dalam arti luas, bukan sekadar perakit sarjana atau pakar dengan pandangan teropong (tunnel vision).

Perlu segera dicatat bahwa otonomi ilmu adakalanya juga digunakan istilah dengan arti yang sama, yaitu otonomi ilmiah bukanlah monopoli universitas, melainkan berlaku juga bagi semua lembaga keilmuan, seperti lembaga-lembaga penelitian ilmiah di luar lingkungan universitas. Dengan demikian, otonomi ilmu selanjutnya dianggap sebagai conditio sine qua non bagi terwujudnya perkembangan dan kemajuan ilmu pada khususnya serta peradaban kemanusiaan pada umumnya, dan seiring dengun itu, diakui juga otonomi universitas sebagai lembaga yang menyelenggarakan pengajaran dan penelitian berbagai disiplin ilmu sesuai dengun kaidah-kaidah akademik.

Istilah otonomi kampus atau kebehasan kampus yang akhir-akhir ini dipergunakan oleh beberapa unsur civitas academica tidak mengacu pada otonomi keilmuan atau kelembagaan universitas sebagai wahana kegiatan akademik dan keilmuan. Kampus mengacu pada wilayah tertentu. Kampus suatu universitas menunjuk pada wilayah atau lokasi tempat universitas itu berada. Istilah kampus (campus, camp) artinya sama dengan “perkampungan”, maka istilah kampus bukanlah khusus bagi sesuatu perguruan tinggi. Kampus hanyalah menegaskan perkampungan itu sebagai wilayah tertentu. Oleh sebab itu, penggunaan istilah otonomi kampus itu keliru karena hal ini dapat menimbulkan tafsiran bahwa kampus adalah suatu wilayah otonom. Apalagi kalau dengan sebutan otonomi kampus itu timbul anggapan seakan-akan kampus itu bersifat ekstrateritorial dengan segala konsekuensinya. Kampus tidak berada di luar hukum, kampus bukan wilayah yang kebal hukum, kampus tidak dapat memberikan suaka kepada siapa pun. Bahwasanya dalam suatu kampus tersedia berhagai fasilitas pelayanan seperti klinik, kantor pos, kantin, bank, satuan pengamanan, dan sebagainya bukanlah lalu berarti kampus itu merupakan teritori istimewa yang kebal hukum dan kedap norma yang berlaku dalam masyarakat tempat kampus itu berada.

Sejalan dengan hasrat diakuinya otonomi ilmu, maka kalangan ilmuwan khususnya kalangan akademisi mengharapkan diakui dan berlakunya kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik. Yang pertama berkenaan dengan kebebasan para akademisi untuk melakukan studi, penelitian, dan pembahasan serta pengajaran ilmu kepada sesama civitas academica, sedangkan yang kedua berkenaan dengan hak serta tangungjawab seseorang yang memiliki prasyarat dan atribut untuk diakui wewenang dan wibawa keilmuannya guna mengutarakan pikiran dan pendapatnya ex cathedra academica. Jelas kiranva bahwa hak menggunakan cathedra atau mimbar ini tidak dimiliki oleh setiap warga civitas academica, melainkan oleh para akademisi yang memenuhi segala persyaratan untuk bertindak selaku tenaga pengajar atau peneliti yang mandiri.

Dari uraian di atas ini jelas bahwa sesungguhnya “kebebasan ilmiah” (dalam arti otonomi ilmu atau otonomi ilmiah) lebih luas ruang lingkupnya dibandingkan dengan kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik yang hanya merupakan bagian yang lebih terbatas dalam ruang lingkup kebebasan akademik.

Dalam kenyataannya, kedua modus kebebasan itu mendapatkan perwujudannya di perguruan tinggi atau universitas, yang warganya disebut civitas academica (para dosen dan mahasiswa) dan tenaga pengajarnya yang memiliki wewenang dan wibawa keilmuan meneruskan ilmunya kepada para mahasiswa dengan cara penyajian ex cathedra, a.l. berupa kuliah. Kuliah adalah suatu cara penyajian bahan ilmiah yang melibatkan civitas academica (dosen dan mahasiswa) sebagai sesama mitra pembahasan. Cara ini sejak awal didirikannya pusat-pusat belajar berupa universitas menjadi kelaziman. Kuliah bukanlah sekadar proses pengalihan pengetahuan (transfer of knowledge) yang berlangsung satu arah, melainkan Justru merupakan interaksi dua arah (antara dosen dan mahasiswa). Sistem kuliah semestinya tidak sekadar berwujud serentetan courses melainkan justru berupa discourses. Inilah yang menjadi cirikhas sistem kuliah sejak didirikannya universitas-universitas pertama. Discourses itulah yang dikehendaki berkembang dalam suatu iklim yang bebas, yaitu sebagaimana dijamin oleh diakui dan berlakunya kebebasan akademik bagi civitas academica. Kebebasan akademik yang pengejawantahannya berlangsung dalam lingkungan akademik dan melalui berbagai wahana akademik pula inilah yang melandasi perkembangan dan kemajuan ilmu pada umumnya.

Wahana pengejawantahan kebebasan akademik juga jelas bentuk dan tata tertibnya, yaitu berbagai forum akademik yang sudah lama dikenal dalam linkungan akademik seperti kolokium, simposium, seminar, studium generale, diskusi panel, lokakarya, dan sebagainya masing-masing dengan tata tertibnya yang harus ditaati oleh para peserta forum yang bersangkutan. Setiap forum itu punya disiplin dan aturannya. Dengan adanya disiplin dan aturan itulah, forum akademik mendapatkan bobotnya sebagai forum diskusi atau dialogi ilmiah dan memberikan peluang bagi perwujudan kebebasan akademik yang bertanggungjawab.

Kebebasan akademik juga terikat pada susila akademik. Inilah yang harus selalu diinsafi oleh setiap akademikus, manakala dia menggunakan hak kebebasan (mimbar) akademik itu. Tapi tetap terbuka untuk menerima pendapat sesamanya yang berbeda atau bertentangan dengan pendapatnya sendiri. Ia harus mengakui keunggulan pendapat orang lain bila memang demikian halnya. Ia harus terbuka terhadap kritik dari sesamanya. Tapi harus tetap rendah hati (modest) dalam mempertahankan teori, dalil, tesis, dan sebagainya yang dijadikan titik tolak pandangan dan pendapatnya. Ia harus menyebutkan sumber yang digunakan sebagai penunjang atau pelengkap argumentasinya, dan begitu seterusnya sehinga setiap akademikus akan terhindar dari sikap serba pretensi, apalagi arogansi.

Di Indonesia tradisi kebebasan (mimbar) akademik mula-mula diberlakukan di perguruan-perguruan tinggi yang pertama-tama didirikan yaitu di Sekolah Tinggi Teknik (Technische Hoogeschool) yang didirikan di Bandung tahun 1920, di Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshoogeschool) yang didirikan di Jakarta tahun 1924; di Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hoogeschool) yang didirikan di Jakarta tahun 1921, Fakultas Kesusasteraan dan Filsafat (Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte) yang didirikan di Jakarta tahun 1940 dan Fakultas Pertanian (Faculteis der Landbouw) yang didirikan di Jakarta tahun 1941.

Dalam pertumbuhan pendidikan tinggi di Indonesia kebebasan akademik ini lebih khusus tercantum dalam Undang-Undang tentang Perguruan Tinggi tahun 1961 yang menyatakan bahwa:

Kebebasan ilmiah dan kebebasan mimbar pada Perguruan Tinggi diakui dan dijamin sepanjang tidak bertentangan dengan serta mengindahkan dasar dan garis-garis besar haluan Negara. (pasal 4)

Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1988 juga jelas menyatakan berlakunya kebebasan mimbar akademik itu. Pernyataan yang dirumuskan dalam bagian tentang pendidikan itu berbunyi:

“Peranan perguruan tinggi dan lembaga penelitiannya dalam menunjang kegiatan pembangunan makin ditingkatkan, antara lain dengan menetapkan iklim yang menjamin penggunaan kebebasan mimbar akademik secara kreatif, konstruktif, dan bertanggungjawab sehinga mampu memberikan hasil pengkajian dan penelitian yang bermutu dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan bagi masyarakat yang sedang membangun.”

Rumusan ini menggunakan ungkapan kebebasan mimbar akademik karena dalam kegiatan pengembangan dan penyampaian pemikiran tentu saja lingkungan akademik bukanlah merupakan satu-satunya lingkungan tempat mengutarakan dan mengembangkan pemikiran. Ada juga mimbar-mimbar lain yang juga digunakan sebagai tempat untuk menyampaikan sesuatu pemikiran yang berkenaan dengan bidang lain, bergantung kepada jenis pemikiran yang disampaikan. Mimbar akademik khusus berlaku bagi penyampaian pemikiran dan pendapat akademik oleh seorang akademikus yang memenuhi segala persyaratan untuk memiliki wewenang dan wibawa akademik. Jelaslah kebebasan mimbar akademik tidak berlaku bagi semua warga civitas academica seperti halnya kebebasan akademik.

Dalam Undang-Undang No.2 Tahun 1989 tentang Pendidikan Nasional dicantumkan jaminan adanya kebehasan akademik, sebagaimana dinyatakan oleh pasal 25 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut:

Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan pada perguruan tinggi berlaku kebehasan akademik.”

Kebebasan akademik adalah hak dan tanggungjawab sebagai satu keutuhan yang tak terpisahkan. Manunggalnya hak dan tanggungjawab ini menjadikan kebebasan akademik terikat pada susila akademik. Ciri kebehasan akademik adalah bersatu padunya logos dan ethos. Oleh sebab itu, setiap akademikus seharusnya menginsafi hal ini dan ia akan sealu ikut menjaga agar kebebasan akademik itu tidak dicemari oleh tindakan yang non-akademik atau pseudoakademik. Baik kebebasan mimbar akademik maupun kebebasan akademik adalah privilege yang makna dan nilainya terpulang pada perilaku para warga civitas academica.

Dalam hubungan ini Prof. Dr. Slamet Iman Santoso seorang yang dikenal amat teguh berpegang pada tradisi keilmuan dan akademik dalam salah satu tulisannya berjudul “Kebebasan Mimbar Ilmiyah” dalam majalah Mahasiswa No. 4 tahun I, 1977 (terbitan Direktorat Kemahasiswaan, Dep. P & K, Jakarta) antara lain berkata:

“Sering kebebasan mimbar ilmiyah ini dipergunakan sebagai mimbar kritik ditujukan kepada manusia-manusia tertentu, lembaga tertentu, organisasi tertentu dan sebagainya .... Cara demikian melibatkan mimbar kebebasan ilmiyah dalam kancah social, baik social economis, social politis, atau lain bentuk dinamik social. Dan cara demikian melibatkan pula universitas dalam dinamik social yang bukan dinamik ilmu pengetahuan. Jelas cara demikian bertentangan dan kebebasan mimbar ilmiyah. (Seluruh kutipan ini sesuai dengan tulisan aslinya, termasuk yang tercetak kursif; dan bunyi kalimat kiranya kata dan di akhir kalimat seharusnya diralat menjadi dengan).”

Dalam suatu wawancara dengan Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo, yang sekarang guru besar senior, beliau menegaskan bahwa:

“Kebebasan mimbar adalah prinsip yang melekat dalam kebudayaan kepakaran di lingkungan universitas. Oleh sebab itu, meskipun universitas dituntut tak menjadi menara gading, tidak berarti landasan otoritas, integritas, dan sifat otonom yang dibawa oleh pengemban kebudayaan dibenarkun untuk dimanfaatkan demi kepentingan yang bersifat politis.”

Selanjutnya Ia menjelaskan:

“Di dalam otoritas itulah terletak tanggung jawab yang didasarkan atas integritasnya, yaitu bahwa selaku pelaku dalam bidang akademis seorang akademisi terikat kepada etika dalam menghayati ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, dalam upayanya menuju kekebenaran ilmu pengetahuan, integritas yang dimilikjnya menjamin tidak akan mengunakan ilmu pengetahuan bagi kepentingan lain, politik khususnya.”

Kutipan-kutipan di atas ini dapat diperbanyak dan semuanya menegaskan bahwa kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik harus tinggi maknanya oleh segenap civitas academica dan dihindarkan dari berbagai pencemaran arti serta tafsirannya. Hal ini adalah demi terjaganya kehormatan civitas academica.

Dengan catatan ringkas ini kiranya tidak perlu lagi terjadi kesalahan persepsi dan interpretasi tentang kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi ilmiah (dan otonomi perguruan tinggi sebagai lembaga ilmiah).

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Kebebasan Akademik Dan Kebebasan Mimbar Akademik"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel