Konstitusi Dan Tata Perundang-Undangan Dalam Kehidupan Kenegaraan (Contoh Makalah)
KONSTITUSI DAN TATA
PERUNDANG-UNDANGAN
DALAM KEHIDUPAN KENEGARAAN
A. Pengertian Konstitusi
Ada dua istilah yang terkait dengan
norma atau ketentuan dasar dalam kaitan dalam kehidupan kenegaraan dan
kebangsaan. Kedua istilah tersebut adalah konstitusi dan undang-undang dasar.
Konstitusi berasal dari bahasa Prancis “constitue”
yang berarti membentuk. Maksud dari istilah tersebut ialah pembentukan,
penyusunan atau pernyataan akan suatu negara. Dalam bahasa latin, “konstitusi”
merupakan gabungan dua kata yakni cume berarti “bersama dengan…….”, dan
statuere berarti “membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan, menetapkan
sesuatu”. Dengan kata lain, constitutio (tunggal) berarti menetapkan sesuatu
secara bersama-sama, constitutiones berarti segala sesuatu yang telah
ditetapkan. Sedangkan Undang-Undang Dasar merupakan terjemahan dari istilah
Belanda “Grondwet”. Kata grond berarti tanah atau dasar dan wet berarti
undang-undang.
Istilah konstitusi (constitution)
dalam bahasa Inggris, memiliki makna yang lebih luas daripada Undang-Undang
Dasar, yakni konstitusi adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang
tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara
bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat. Konstitusi
menurut Miriam Budiardjo adalah suatu piagam yang menyatakan cita-cita bangsa
dan merupakan dasar organisasi kenegaraan suatu bangsa. Sedangkan undang-undang
dasar merupakan bagian tertulis dalam konstitusi.
Selanjutya terdapat beberapa makna
terkait dengan istilah konstitusi seperti konstitusi dalam arti material (yaitu
perhatian terhadap isinya yang terdiri atas pokok yang sangat penting dari
struktur dan organisasi negara). konstitusi dalam arti formil (yaitu perhatian
terhadap prosedur, pembentukannya yang harus istimewa dibandingkan dengan
pembentukan perundang-undangan lainnya), konstitusi dalam arti tertulis (yaitu
konstitusi yang dinaskahkan tertentu guna memudahkan pihak-pihak mengetahuinya),
dan konstitusi dalam arti undang-undang tertinggi (yaitu pembentukan dan
perubahannya melalui prosedur istimewa dan ia juga merupakan dasar tertinggi
dari perundang-undangan lainnya yang berlaku dalam negara).
Dalam terminologi hukum Islam (fiqh
siyasah), istilah konstitusi dikenal dengan sebutan dustur. Dustur pada mulanya
diartikan dengan seseorang yang memiliki otoritas, baik dalam bidang politik
maupun agama. Dalam kontek konstitusi, Dustur berarti kumpulan kaidah yang
mengatur dasar dan hubungan kerja sama antar sesama anggota masyarakat dalam
sebuah negara, baik yang tidak tertulis (konvensi) maupun yang tertulis
(konstitusi). Lebih lanjut dijelaskan oleh Abdul Wahab Khallaf, bahwa
prinsip yang ditegakkan dalam perumusan undang-undang dasar (dustur)
adalah jaminan atas hak-hak asasi manusia setiap anggota masyarakat dan
persamaan kedudukan semua orang di mata hukum, tanpa membedakan stratifikasi
sosial, kekayaan, pendidikan dan agama.
Dalam perkembangannya, ada beberapa
pendapat yang membedakan antara konstitusi dengan undang-undang dasar. Seperti
Herman Heler berpandangan bahwa konstitusi lebih luas daripada undang-undang
dasar. Konstitusi tidak hanya bersifat yuridis melainkan juga bersifat
sosiologis dan politis. Sedangkan undang-undang dasar hanya merupakan sebagian
dari pengertian konstitusi, yakni die geschreiben verfassung atau konstitusi
yang tertulis. Pendapat yang sama juga diajukan oleh F. Laselle, yang membagi
pengertian konstitusi menjadi dua, yakni :
- Sosiologis dan politis. Secara sosiologis dan politis konstitusi adalah sintesa faktor-faktor kekuatan yang nyata dalam masyarakat (hubungan antara kekuasaan-kekuasaan dalam suatu negara). Seperti : raja, parlemen, kabinet, partai politik dan lain-lain.
- Yuridis. Secara yuridis konstitusi adalah suatu naskah yang memuat semua bangunan negara dan sendi-sendi pemerintahan.
Berbeda halnya dengan pendapat yang
dikemukakan James Bryce, seperti dikutip C.F. Strong, yang menyamakan
konstitusi dengan UUD. Ia mendefinisikan konstitusi sebagai suatu kerangka
masyarakat politik (negara) yang diorganisir dengan dan melalui hukum. Dengan
kata lain, konstitusi dapat pula dikatakan sebagai kumpulan prinsip-prinsip
yang mengatur kekuasaan pemerintahan, hak-hak pihak yang diperintah (rakyat),
dan hubungan diantara keduanya. Penyamaan arti konstitusi dan UUD inilah yang
sesuai dengan praktek ketatanegaraan di Indonesia.
Dari beberapa pengertian di atas,
konstitusi dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.
Suatu kumpulan kaidah yang
memberikan pembatasan-pembatasan kekuasaan kepada para penguasa.
2.
Suatu dokumen tentang pembagian
tugas dan sekaligus petugasnya dari suatu sistem politik.
3.
Suatu deskripsi yang menyangkut
masalah hak asasi manusia.
B.
Tujuan, Fungsi dan Ruang
Lingkup Konstitusi
Secara garis besar, tujuan konstitusi
adalah membatasi tindakan sewenang-wenang pemerintah, menjamin hak-hak rakyat
yang diperintah, dan menetapkan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat. Menurut
Bagir Manan, hakikat tujuan konstitusi merupakan perwujudan paham tentang
konstitusi atau konstitusionalisme yaitu pembatasan terhadap kekuasaan
pemerintah di satu pihak dan jaminan terhadap hak-hak warga negara maupun
setiap penduduk di pihak lain.
Dalam berbagai literatur hukum tata
negara maupun ilmu politik ditegaskan bahwa fungsi konstitusi adalah sebagai
dokumen nasional dan alat untuk membentuk sistem politik dan sistem hukum
negara. Karena itu ruang lingkup isi Undang-undang Dasar sebagai konstitusi
tertulis sebagaimana dikemukakan oleh A.A.H Struycken memuat tentang :
- Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau ;
- Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa ;
- Pandangan tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang ;
- Suatu keinginan dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
Sedangkan menurut Sri Soemantri
dengan mengutip pendapat Steenbeck menyatakan bahwa terdapat tiga materi muatan
pokok dalam konstitusi yaitu :
- Jaminan hak-hak asasi manusia.
- Susunan ketatanegaraan yang bersifat mendasar.
- Pembagian dan pembatasan kekuasaan.
Selanjutnya dalam paham konstitusi (konstitusionalisme)
demokratis dijelaskan bahwa isi konstitusi meliputi :
- Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum
- Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia
- Peradilan yang bebas dan mandiri
- Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntanbilitas publik) sebagai sendi utama dari asas kedaulatan rakyat.
Keempat cakupan isi di atas merupakan
dasar utama bagi suatu pemerintahan yang konstitusional. Namun demikian,
indikator suatu negara atau pemerintahan disebut demokratis tidaklah tergantung
pada konstitusinya. Sekalipun konstitusinya telah menetapkan aturan dan
prinsip-prinsip di atas, jika tidak diimplementasikan dalam praktik
penyelenggaraan tata pemerintahan, ia belum bisa dikatakan sebagai negara yang
konstitusional atau menganut paham konstitusi demokrasi.
C.
Klasifikasi Konstitusi
K.C Wheare sebagaimana dikutip oleh
Dahlan Thaib, dkk., mengungkapkan secara panjang lebar mengenai berbagai macam
konstitusi yang pada intinya konstitusi dapat diklasifikasikan sebagai berikut
: Kontitusi Tertulis dan Tidak Tertulis, Konstitusi Fleksibel dan Konstitusi
Kaku, Konstitusi Derajat-Tinggi dan Konstitusi Tidak Derajat-Tinggi, Konstitusi
Serikat dan Konstitusi Kesatuan, Konstitusi Sistem Pemerintahan Presidensial
dan Konstitusi Pemerintahan Parlementer. Uraian lebih lanjut sebagai berikut:
1.
Konstitusi Tertulis dan Tidak Tertulis
Konstitusi tertulis adalah konstitusi
dalam bentuk dokumen yang memiliki “kesakralan khusus” dalam proses
perumusannya. Konstitusi Tertulis merupakan suatu instrumen (instrumen atau document)
yang oleh para penyusunnya disusun untuk segala kemungkinan yang dirasa terjadi
dalam pelaksanaannya. Pada kasus lain, konstitusi tertulis dijumpai pada
sejumlah hukum dasar yang diadopsi atau dirancang oleh para penyusun konstitusi
dengan tujuan untuk memberikan ruang lingkup seluas mungkin bagi proses
undang-undang biasa untuk mengembangkan konstitusi itu dalam aturan-aturan yang
sudah disiapkan.
Sedangkan konstitusi Tidak tertulis
adalah kostitusi yang lebih berkembang atas dasar adat-istiadat (custom)
daripada hukum tertulis. Berbeda dengan yang pertama, konstitusi Tidak tertulis
dalam perumusannya tidak membutuhkan proses yang panjang, misalnya dalam
penentuan quorum, model perubahan (amandemen atau pembaruan), dan prosedur
perubahannya (referendum, konvensi, atau pembentukan lembaga khusus).
2.
Konstitusi Fleksibel dan Konstitusi Kaku
Konstitusi yang dapat diubah atau
diamandemen tanpa adanya prosedur khusus dinyatakan sebagai konstitusi
fleksibel. Sebaliknya konstitusi yang mempersyaratkan prosedur khusus untuk
perubahan atau amandemennya adalah konstitusi kaku. Menurut James Bryce,
terdapat ciri-ciri khusus pada konstitusi fleksibel, yaitu : a) Elastis, b)
Diumumkan dan diubah dengan cara yang sama seperti undang-undang. Sedangkan
konstitusi kaku memliki kekhususan sendiri yaitu : a) Mempunyai kedudukan dan
derajat yang lebih tinggi dari peraturan perundang-undangan yang lain, b) Hanya
dapat diubah dengan cara yang khusus atau istimewa atau dengan persyaratan yang
yang berat.
3.
Konstitusi Derajat-Tinggi dan Konstitusi Tidak Derajat-Tinggi
Konstitusi derajat tinggi ialah suatu
konstitusi yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam negara. Jika dilihat dari
segi bentuknya, konstitusi ini berada di atas peraturan perundang-undangan yang
lain. Demikian juga syarat-syarat untuk mengubahnya sangatlah berat. Sedangkan
konstitusi tidak sederajat ialah suatu konstitusi yang tidak mempunyai
kedudukan serta derajat seperti konstitusi derajat-tinggi. Persyaratan yang
diperlukan untuk mengubah konstitusi jenis ini sama dengan persyaratan yang
diperlukan untuk mengubah peraturan-peraturan yang lain setingkat
undang-undang.
4.
Konstitusi Serikat dan Konstitusi Kesatuan
Bentuk ini berkaitan dengan bentuk
suatu negara ; jika bentuk suatu negara itu serikat, maka akan didapatkan
sistem pembagian kekuasaan antara pemerintah negara serikat dengan pemerintah
negara bagian. Sistem pembagian kekuasaan ini diatur dalam konstitusi. Dalam
negara kesatuan pembagian kekuasaan tidak dijumpai, karena seluruh kekuasaannya
terpusat pada pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam konstitusi.
5.
Konstitusi Sistem Pemerintahan Presidensial dan Konstitusi Sistem
Pemerintahan Parlementer
Menurut C.F. Strong, terdapat dua
macam pemerintahan presidensial di negara-negara dunia dewasa ini dengan ciri-ciri
pokoknya sebagai berikut :
a.
Presiden tidak dipilih oleh
pemegang kekuasaan legislatif, akan tetapi dipilih langsung oleh rakyat atau
oleh dewan pemilih, seperti Amerika Serikat dan Indonesia.
b.
Presiden tidak termasuk
pemegang kekuasaan legilatif
c.
Presiden tidak dapat
membubarkan pemegang kekuasaan legislatif dan tidak dapat memerintahkan
diadakan pemilihan.
Konstitusi yang mengatur beberapa
ciri di atas dapat diklasifikasikan ke dalam konstitusi sistem pemerintahan
preidensial. Sedangkan sistem pemerintahan parlementer mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut :
a.
Kabinet yang dipilih oleh
Perdana Menteri dibentuk atau berdasarkan kekuatan-kekuatan yang menguasai
parlemen.
b.
Para anggota kabinet mungkin
seluruhnya, mungkin juga sebagian adalah anggota parlemen.
c.
Perdana Menteri bersama kabinet
bertanggung jawab kepada parlemen.
d.
Kepala Negara dengan saran atau
nasihat Perdana Menteri dapat membubarkan parlemen dan memerintahkan
diadakannya pemilihan umum.
Konstitusi yang mengatur beberapa
ciri sistem pemerintahan di atas dapat dikatakan sebagai konstitusi sistem
pemerintahan parlementer.
D.
Sejarah Perkembangan
Konstitusi
Konstitusi sebagai suatu kerangka
kehidupan politik telah lama dikenal yaitu sejak jaman bangsa Yunani yang
memiliki beberapa kumpulan hukum (semacam kitab hukum pada 624-404 SM). Athena
pernah mempunyai tidak kurang dari 11 konstitusi, sedangkan Aristoteles sendiri
berhasil mengoleksi sebanyak 158 buah konstitusi dari beberapa negara. Pada
masa itu pemahaman tentang “konstitusi” hanyalah merupakan suatu kumpulan dari
peraturan serta adat kebiasaan semata-mata.
Sejalan dengan perjalanan waktu, pada
masa Kekaisaran Roma pengertian konstitusi (constitutionnes) mengalami
perubahan makna ; ia merupakan suatu kumpulan ketentuan serta peraturan yang
dibuat oleh para kaisar, pernyataan dan pendapat para ahli hukum, negarawan,
serta adat kebiasaan setempat selain undang-undang. Konstitusi Roma mempunyai
pengaruh cukup besar sampai abad pertengahan yang memberikan inspirasi bagi
tumbuhnya paham Demokrasi Perwakilan dan Nasionalisme. Dua paham inilah yang
merupakan cikal bakal munculnya paham konstitusionalisme modern.
Selanjutnya pada abad VII (zaman
klasik) lahirlah piagam Madinah atau Konstitusi Madinah. Piagam Madinah yang
dibentuk pada awal masa klasik Islam (622 M) merupakan aturan pokok tata
kehidupan bersama di Madinah yang dihuni oleh bermacam kelompok dan golongan :
Yahudi, Kristen, Islam dan lainnya. Konstitusi Madinah berisikan tentang hak
bebas berkeyakinan, kebebasan berpendapat, kewajiban kemasyarakatan dan juga
mengatur kepentingan-kepentingan hukum. Konstitusi Madinah merupakan satu
bentuk konstitusi pertama di dunia yang telah memuat materi sebagaimana
layaknya konstitusi modern dan telah mendahului konstitusi-konstitusi lainnya
di dalam meletakkan dasar pengakuan terhadap hak asasi manusia.
Pada paruh kedua abad XVII, kaum
bangsawan Inggris yang menang dalam revolusi istana (The Glorious Revolution)
telah mengakhiri absolutisme kekuasaan raja dan menggantikannya dengan sistem
parlemen sebagai pemegang kedaulatan. Akhir dari revolusi ini adalah deklarasi
kemerdekaan 12 negara koloni Inggris pada 1776, dengan menetapkan konstitusi
sebagai dasar negara yang berdaulat.
Pada tahun 1789 meletus revolusi di
Perancis, ditandai oleh ketegangan-ketegangan di masyarakat dan terganggunya
stabilitas keamanan negara. Instabilitas sosial di Prancis memunculkan perlunya
konstitusi (constituante). Maka pada tanggal 14 September 1791 tercatat sebagai
diterimanya konstitusi Eropa pertama oleh Louis XVI. Sejak peristiwa inilah
sebagian besar negara-negara di dunia, baik monarkhi maupun republuk, negara
kesatuan maupun federal, sama-sama mendasarkan prinsip ketatanegaraannya pada
sandaran konstitusi. Di perancis muncul buku karya J.J. Rousseau, Du Contract
Social, yang mengatakan “manusia terlahir dalam keadaan bebas dan sederajat
dalam hak-haknya”. Sedangkan hukum merupakan ekspresi dari kehendak umum
(rakyat). Pandangan Rousseau ini sangat menjiwai hak-hak dan kemerdekaan rakyat
(De Declaration des Droit d I’Homme et du Citoyen), karena deklarasi inilah
yang mengilhami pembentukan Konstitusi Perancis (1791) khususnya yang
menyangkut hak-hak asasi manusia. Setelah peristiwa ini, maka muncul konstitusi
dalam bentuk tertulis yang dipelopori oleh Amerika.
Konstitusi tertulis model Amerika ini
kemudian diikuti oleh berbagai negara di Eropa, seperti Spanyol (1812),
Norwegia (1814), Belanda (1815). Hal yang perlu dicatat adalah bahwa konstitusi
pada waktu itu belum menjadi hukum dasar yang penting. Konstitusi sebagai UUD,
atau sering disebut dengan “Konstitusi Modern” baru muncul bersamaan dengan
perkembangan sistem demokrasi perwakilan. Demokrasi perwakilan muncul sebagai
pemenuhan kebutuhan rakyat akan lembaga perwakilan (legislatif). Lembaga ini
dibutuhkan sebagai pembuat Undang-undang untuk mengurangi dan membatasi
dominasi para raja. Alasan inilah yang menempatkan konstitusi tertulis sebagai
hukum dasar yang posisinya lebih tinggi daripada raja.
E.
Sejarah Lahir dan
Perkembangan Konstitusi di Indonesia
Sebagai negara hukum, Indonesia
memiliki konstitusi yang dikenal dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Undang-undang Dasar 1945 dirancang sejak 29 Mei 1945 sampai 16 Juli 1945 oleh
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau
dalam bahasa Jepang dikenal dengan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai yang
beranggotakan 62 orang, diketuai Mr. Radjiman Wedyodiningrat. Tugas pokok badan
ini sebenarnya menyusun rancangan UUD. Namun dalam praktik persidangannya
berjalan berkepanjangan, khususnya pada saat membahas masalah dasar negara. Di
akhir sidang I BPUPKI berhasil membentuk panitia kecil yang disebut dengan
panitia sembilan. Panitia ini pada tanggal 22 Juni 1945 berhasil mencapai
kompromi untuk menyetujui sebuah naskah Mukaddimah UUD. Hasil panitia sembilan
ini kemudian diterima dalam sidang II BPUPKI tanggal 11 Juli 1945. Setelah itu
Soekarno membentuk panitia kecil pada tanggal 16 Juli 1945 yang diketuai oleh
Soepomo dengan tugas menyusun rancangan Undang-undang Dasar dan membentuk
panitia untuk mempersiapkan kemerdekaan yaitu Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI).
Keanggotaan PPKI berjumlah 21 orang
dengan ketua Ir. Soekarno dan Moh. Hatta sebagai wakilnya. Para anggota PPKI
antara lain Mr. Radjiman Wedyodiningrat, Ki Bagus Hadikoesoemo, Otto
Iskandardinata, Pangeran Purboyo, Pangeran Soerjohamidjojo, Soetarjo
Kartohamidjojo, Prof. Dr. Mr. Soepomo, Abdul Kadir, Drs. Yap Tjwan Bing, Dr.
Mohammad Amir (Sumatra), Mr. Abdul Abbas (Sumatra), Dr. Ratulangi, Andi
Pangerang (keduanya dari Sulawesi), Mr. Latuharhary, Mr. Pudja (Bali), AH.
Hamidan (Kalimantan), R.P. Soeroso, Abdul Wachid Hasyim dan Mr. Mohammad Hassan
(Sumatra).
Undang-undang Dasar atau Konstitusi
Negara Republik Indonesia disahkan dan ditetapkan oleh PPKI pada hari abtu
tanggal 18 Agustus 1945. Dengan demikian sejak itu itu Indonesia telah menjadi
suatu negara modern karena telah memiliki suatu sistem ketatanegaraan yaitu
Undang-undang Dasar atau Konstitusi negara yang memuat tatakerja konstitusi
modern. Istilah Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang memakai angka “1945”
di belakang UUD sebagaimana dijelaskan oleh Dahlan Thaib dkk., barulah timbul
kemudian yaitu pada awal tahun 1959 ketika tanggal 19 Februari 1959 Kabinet
Karya mengambil kesimpulan dengan suara bulat mengenai “pelaksanaan demokrasi terpimpin
dalam rangka kembali ke UUD 1945”. Dalam perjalanan sejarah, konstitusi
Indonesia telah mengalami beberapa kali pergantian baik nama maupun substansi
materi yang dikandungnya. Perjalanan sejarah konstitusi Indonesia yaitu :
- Undang-undang Dasar 1945 yang masa berlakunya sejak 18 Agustus 1945 - 27 Desember 1949.
- Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang lazim dikenal dengan sebutan konstitusi RIS dengan masa berlakunya sejak 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950.
- Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) Republik Indonesia 1950 yang masa berlakunya sejak 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959
- Undang-undang Dasar 1945 yang merupakan pemberlakuan kembali konstitusi pertama Indonesia dengan masa berlakunya sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 – sekarang.
F.
Perubahan Konstitusi di
Indonesia
Dalam sistem ketatanegaraan modern,
terdapat dua model perubahan konstitusi yaitu renewel (pembaharuan) dan
amandemen (perubahan). Renewel adalah sistem perubahan konstitusi dengan model
perubahan konstitusi secara keseluruhan sehingga yang diberlakukan adalah
konstitusi yang baru secara keseluruhan. Diantara negara yang menganut sistem
ini antara lain Belanda, Jerman, dan Prancis. Sedangkan amandemen adalah
perubahan konstitusi yang apabila suatu konstitusi dirubah, konstitusi yang
asli tetap berlaku. Dengan kata lain perubahan pada model amandemen tidak
terjadi secara keseluruhan bagian dalam konstitusi asli sehingga hasil
amandemen tersebut merupakan bagian atau lampiran yang menyertai konstitusi
awal. Negara yang menganut sistem ini adalah Amerika Serikat termasuk Indonesia
dengan pengalaman empat kali melakukan amandemen.
Menurut Miriam Budiarjo, ada 4 macam
prosedur dalam perubahan konstitusi baik dalam model renewel dan amandemen,
yaitu:
- Sidang badan legislative dengan ditambah beberapa syarat, misalnya dapat ditetapkan quorum untuk sidang yang membicarakan usul perubahan undang-undang dasar dan jumlah minimum anggota badan legislative untuk menerimanya.
- Referendum (Pengambilan keputusan dengan cara menerima atau menolak usulan perubahan undang-undang.
- Negara-negara bagian dalam Negara federal (misal Amerika Serikat, ¾ dari 50 negara-negara bagian harus menyetujui).
- Perubahan yang dilakukan dalam suatu konvensi atau dilakukan oleh suatu lembaga khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan.
Selanjutnya menurut K.C. Wheare dalam
melakukan perubahan UUD hendaklah diperhatikan hal berikut:
- Agar rakyat mendapat kesempatan untuk menyampaikan pandangannya sebelum perubahan dilakukan.
- Agar jika dilakukan di negara serikat kekuasaan Negara serikat dan kekuasaan negara bagian tidak diubah semata-mata oleh perbuatan masing-masing pihak secara tersendiri.
- Agar hak-hak perorangan atau kelompok seperti kelompok minoritas agama atau kebudayaannya mendapat jaminan.
Dalam perubahan keempat UUD 1945
diatur tentang tata cara perubahan undang-undang dasar. Bersandar pada pasal 37
UUD 1945 menyatakan:
- Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
- Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.
- Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
- Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan persetujuan sekurag-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Wacana perubahan UUD 45 mulai
mengemuka seiring dengan perkembangan politik pasca Orde Baru. Sebagian
kalangan menghendaki perubahan total UUD 1945 dengan cara membentuk konstitusi
baru. Menurut kelompok ini UUD 1945 dianggap tidak lagi sesuai dengan
perkembangan politik dan ketatanegaraan Indonesia, sehingga dibutuhkan
konstitusi baru sebagai pengganti UUD 1945. Sedangkan sebagian kelompok lain
berpendapat bahwa UUD 1945 masih relevan dengan perkembangan politik Indonesia
dan karenanya harus dipertahankan dengan melakukan amandemen pada pasal-pasal
tertentu yang tidak lagi sesuai dengan perkembangan sosial pollitik dewasa ini.
Pendapat kelompok yang terakhir ini didasarkan pada pandangan bahwa dalam UUD
1945 terdapat Pembukaan yang jika UUD 1945 dirubah akan berakibat pada
perubahan konsensus politik yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa (founding fathers). Lebih dari sekedar
perubahan kesepakatan nasional, perubahan UUD 1945 akan juga berakibat pada
perubahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan pada
17 Agustus 1945.
Dilakukan amandemen terhadap UUD 1945
karena ruh dan pelaksanaan konstitusi jauh dari paham konstitusi itu sendiri
yang oleh Adnan Buyung Nasution dinyatakan bahwa “Pemerintah yang
konstitusional itu bukanlah pemerintahan yang sekedar sesuai dengan bunyi
pasal-pasal konstitusi, melainkan pemerintahan yang sesuai dengan bunyi
konstitusi yang memang menurun esensi-esensi konstitusionalisme”. Begitu juga
hasil kajian Tim Amandemen Fakultas Hukum Unibraw yang melihat beberapa
kelemahan terhadap konstitusi / UUD 1945 yang antara lain: UUD 1945
memposisikan kekuasaan presiden begitu besar (executive power), sistem check
and balance tidak diatur secara tegas di dalamnya, ketentuan UUD 1945
banyak yang tidak jelas dan multi tafsir, minimnya pengaturan tentang hak asasi
manusia, sistem kepresidenan dan sistem perekonomian yang kurang jelas. Alasan
lain karena secara historis UUD 1945 memang didesain para pendiri negara
sebagai konstitusi yang bersifat sementara dan ditetapkan dalam suasana
tergesa-gesa. Sedangkan secara praktis politis sebagaimana dinyatakan oleh
Mochtar Pabottingi bahwa konstitusi/UUD 1945 sudah lama tidak dijalankan secara
murni dan konsekuen.
Dalam sejarah konstitusi Indonesia
telah terjadi beberapakali perubahan atas UUD 1945. Sejak proklamasi 17 Agustus
1945, telah terjadi beberapa kali perubahan atas UUD Negara Indonesia yaitu:
- Undang-Undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949)
- Konstitusi Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949 - 17 Agustus 1950)
- Undang–Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 (17 Agustus 1950 -5 Juli 1959)
- Undang-Undang Dasar 1945 (5 Juli 1959 - 19 Oktober 1999)
- Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahan (19 Oktober 1999 – 18 Agustus 2000)
- Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahan I dan II (18 Agustus 2000 - 9 November 2001)
- Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahan I, II dan III (9 November 2001 – 10 Agustus 2002)
- Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahan I, II, III dan IV (10 Agustus 2002)
G. Konstitusi Sebagai Piranti Kehidupan Kenegaraan yang Demokratis
Sebagaimana
dijelaskan di awal, bahwa konstitusi merupakan aturan-aturan dasar yang
dibentuk untuk mengatur dasar hubungan kerjasama antara negara dan masyarakat
(rakyat) dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai sebuah aturan
dasar yang mengatur kehidupan dalam berbangsa dan bemegara, maka sepatutnya konstitusi dibuat atas dasar kesepakatan bersama
antara negara dan warga negara, agar satu sama lain merasa bertanggung jawab
serta tidak terjadi penindasan dari yang kuat terhadap yang lemah.
Jika konstitusi dipahami sebagai
pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka konstitusi memiliki
kaitan yang cukup erat dengan penyelenggaraan pemerintahan dalam sebuah negara.
A. Hamid S. Attamimi berpendapat bahwa konstitusi auat Undang-Undang Dasar
adalah sebagai pemberi pegangan dan pemberi batas, sekaligus tentang bagaimana
kekuasaan negara harus dijalankan. Selanjutnya Mr. Djokosutono melihat pentingnya
konstitusi (groudwet) dan dua
segi. Pertama, dan segi isi (naar de inhoud) karena konstitusi memuat dasar (grondslagen)
dan struktur (inrichting) dan memuat fungsi (administratie) negara.
Kedua, dari segi bentuk (naar de maker) oleh karena yang membuat
konstitusi bukan sembarang orang atau lembaga. Sedangkan A.G. Pringgodigdo
berpendapat bahwa adanya keempat unsur pembentukan negara belumlah cukup
menjamin terlaksananya fungsi kenegaraan suatu bangsa kalau belum ada hukum
dasar yang mengaturnya. Hukum dasar yang dimaksud adalah konstitusi atau
Undang-undang Dasar. Dengan demikian keberadaan konstitusi atau Undang-undang
Dasar dalam kehidupan kenegaraan menjadi sangat penting, karena ia menjadi
acuan dan penentu arah dalam penyelenggaraan negara.
Konstitusi merupakan media bagi
terciptanya kehidupan yang demokratis bagi seluruh warga negara. Dengan kata
lain, negara yang memilih demokrasi sebagai pilihannya, maka konstitusi
demokratis merupakan aturan yang dapat menjamin terwujudnya demokrasi di negara
tersebut sehingga melahirkan kekuasaan atau pemerintahan yang demokratis pula.
Kekuasaan yang demokratis dalam menjalankan prinsip-pninsip demokrasi perlu
dikawal oleh masyarakat sebagai pemegang kedaulatan. Agar nilai-nilai demokrasi
yang diperjuangkan tidak diselewengkan, maka partisipasi warga negara dalam
menyuarakan aspirasi penlu ditetapkan di dalam konstitutisi untuk ikut
berpartisipasi dan mengawal proses demokratisasi pada sebuah negara.
Setiap konstitusi yang digolongkan
sebagai konstitusi demokratis haruslah memiliki prinsip-.pninsip dasar
demokrasi itu sendiri. Secara umum, konstitusi yang dapat dikatakan demokratis
metigandung prinsip-prinsip dasar demokrasi dalam kehidupan bernegara, yaitu:
1.
Menempatkan warga negara
sebagai sumber utama kedaulatan;
2.
Mayonitas berkuasa dan
terjaminnya hak minonitas;
3.
Adanya jaminan penghargaan
terhadap hak-hak individu warga negara dan penduduk negara, sehingga dengan
demikian entitas kolektif, tidak dengan sendininya menghilangkan hak-hak dasar
orang perorang;
4.
Pembatasan pemerintahan;
5.
Adanya jaminan terhadap
keutuhan negara nasional dan integritas
wilayah;
wilayah;
6.
Adanya jaminan ketenlibatan
rakyat dalam proses bernegara
melalui pemilihan umum yang bebas;
melalui pemilihan umum yang bebas;
7.
Adanya jaminan berlakunya hukum
dan keadilan melalui proses
peradilan yang independen;
peradilan yang independen;
8.
Pembatasan dan pemisahan
kekuasaan negara yang meliputi:
a.
Pemisahan wewenang kekuasaan
berdasarkan trias politika;
b.
Kontrol dan keseimbangan
lembaga-lembaga pemerintahan;
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa tatanan dan praktek kehidupan kenegaraan mencerminkan suasana yang
demokratis apabila konstitusi atau Undang-Undang Dasar negara tersebut memuat
rumusan tentang pengelolaan kenegaraan secara demokratis dan pengakuan tentang
hak asasi manusia secara memadai. Karenanya konstitusi menjadi piranti yang
sangat penting bagi sebuah negara demokrasi. Selanjutnya konstitusi dapat
menjadi daya ikat yang berarti bagi penyelenggara negara dan warga negara bagi
terbentuknya negara demokrasi. Negara demokrasi sebagaimana dikemukakan oleh
Dadang juliantara adalah negara yang dicirikan oleh : adanya pemilu yang
terbuka, tidak diskriminatif dan tidak melakukan intimidasi dan manipulasi;
adanya kapasitas kritis dan kapasitas partisipasi aktif dari rakyat adanya
sistem hukum yang memberi ketegasan dan memihak keadilan; adanya mekanisme
kontrol yang jelas dan terlindungi baik yang dilakukan oleh parlemen maupun oleh
konrol langsung oleh rakyat; adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia
yang tidak saja menjadi bagian dalam hukum positif melainkan telah terintegrasi
dalam penyelenggaraan dan kehidupan kenegaraan.
H. Lembaga Kenegaraan Pasca
Amandemen UUD 1945
Secara umum sistem kenegaraan
mengikuti pola pembagian kekuasaan dalam pemerintahan sebagaimana yang
dikemukakan oleh Montesquieu dengan teorinya yang terkenal yaitu trias
politica. Menurutnya, pada setiap pemerintahan terdapat tiga jenis
kekuasaan yaitu: legislatif, eksekutif dan yudikatif. Ketiga jenis kekuasaan
tersebut terpisah satu sama lainnya, baik mengenai tugas (functie) maupurt
mengenai alat perlengkapan (organ) yang melakukannya. Karenanya, menurut ajaran
teori ini tidak dapat dibenarkan adanya campur tangan antara satu kekuasaan
pada lembaga kenegaraan dengan yang lainnya. Pemisahan kekuasaan artinya
mengandung arti bahwa ketiga kekuasaan tersebut masing-masing harus terpisah baik
lembaga maupun orang yang menanganinya.
Dalam perjalanannya, sistem
ketatanegaraan Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat mendasar
terutama sejak adanya amandemen UUD 1945 yang dilakukan MPR hingga empat kali
perubahan. Perubahan tersebut dilatarbelakangi adanya kehendak untuk membangun
pemerintahan yang demokratis dengan check and balances yang setara dan
seimbang diantara cabang-cabang kekuasaan, mewujudkan supremasi hukum dan
keaditan, serta menjanin dan melindungi hak asasi manusia. Dalam kelembagaan
negara, salah satu tujuan utama amandemen UUD 1945 adalah untuk menata
keseimbangan antar lembaga negara. Pentingnya penataan hubungan antar-lembaga
agar tidak tetjadi pemusatan kekuasaan dan kewenangan pada salah satu
iristitusi negara saja. Karena dengan pemusatan wewenang dan kekuasaan pada
satu institusi, maka kehidupan ketatanegaraan yang demokratik sulit diwujudkan.
Hasil amandemen yang berkaitn derigan
kelembagaan negara dengan jelas dapat dilihat pada perubahan pertama UUD 1945
yang memuat pengendalian kekuasaan presiden, tugas serta wewenang DPR dan
presiden dalam hal pembentukan UU. Perubahan kedua UUD 1945 berfokus pada
penataan ulang keanggotaan, fungsi, hak, maupun cara pengisiannya. Perubahan
ketiga UUD 1945 menitikberatkan pada penataan ulang kedudukan dan kekuasaan
MPR, jabatan presiden yang berkaitan dengan tata cara pemilihan presiden dan
wakil presiden secara langsung, pembentukan lembaga negara baru yang meliputi
Mahkamah Konstitusi (MK), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Komisi Yudisial
(KY) serta aturan tambahan untuk Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sedangkan
perubahan keempat UUD 1945 mencakup materi tentang keanggotaan MPR, pemilihan
presiden dan wakil presiden berhalangan tetap, serta kewenangan presiden.
Sebelum perubahan UUD 1945, alat-alat
kelengkapan negara dalam UUD 1945 adalah: Lembaga Kepresidenan, MPR, DPA, DPR,
BPK dan Kekuasaan Kehakiman Setelah amandemen secara keseluruhan terhadap UUD
1945, alat kelengkapan negara yang disebut dengan lembaga tinggi negara menjadi
delapan lembaga, yakni: MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, MK, KY dan BPK. Posisi
masing-masing lembaga setara yaitu sebagai lembaga tinggi negara yang memiliki
korelasi satu sama lain dalam menjalankan fungsi check and balances antar
lembaga tinggi tersebut.
Reformasi ketatanegaraan di Indonesia
tetkait dengan lembaga kenegaraan sebagai hasil dan proses amandemen UUD 1945
dapat dilihat pada tugas pokok dan fungsi lembaga tersebut yang dikelompokkan
dalam kelembagaan legislatif, eksekutif dan yudikatif sebagaimana dijelaskan di
bawah ini:
- Lembaga Legislatif
Struktur lembaga perwakilan rakyat
secara umum terdiri dari dua model yaitu lembaga perwakilan rakyat satu kamar (unicameral)
dan lembaga perwakilan rakyat dua kamar (bicameral). Struktur
ketatanegalaan model ini merupakan basil proses panjang praktek ketatanegaraan
yang terjadi di berbagai belahan dunia. Dalam ketatanegaraan negara Indonesia,
lembaga legislative direpresentasikan pada 3 (tiga) lembaga, yakni DPR, DPD dan
MPR. Dari ketiga lembaga tersebut posisi MPR merupakan lembaga yang bersifat
khas Indonesia. Menurut Jimly Asshiddiqie keberadaan MPR terkandung nilai-nilai
histonis yang cenderung dilihat secara tidak rasional dalam arti jika kedudukannya
sebagai suatu lembaga dihilangkan dapat dinilai menghilangkan satu pilar penting
dalam sistem ketatanegaraan kita yang justru dianggap perlu dilestarikan. Salah
satu keberatan pihak yang mempertahankan keberadaan MPR ini beragumentasi bahwa
jika MPR ditiadakan atau hanya sekedar dianggap nama dari parlemen dua kamar (bicameral),
maka sila “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyahwaratan” menjadi berubah. Prinsip permusyawaratan tercermin dalam
kelembagaan MPR, sedangkan prinsip perwakilan dianggap tercermin dalam
kelembagaan DPR.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), adalah
lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia yang merupakan
lembaga perwakilan rakyat dan memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang. DPR memiliki
fungsi legislasi anggaran, dan pengawasan. Diantara tugas dan wewenang DPR
antara lain:
a.
Membentuk Undang-Undang yang
dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama
b.
Membahas dan memberikan
persetujuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
c.
Menerima dan membahas usulan
RUU yang diajukan DPD yang berkaitan dengan bidang tertentu dan mengikutsertakannya
dalam pembahasan
d.
Menetapkan APBN bersama
Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD
e.
Melaksanakan pengawasan
terhadap pelaksanaan UU, APBN, serta kebijakan pemerintah
f.
Membahas dan menindak lanjuti
hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh
BPK
g.
Memberikan persetujuan kepada
Presiden untuk menyatakan perang, membuat perdamaian, dan pejanjian dengan negara
lain
h.
Menyerap, menghimpun, menampung
dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat
i.
Dan sebagainya
Dalam menjalankan fungsinya, anggota
DPR memiliki hak interpelasi (yakni hak meminta ketenangan kepada pemerintah
mengenai kebijakan pemerintah yang berdampak kepada kehidupan bermasyarakat dan
bernegara), hak angket (hal melakukan penyelidikan terhadap kebijakan
pemerintah yang diduga bertentangan dengan peratunan perundang.undangan) dan
hak menyatakan pendapat. Di luar institusi anggota DPR juga memiliki hak
mengajukan RUU, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, membela
diri, hak imunitas, serta hak protokoler.
Menunut Undang.Undang Nomor 22 Tahun
2003 tentang susunan dan kedudukan (Susduk) MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, DPR berhak meminta pejabat negara, pejabat
pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan. Jika
permintaan ini tidak dipatuhi, maka dapat dikenakan panggilan paksa (sesuai
dengan peraturan penundang-undangan). Jika panggilan paksa ini tidak dipenuhi
tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama 15 hari (sesuai
dengan peraturan perundang-undangan).
Sedangkan DPD merupakan lembaga baru
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Berdasarkan perubahan ketiga UUD 1945,
gagasan pembentukan DPD dalam rangka restrukturisasi parlemen di Indonesia
menjadi dua kamar telah diadopsi. Dengan demikian, resmilah pengertian dewan
perwakilan di Indonesia mencakup DPR dan DPD, yang kedua-duanya secara
bersama-sama dapat disebut segagai MPR.
Perbedaan keduanya tenletak pada
hakikat kepentingan yang diwakili masing-maing. DPR dimaksudkan untuk mewakili
rakyat, sedangkan DPD dimaksudkan untuk mewakili daerah-daerah. DPD, adalah
lembaga negara datam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia yang merupakan
wakil-wakil daerah propinsi dan dipilih melalui pemilihan umum yang memiliki
fungsi:
a.
Pengajuan usul, ikut dalam
pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi
tertentu
b.
Pengawasan atas pelaksanaan
Undang-Undang tertentu.
- Lembaga Eksekutif
Pemerintahan (government) pada
dasarnya memiliki dua pengertian: a)
Government in broader sense, yaitu pemerintahan yang metiputi
keseluruhan lembaga kenegaraan (legislatif, eksekutif dan yudikatif) dan b). Government
in narrower sense, yaitu pemerintahan yang hanya berkenaan dengan fungsi
eksekutif saja. Dalam hal ini yang akan dibahas adalah makna pemerintahan yang
hanya berkenaan dengan kekuasaan eksekutif. Di negara-negara demokratis lembaga
eksekutif terdiri dari kepala negara seperti raja, perdana mentri atau presiden
beserta menteri-menterinya. Dalam sistem presidensiil (seperti Indonesia) menteri-menteri
merupakan pembantu presiden dan langsung dipimpin olehnya, sedangkan dalam
sistem parlementer para menteri dipimpin oleh seorang perdana menteri.
Kekuasaan eksekutif, dimaknai sebagai
kekuasaan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kemauan negara dan pelaksanaan
UU. Dalam negara demokratis, kemauan negara dinyatakan melalui undang-undang.
Maka tugas utama lembaga eksekutif adalah menjalankan undang-undang. Menurut CF
Strong, kekuasaan eksekutif mencakup beberapa bidang:
a.
Diplomatik: yakni
menyelengganakan hubungan diplomatik dengan negana-negara lain
b.
Administratif: yakni
melaksanakan undang-undang serta peraturan-peraturan lain dan menyelenggarakan
administrasi negara
c.
Militer: yakni mengatur
angkatan bersenjata, menyelenggarakan perang serta keamanan dan pertahanan
negara
d.
Yudikatif: yakni memberi grasi,
amnesti dan sebagainya
e.
Legislatif: yakni membuat
rancangan undang-undang yang diajukan ke lembaga legislatif, dan membuat
peraturan-peraturan.
Dalam ketatanegaraan di Indonesia,
sebagaimana pada UUD 1945 bahwa kekuasaan eksekutif dilakukan oleh presiden
yang dibantu oleh wakil presiden yang dalam menjalankan kewajiban negara,
seperti yang tercantum dalam pasal 1, presiden dibantu oleh menteri-menteri
negara. Menurut Perubahan Ketiga UUD 1945 Pasal 6A, Presiden dan Wakil Presiden
dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Sedangkan sebelum
amandemen UUD 1945, Presiden (dan Wakil Presiden) dipilih oleh MPR. Dengan
adanya Perubahan (Amandemen) UUD 1945, Presiden tidak lagi bertanggungjawab
kepada MPR, dan kedudukan antara Presiden dan MPR adalah setara. Sebagai kepala
negara, Presiden adalah simbol resmi negara Indonesia di dunia. Sebagai kepala
pemerintahan, Presiden dibantu oleh menteri-menteri dalam kabinet, memegang
kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan sehari-harii.
Wewenang, Kewajiban, dan hak Presiden antara lain:
a.
Memegang kekuasaan pemerintahan
menurut UUD
b.
Memegang kekuasaan yang
tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara
c.
Mengajukan Rancangan
Undang-Undang kepada DPR. Presiden melakukan pembahasan dan pemberian
persetujuan atas RUU bersama DPR serta mengesahkan RUU menjadi UU.
d.
Menetapkan Peraturan Pemerintah
e.
Mengangkat dan memberhentikan
menteri-menteri
f.
Membuat perjanjian internaional
lainnya dengan persetujuan DPR
g.
Mengangkat duta dan konsul
serta menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan
DPR.
h.
Memberi grasi, rehabilitasi,
amnesti dan abolisi.
i.
Memberi gelar, tanda jasa, dan
tanda kehormatan lainnya yang diatur dengan UU
- LembagaYudikatif
Sesuai dengan prinsip pemisahan
kekuasaan, maka fungsi-fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif dikembangkan
sebagai cabang-cabang kekusaaan yang terpisah satu sama lain. Jika kekuasaan legislative
berpuncak apda MPR yang terdiri dari dua kamar, yakni DPR dan DPD, maka cabang
kekuasaan yudikatif berpuncak pada kekuasaan
kehakiman yang juga dipahami mempunyai dua pintu, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Kekuasaan Kehakiman, dalam konteks negara Repuplik Indonesia, adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
kehakiman yang juga dipahami mempunyai dua pintu, yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Kekuasaan Kehakiman, dalam konteks negara Repuplik Indonesia, adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945
telah membawa perubahan kehidupan ketatanegaraan dalam pelaksanaan kekuasaan
kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman
dilaksanakan oleh:
a.
Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata
usaha negara.
b.
Mahkamah Konstitusi
Disamping perubahan mengenai
penyelenggaraan kckuasaan kehakiman, UUD 1945 yang telah diamandemen juga
mengintroduksi suatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial. Komisi Yudisial bersifat mandiri
yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta
perilaku hakim.
Perubahan UUD 1945 yang membawa
perubahan mendasar mengenai penyelengaraan kekuasaan kehakiman, mendorong
perlunya dilakukan perubahan secara kómprehensif mengenai Undang-Undang yang
berkaitan dengan Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan.
Kehakiman. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan.
Mahkamah Agung adalah salah satu
kekuasaan kehakiman di Indonesia. Sesuai dengan UUD 1945 (Perubahan Ketiga),
kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi. Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan Wewenang MA adalah:
Mahkamah Konstitusi. Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan Wewenang MA adalah:
a.
Berwenang mengadili pada
tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-Undang, dan mempunyai
wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang
perundang-undangan di bawah Undang-Undang, dan mempunyai
wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang
b.
Mengajukan 3 orang anggota
Hakim Konstitusi
c.
Memberikan pertimbangan dalam
hal Presiden memberi grasi dan
rehabilitasi
rehabilitasi
Sedangkan Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga baru yang
diperkenalkan oleh perubahan ketiga UUD 1945. Salah satu landasan yang
melahirkan lembaga ini karena sudah tidak ada lagi lembaga tertinggi negara.
Maka itu bila terjadi persengketaan antara lembaga tinggi negara, diperlukan
sebuah lembaga khusus yang menangani sengketa tersebut yang disebut Mahkamah
Konstitusi. Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan Wewenang Mahkamah
Konstitusi adalah :
a.
Berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
Undang-Undang terhadap Undang-undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai
politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum
b.
Memberi putusan atas pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden menurut UUD 1945.
Sedangkan Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang bersifat
mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau
pengaruh kekuasan lainnya. Dibentuknya Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan
kehakiman Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga
parlemen dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja dan
kemungkinan pemberhentian hakim. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam rangka mewujudkan
kebenaran dan keadilan berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu
diperlukan suatu institusi pengawasan yang independen terhadap para hakim itu
sendiri. Institusi pengawasan yang dibentuk di luar struktur Mahkamah Agung,
memberikan ruang penyerapan aspirasi masyarakat di luar struktur resmi untuk
dapat terlibat dalam proses pengangkatan para Hakim Agung serta dalam proses
penilaian terhadap etika kerja dan kemungkinan pemberhentian para hakim karena
pelanggaran terhadap etika.
Dalam menjalankan tugasnya, Komisi Yudisial melakukan pengawasan
terhadap:
a.
Hakim Agung di Mahkamah Agung
b.
Hakim pada badan peradilan di
semua lingkungan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung seperti Peradilan
Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan badan peradilan lainnya
c.
Hakim Mahkamah Konstitusi
4. Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK)
Sesuai fungsinya sebagai lembaga pemeriksa keuangan, BPK pada
pokoknya lebih dekat menjalankan fungsi parlemen. Karena itu, hubungan kerja
BPK dan parlemen sangat erat. Bahkan BPK dapat dikatakan mitra kerja yang erat
bagi DPR terutama dalam mengawasi kinerja pemerintahan, yang berkenaan dengan
soal-soal keuangan dan
kekayaan negara. BPK adalah lembaga negara Indonesia yang memiliki wewenang memenksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Menurut UUD 1945, BPK merupakan lembaga yang bebas dan mandiri. BPK memiliki tugas dan wewenang yang sangat strategis karena
menyangkut aspek yang berkaitan dengan sumber dan pengunaan anggaran serta keuangan Negara, yaitu:
kekayaan negara. BPK adalah lembaga negara Indonesia yang memiliki wewenang memenksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Menurut UUD 1945, BPK merupakan lembaga yang bebas dan mandiri. BPK memiliki tugas dan wewenang yang sangat strategis karena
menyangkut aspek yang berkaitan dengan sumber dan pengunaan anggaran serta keuangan Negara, yaitu:
a.
Memeriksa tanggung jawab
keuangan Negara dan memberitahukan hasil pemeriksaan kepada DPR, DPRD dan DPD
b.
Memeriksa semua pelaksanaan APBN,
dan
c.
Memeriksa tanggungjawab
pemerintah tentang keuangan negara
Dari tugas dan wewenang tersebut di atas, Moh. Kusnardi menyimpulkan
bahwa fungsi pokok BPK yakni:
a.
Fungsi operatif, yaitu
melakukan pemeriksaan, pengawasan dan
penelitian atas penguasaan dan pengurusan keuangan negara
penelitian atas penguasaan dan pengurusan keuangan negara
b.
Fungsi yudikatif yaitu melakukan
tuntutan perbendaharaan dan tuntutan ganti rugi terhadap pegawai negeri yang
perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajibannya, serta menimbulkan
kerugian bagi negara
c.
Fungsi rekomendatif, yaitu
memberikan pertimbangan kepada
pemerintah tentang pengurusan keuangan negara
pemerintah tentang pengurusan keuangan negara
Reformasi kelembagaan negara yang terjadi di Indonesia tentunya
bertujuan untuk mengembalikan kedaulatan di tangan rakyat. Kedaulatan ditangan
rakyat tidak hanya diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, juga
tercermin dalam struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan yang
menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem penyelenggaraan pemerintahan
yang demokratis. Adanya pemisahan kekuasaan dan kewenangan antar lembaga negara
diharapkan agar teciptanya check and balances. Selain itu tidak adanya
pemusatan kekuasaan pada tembaga tertentu yang sangat rentan diselewengkan oleh
para penyelenggara negara. Dalam kondisi demikian, otoriterian dalam penyelenggaraan
negara dan pemerintahan dapat terhindari. Target akhir dari adanya reformasi
kelembagaan negara adalah dapat membawa kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.
I.
Tata Urutan Perundang-Undangan Indonesia Kerangka Implementasi
Konstitusi/Undang-Undang Dasar
Konstitusi/Undang-Undang Dasar
Sebagaimana dalam penjelasan konstitusi atau UUD 1945 bahwa
Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechsstaat), tidak
berdasar atas kekuasan belaka (machtsstaat). Dalam kepustakaan ilmu hukum
di Indonesia, istilah negara hukum merupakan terjemahan dari rechsstaat dan
tire rule of law. Konsep rechsstaat mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut: 1. adanya perlindungan terhadap HAM; 2. adanya pemisahan dan pembagian
kekuasaan pada Lembaga negara untuk menjamin perlindungan HAM; 3. pemerintahan
berdasarkan peraturan; 4. adanya peradilan administras. Dalam kaitan dengan
negara hukum tensebut, tertib hukum yang berbentuk adanya tata urutan perundang-undangan
menjadi suatu keniscayaan atau kemestiaan dalam penyelenggaraan negara atau
pemerintahan.
Tata urutan perundang-undangan dalam kaitan dengan implementasi
konstitusi negara Indonesia adalah merupakan bentuk tingkatan
perundang-undangan. Sejak 1966 telah dilakukan perubahan atas hierarki (tata
urutan) peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tata urutan (hierarki)
perundang-undangan perlu diatur untuk menciptakan keteraturan hukum dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Di awal tahun 1966, melalui Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/ 1966 Lampiran 2, disebutkan bahwa hierarki peraturan perundang-undangan
Indonesia adalah sebagai berikut :
1.
Undang-undang Dasar 1945
2.
Ketetapan MPR
3.
Undang-undang atau Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang
4.
Peraturan Pemerintah
5.
Keputusan Presiden
6.
Peraturan-peraturan
pelaksananya, seperti:
a.
Peraturan Menteri
b.
Instruksi Menteri
c.
Dan lain-lainnya
Selanjutnya berdasarkan Ketetapan MPR No. III Tahun 2000, tata
urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut
:
1.
Undang-undang Dasar 1945
2.
Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat
3.
Undang-undang
4.
Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang
5.
Peraturan Pemerintah
6.
Keputusan Presiden
7.
Peraturan Daerah
Penyempurnaan terhadap tata urutan perundang-undangan Indonesia terjadi
kembali pada tanggal 24 Mei 2004 ketika DPR menyetujui RUU Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (PPP) menjadi undang-undang. Dalam UU No. 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP), yang berlaku secara
efektif pada bulan November 2004. Keberadaan undang-undang ini sekaligus menggantikan
pengaturan tentang tata urutan peraturan perundang-undangan yang ada dalam
Ketetapan MPR No. III Tahun 2000 sebagaimana tercantum diatas. Tata urutan
peraturan perundang-undangan dalam UU PPP ini sebagaimana diatur dalam Pasal 7
adalah sebagai berikut:
1.
Undang-undang Dasar 1945
2.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang
3.
Peraturan Pemerintah
4.
Peraturan Presiden
5.
Peraturan Daerah, yang
meliputi:
a.
Peraturan Daerah Provinsi
b.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
c.
Peraturan Desa
Dengan dibentuknya tata urutan perundang-undangan, maka segala
peraturan dalam hierarki perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan
di atasnya, tidak bisa dilaksanakan dan batal demi hukum. Sebagai contoh
peraturan pemerintah daerah yang bertentangan dengan peraturan presiden atau
peraturan pemerintah bahkan dengan undang-undang, secara otomatis tidak bisa
dilaksanakan, begitujuga peraturan presiden dengan sendirinya tidak dapat dilaksanakan
bila bertentangan dengan Undang-Undang, apalagi bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar 1945.
SUMBER
RUJUKAN
Asshiddiqy, Jimly, Prof. Dr. SH., 2005, Format Kelembagaan Negara
dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945, Yogyakarta: UN Press,
Cet kedua.
Cet kedua.
Attamimi, A. Hamid S., 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia dalam Penyelenggarann Pemerintahan Negara, Disertasi
UI, Jakarta.
Indonesia dalam Penyelenggarann Pemerintahan Negara, Disertasi
UI, Jakarta.
Budiardjo, Miriam, 2006, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia
Pustaka
Utama, Jakarta, 2006, cet. XXVIII
Utama, Jakarta, 2006, cet. XXVIII
Busrob, Abu Daud, 2006, lImu Negara, Jakarta: Bumi Aksara,
Cetakan
keempat
keempat
Juliantara, Dadang, 2002, Negara Demokrasi untuk Indonesia, Solo
Pondok Edukasi.
Pondok Edukasi.
Mahfudz MD, Mohammad., 2000, Demokrasi dan Konstitusi di
Indonesia,
Jakarta: PT Rineka Cipta, Cetakan kedua.
Jakarta: PT Rineka Cipta, Cetakan kedua.
Malian, Sobirin, 2001, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti
UUD
1945, Yogyakarta: Ull Press, Cetakan pertama.
1945, Yogyakarta: Ull Press, Cetakan pertama.
Manan, Bagir,. Prof. Dr., 2005, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945
Baru,
Yogyakarta: FH Ull Press, Mei, Cetakan ketiga
Yogyakarta: FH Ull Press, Mei, Cetakan ketiga
Nasution, Adnan Buyung, 1995. Aspirasi Pemerinalian
Konstitusional di
Indonesia, penerjemah Sylvia Tiwon, Jakarta : Grafiti.
Indonesia, penerjemah Sylvia Tiwon, Jakarta : Grafiti.
Sekretariat Jenderal MPR RI, 2005, UUD Negara Republik Indonesia
1945,
Jakarta.
Jakarta.
Strong, C.F., 2004, Konstitusi-Konstiusi Politik Modern: Studi
Perbandingan
tentang Sejarah dun Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia, Nusa Media,
Cetakan pertama
tentang Sejarah dun Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia, Nusa Media,
Cetakan pertama
Thaib, Dalilan, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, 2005, Teori dan
Hukum Konstitusi, Rajawali Press, Cetakan kelima. V
Tutik, Titik Triwulan, S.H., M.H., 2006, Pokok-Pokok Hukum Tata
Negara, Prestasi Pustaka, Cetakan pertama.
0 Response to "Konstitusi Dan Tata Perundang-Undangan Dalam Kehidupan Kenegaraan (Contoh Makalah)"
Posting Komentar