Sejarah Kerajaan Islam Aceh
KERAJAAN ISLAM ACEH
a.
Letak Kerajaan
Kerajaan Aceh berkembang sebagai kerajaan Islam dan
mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Perkembangan
pesat yang dicapai Kerajaan Aceh tidak lepas dari letak kerajaannya yang
strategis, yaitu di Pulau Sumatera bagian utara dan dekat dengan jaur pelayaran
perdagangan internasional pada masa itu. ramainya aktivitas pelayaran
perdagangan melalui banda-bandar perdagangan Kerajaan Aceh, mempengaruhi
perkembangan kehidupan Kerajaan Aceh dalam segala bidang, seperti aspek
kehidupan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Kerajaan Aceh dirintis oleh Mudzaffar Syah pada abad
ke-15. Pusat kerajaan dibangun di atas puing-puing Kerajaan Lamuri, sebelah
barat laut Samudra Pasai. Status kerajaan penuh diraih semasa pemerintahan Ali
Mughayat Syah sebagai hasil penyatuan dua kerajaan, yakni Lamuri dan Dar
al-Kalam.
Kerajaan Aceh berkembang sebagai kerajaan Islam dan
mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Perkembangan
pesat Kerajaan Aceh tidak terlepas dari letak Kerajaan Aceh yang strategis,
yaitu di pulau Sumatera bagian utara dan dekat jalur pelayar dan perdagangan
internasional pada saat itu. ramainya aktivitas pelayaran dan perdagangan
melalui bandar perdagangan Kerajaan Aceh mempengaruhi perkembangan kehidupan Kerajaan
Aceh dalam segala bidang, seperti di bidang politik, sosial, ekonomi, dan
kebudayaan.
b.
Kehidupan Politik
Mengenai kapan berdirinya Kerajaan Aceh, tidak dapat
diketahui dengan pasti. Berdasarkan Bustanussalatin (1637 M) karangan Nuruddin
Ar-Raniri yang berisi silsilah sultan-sultan Aceh, dan berdasarkan berita
orang-orang Eropa, diketahui bahwa Kerajaan Aceh telah berhasil membebaskan
diri dari kekuasaan Kerajaan Pedir. Raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan
Aceh adalah :
Kerajaan Aceh yang terletak di ujung barat Pulau
Sumatera pernah diperintah oleh raja-raja berikut ini.
1.
Sultan Ali Mughayat Syah
Ali Mughayat Syah adalah raja pertama
Kerajaan Aceh. Ia memerintah dari tahun 1514-1528. di bawah kekuasaannya,
Kerajaan Aceh melakukan perluasan ke beberapa daerah yang berada di wilayah
Sumatera Utara, seperti daerah Daya dan Pasai. Bahkan ia mengadakan serangan
terhadap kedudukan Portugis di Malaka serta menyerang Kerajaan Aru.
2.
Sultan Salahuddin
Setelah Sultan Ali Mughayat Syah
meninggal, pemerintahan dilanjutkan oleh putranya yang bernama Sultan
Salahuddin. Ia memerintah dari tahun 1528-1537. Selama berkuasa, Sultan
Salahuddin kurang memperhatikan kerajaannya. Akibatnya, kerajaan mulai goyah
dan mengalami kemunduran. Oleh sebab itu, pada tahun 1537 Sultan Salahuddin
digantikan oleh saudaranya yang bernama Sultan Alauddin Riayat Syah.
3.
Sultan Alauddin Riayat Syah
Sultan Alauddin Riayat Syah
memerintah Aceh sejak tahun 1537-1568. Di bawah pemerintahannya, Aceh
berkembang menjadi bandar utama di Asia bagi
pedagang muslim mancanegara. Sejak Malaka direbut Portugis, mereka menghindari
Selat Malaka dan beralih menyusuri pesisir barat Sumatera, ke Selat Sunda, lalu
terus ke timur Indonesia atau langsung ke Cina.
Kedudukan strategis Aceh
menjadikannya sebagai bandar transit lada dari Sumatera dan rempah-rempah dari
Maluku. Kedudukan itu diraih bukan tanpa hambatan, sebab Aceh harus menghadapi
rongrongan Portugis. Guna memenangkan persaingan, Aceh membangun angkatan laut
yang kuat. Kerajaan itu pun membina hubungan diplomatik dengan Turki Ottoman
yang dianggap pemegang kedaulatan Islam tertiggi waktu itu.
4.
Sultan Iskandar Muda
Sultan Iskandar Muda memerintah Aceh
dari tahun 1607-1636 M. Di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Kerajaan
Aceh mengalami kejayaannya. Kerajaan Aceh tumbuh menjadi kerajaan besar dan
berkuasa atas perdagangan Islam, bahkan menjadi bandar transito yang dapat menghubungkan
dengan pedagang Islam di dunia Barat.
Untuk mencapai kebesaran Kerajaan
Aceh, Sultan Iskandar Muda meneruskan perjuangan Aceh dengan menyerang Portugis
dan Kerajaan Johor di Semenanjung Malaya .
Tujuannya adalah menguasai jalur perdagangan di Selat Malaka dan menguasai
daerah-daerah penghasil lada. Sultan Iskandar Muda juga menolak permintaah
Inggris dan Belanda untuk membeli lada di pesisir Sumatera bagian barat.
Disamping itu, Kerajaan Aceh melakukan pendudukan terhadap daerah-daerah
seperti Aru, Pahang, Kedah, Perlak, dan Indragiri, sehingga di bawah
pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh memiliki wilayah kekuasaan
yang sangat luas.
Pada masa kekuasaannya terdapat dua
orang ahli tasawwuf yang terkenal di Aceh, yaitu Syech Syamsuddin bin Abdullah
as-Samatrani dan Syech Ibrahim as-syamsi. Setelah Sultan Iskandar Muda wafat,
tahta Kerajaan Aceh digantikan oleh menantunya yang bergelar Sultan Iskandar
Thani.
Pemerintahan Sultan Iskandar Muda
menandai puncak kejayaan Kerajaan Aceh. Ia naik takhta pada awal abad ke-17
menggantikan Sultan Alauddin Riayat Syah. Untuk memperkuat kedudukan Aceh
sebagai pusat perdagangan, ia memelopori sejumlah tindakan sebagai berikut :
Ø Sultan Iskandar Muda merebut sejumlah pelabuhan penting di pesisir
barat dan timur Sumatera, serta pesisir barat Semenanjung Malaya. Misalnya,
Aceh sempat menaklukkan Johor dan Pahang.
Ø Sultan Iskandar Muda menyerang kedudukan portugis di Malaka dan
kapal-kapalnya yang melalui Selat Malaka. Aceh sempat memenangkan perang
melawan armada Portugis di sekitar Pulau Bintan pada tahun 1614.
Ø Sultan Iskandar Muda bekerja sama dengan Inggris dan Belanda untuk
memperlemah pengaruh Portugis. Iskandar Muda mengizinkan persekutuan dagang
kedua negara itu untuk membuka kantornya di Aceh.
5.
Sultan Iskandar Thani
Berbeda dengan pendahulunya, Sultan
Iskandar Thani lebih memperhatikan pembangunan dalam negeri dari pada politik
ekspansi. Oleh sebab itu, meskipun hanya memerintah selama empat tahun, Aceh
mengalami suasana damai. Hukum yang berdasarkan syariat Islam ditegakkan,
bukannya kekuasaan sewenang-wenang. Hubungan dengan wilayah takhlukan dijalin
dalam suasana liberal, bukan melalui tekanan politik atau militer.
Masa pemerintahan Sultan Iskandar
Thani juga ditandai oleh perhatian terhadap studi agama Islam. Berkembangnya
studi agama Islam turut didukung oleh kehadiran Nurduddin ar-Raniri, seorang
ulama besar dari Gujarat yang menulis kitab
sejarah Aceh yang berjudul Bustanu’s Salatin. Sepeninggal Iskandar Thani, Aceh
mengalami kemunduran. Aceh tidak mampu berbuat banyak saat sejumlah wilayah
taklukan melepaskan diri. Kerajaan itupun tidak mampu lagi berperan sebagai
pusat perdagangan. Meskipun demikian, Kerajaan Aceh tetap berlanjut sampai
memasuki abad ke-20.
Setelah ia wafat, tahta kerajaan
dipegang oleh permaisurinya (putri Iskandar Muda) dengan gelar Putri Sri Alam
Permaisuri (1641-1675 M).
c.
Penyebab Kemunduran Kerajaan Aceh
Ø Setelah Iskandar Muda wafat tahun 1636, tidak ada raja-raja besar
yang mampu mengendalikan daerah Aceh yang demikian luas. Di bawa Sultan
Iskandar Thani (1637-1641), sebagai pengganti Sultan Iskandar Muda, kemunduran
itu mulai terasa dan terlebih lagi setelah meninggalnya Sultan Iskandar Thani.
Ø Timbul pertikaian yang terus-menerus di Aceh antara golongan
bangsawan (teuku) dengan golongan ulama (teungku) mengakibatkan melemahnya
Kerajaan Aceh. Antara golongan ulama sendiri pertikaian karena perbedaan aliran
dalam agama (aliran Syi’ah dan Sunnah wal Jama’ah).
Ø Daerah-daerah kekuasaannya banyak yang melepaskan diri, seperti
Johor, Pahang, Perlak, Minangkabau, dan Siak. Negara-negara itu menjadikan
daerahnya sebagai negara merdeka kembali, kadang-kadang dibantu oleh bangsa
asing yang menginginkan keuntungan perdagangan yang lebih besar.
Kerajaan Aceh yang berkuasa +
empat abad, akhirnya runtuh karena dikuasai oleh Belanda pada awal abad ke-20.
d.
Kehidupan Ekonomi
Karena letaknya di jalur lalu lintas
pelayaran dan perdagangan. Selat Malaka, Kerajaan Aceh menitikberatkan
perekonomiannya pada bidang perdagangan. Di bawah pemerintahan Sultan Alaudin
Riayat Syah, Aceh berkembang menjadi bandar utama di Asia
bagi para pedagang mancanegara. Bukan hanya bangsa Inggris dan Belanda yang
berdagang di pelabuhan Aceh, melainkan juga bangsa asing lain seperti Arab , Persia ,
Turki , India ,
Siam ,
Cina dan Jepang.
Barang yang diperdagangkan dari Aceh,
antara lain lada, beras, timah, emas, perak dan rempah-rempah (dari Maluku).
Barang yang berasal dari mancanegara (impor), antara lain dari Koromandel (India ),
porselin dan sutra (dari Jepang dan Cina), dan minyak wangi (dari Eropa dan
Timur Tengah). Selain itu, kapal perdagangan Aceh aktif dalam melakukan
perdagangan sampai ke Laut Merah.
e.
Kehidupan Sosial
Struktur sosial masyarakat Aceh terdiri dari empat
golongan, yaitu golongan teuku (kaum bangsawan yang memegang kekuasaan
pemerintahan sipil), golongan teungku (kaum ulama yang memegang peranan penting
dalam keagamaan), hulubalang atau ulebalang (para prajurit), dan rakyat biasa.
Antara golongan teuku dan teungku sering terjadi persaingan yang kemudian
melemahkan Aceh.
Sejak Kerajaan Perlak berkuasa (abad ke-12 sampai dengan
abad ke-13) telah terjadi pemusuhan antara aliran syiah dan ahlusunah wal
jamaah. Namun pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, aliran syiah
mendapat perlindungan dan berkembang ke daerah kekuasaan Aceh. Aliran itu
diajarkan oleh Hamzah Fansuri dan dilanjutkan oleh muridnya yang bernama
Syamsuddin Pasai. Setelah Sultan Iskandar Muda wafat, aliran ahlusunnah wal
jamaah berkembang dengan pesat di Aceh.
f.
Kehidupan Budaya
Kehidupan budaya di Kerajaan Aceh tidak banyak diketahui
karena Kerajaan Aceh tidak banyak meninggalkan benda hasil budaya. Perkembangan
kebudayaan di Aceh tidak sepesat perkembangan perekonomian. Peninggalan
kebudayaan yang terlihat nyata adalah bangunan Masjid Baiturrahman dan buku
Bustanu’s Salatin yang ditulis oleh Nuruddin as-Raniri yang berisi tentang
sejarah raja-raja Aceh.
0 Response to "Sejarah Kerajaan Islam Aceh "
Posting Komentar