Resensi Novel Pelangi Di Atas Gelagahwangi Karangan S. Tidjab
Judul Buku : Pelangi Di Atas Gelagahwangi
Pengarang : S. Tidjab
Penerbit : Qanita
Tahun Terbit : 2008
Tebal Buku : 704 Halaman
Mungkin anda pernah mendengar sandiwara di radio. Kalau iya, tentu
anda sudah familiar dengan judul-judul seperti Tutur Tinular, Kaca Bengala, dan
Mahkota Mayangkara. Sandiwara-sandiwara tersebut berlatar sejarah
kerajaan-kerajaan di tanah Jawa, terutama Majapahit. Saking digemarinya,
sandiwara-sandiwara tersebut di angkat ke layar kaca. Kini, S. Tidjab, penulis
skenario yang berada di balik kesuksesannya, menuangkan salah satu sandiwara
tersebut ke dalam bentuk novel, yakni Pelangi di Atas Gelagahwangi.
Novel ini berkisah tentang masuknya Islam ke Tanah Jawa, tepatnya di
akhir kejayaan Kerajaan Majapahit. Bermula dari sang putra mahkota yang akan
menjadi pewaris tahta Majapahit Raden Patah masuk Islam di bawah bimbingan
Sunan Ngampel, Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Meski Islam sudah ada di Jawa
sekal adab 13, namun perkembangannya masih lambat, oleh karena itu, Sunan
Ngampel bersama para ulama dan santrinya bekerja keras dan menyebar luaskannya.
Mulanya, perkembangan Islam tersebut berpusat di tempat tinggal
Sunan Ngampel, yakni di Ngampel Denta. Kemudian di perluas dengan membangun
perkampungan Islam di Alas Gelagahwangi. Perkampungan Islam itu maju pesat.
Setiap hari, semakin banyak pengikutnya. Akibatnya, Prabu Brawijaya yang
memimpin Majapahit kurang senang. Tidak saja karena agama Shiwa menjadi
terancam, namun juga kerajaan Majapahit. “Jika Gelagahwangi semakin berkembang
pesat, akhirnya bisa menjadi negara di dalam negara.” (hal. 494)
Sebenarnya Prabu Brawijaya tidak keberatan rakyatnya mempunyai keyakinan
selain Shiwa, namun yang dikhawatirkan adalah pengaruh Gelagahwangi yang dapat
mengalahkan wibawa Majapahit. Kondisi tersebut memicu terjadinya konflik.
Akhirnya terjadi perang saudara yang mengakibatkan Istana Majapahit terbakar.
Seperti biasa, dalam kisah ini juga ada tokoh-tokoh persilatan yang
menguasai ilmu kanuragan. Bila mendengar sandiwaranya di radio, kita akan
mendengar suara denting pedang, derap kaki kuda, serta teriakan-teriakan,
“Hiiat! Ciaat!” suara orang bertempur. Ya, dalam kisah ini ada tokoh Mpu
Janardana yang setelah masuk Islam berganti nama menjadi Abdul Rochim.
Dia menguasai ilmu Pengracut Sukma. Selain itu ada kakak beradik
Endang Kusumadewi dan Endang Puspitasari yang menguasai ilmu Rikma Sidi atau
Rembulan Dingin. Dalam pertempuran antara Gelagahwangi dan Majapahit, kedua
bersaudara ini berhadap-hadapan. Kemudian ada tokoh Pangeran Bondan Kejawen
yang bertentangan dengan Raden Patah. Ada
pula Woro Kembangsore, seorang gadis yang menunggu cinta sampai mati hingga
arwahnya menjelma rusa betina bermata sendu.
Mengikuti lika-liku kisah ini tidak hanya membawa kita pada sejarah
silam Tanah Jawa dengan perkembangan Islam yang menggunakan cara asimilisasi,
tetapi juga dapat menyimak drama hidup anak manusia yang diwarnai cinta,
persahabatan, kedengkian, ambisi, dan kegagalan.
Kelebihan : Ceritanya sangat unik untuk dibaca.
Tema : Kegigihan dalam mengembangkan
Islam di Tanah Jawa.
0 Response to "Resensi Novel Pelangi Di Atas Gelagahwangi Karangan S. Tidjab"
Posting Komentar