Permasalahan Pokok Pendidikan Di Indonesia
1.
Masalah Pemerataan Pendidikan
Diharapkan (ideal): “pendidikan nasional dapat
menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara Indonesia
untuk memperoleh pendidikan”.
Kenyataan (realita): “masih banyak warga negara
khususnya warga usia sekolah tidak tertampung di lembaga pendidikan (Sekolah)
yang “ada” (Sumber statistik pendidikan daerah atau nasional).
Permasalahannya ialah bagaimana sistim pendidikan di kelola
sehingga dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga
negara memperoleh pendidikan.
Dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya itu
diharapkan pendidikan akan semakin merata, karena merata dalam arti yang
sesungguhnya tidak mungkin dicapai. Hal ini antara lain disebabkan peraturan
perundang-undangan tentang wajib belajar (wajar) tidak diikuti dengan sangsi
bagi yang tidak mengikutinya, karena sistem pendidikan itu sendiri belum
memungkinkan untuk itu.
2.
Masalah Mutu Pendidikan
Mutu pendidikan umumnya dilihat dari hasil (output)
pendidikan itu sendiri. Kriteria untuk hasil ini adalah kadar ketercapaian
tujuan pendidikan itu sendiri. Kadar ketercapaian tujuan ini mulai dapat
dilihat dari hiararki tujuan terkecil yaitu tujuan pembelajaran khusus (TPK)
indikator pencapaian hasil belajar kualitas ketercapaian TPK indikator
selanjutnya dapat menggambarkan ketercapaian tujuan pembelajaran umum (TPU)
Kompetensi Dasar. Demikian secara hirarki, sehingga dapat diketahui pula
tujuan-tujuan yang lebih jauh/tinggi yaitu tujuan kurikuler (tujuan mata
pelajaran/ kuliah), tujuan institusional (lembaga pendidikan) dan tujuan
nasional pendidikan. Tujuan-tujuan ini dibuat/diterapkan sebelum proses
pendidikan dimulai.
Kadar ketercapaian tujuan tersebut tergantung pada
unit/lembaga yang menyelenggarakan pendidikan tersebut. Unit terkecil yang akan
menentukan tersebut ialah guru mata pelajaran (dosen mata kuliah) yang
bersangkutan.
Memang kadar ketercapaian tujuan sukar diterapkan secara
eksak (pasti), karena alat ukur keberhasilan seseorang anak di sekolah belum
ada yang baku
(standar). Adakalanya sistem penilaian yang ada yang menggunakan panduan acuan
normal (PAN) dan acuan patokan (PAP). Rambu-rambu kadar keberhasilan
(ketercapaian tujuan) secara umum dapat ditetapkan (ideal) seperti kadar
pencapaian tujuan minimal 75% (menurut kurikulum sekolah), indek prestasi (IP)
minimal 2,00 untuk program S1 di Perguruan Tinggi. Walaupun kadar minimal sudah
ditetapkan, tetapi pada akhirnya yang memutuskan nilai / kadar tersebut adalah
sipenilai (evaluator) sendiri.
Keadaan seperti ini, menyebabkan kita mengalami
kesukaran untuk menetapkan kadar mutu yang sesungguhnya (realita). Oleh sebab
itu permasalahan mutu pendidikan sukar diketahui dalam arti yang sesungguhnya.
Apalagi bila si penentu (evaluator) dilakukan oleh orang yang berbeda dengan
kriteria yang berbeda pula maka gambar permasalahan mutu ini sesuatu yang
misteri. Nilai 8 (pencapaian 80%) pada suatu sekolah tidak akan sama kadarnya
dengan nilai 8 pada sekolah lain. Akan sama halnya antara rayon pada EBTADA /
UADA atau EBTANAS / UAN. Dengan demikian bisa terjadi bahwa disuatu mutu
pendidikan tidak dipandang sebagai masalah karena antara mutu yang real dengan
yang ideal dapat diatur. Sementara secara nasional (menggunakan EBTANAS/UAN)
ternyata bermasalah. Tetapi apakah EBTANAS sudah memberikan gambaran kualitas
yang sesungguhnya.
Walaupun demikian kompleksnya permasalahan ini, secara
umum dapat kita katakan bahwa dilihat dari EBTANAS/UAN mutu pendidikan suatu
daerah dapat dikatakan bermasalah, sementara daerah lain tidak. Pencapaian yang
sama dengan kadar perolehan yang minimal apalagi diatasnya (100%) maka mutu
tidak masalah dan sebaliknya.
3.
Permasalahan Efisiensi dan Efektivitas Pendidikan
a.
Efisiensi
Pendidikan dikatakan efisiensi (ideal) ialah bila
penyelenggaraan pendidikan tersebut hemat waktu, tenaga dan biaya tetapi
produktivitas (hasil) optimal. Pendidikan dikatakan efisiensi bila
pendayagunaan sumberdaya yang ada (waktu, tenaga, biaya) tepat sasaran. Kadar
efisiensi itu tentu tergantung pada pemberdayaan sumberdaya tersebut. Bila yang
terjadi misalnya tidak hemat (boros) waktu, biaya dan tenaga tidak berfungsi
secara optimal maka kadar efisiensi rendah (tidak / kurang efisien).
Bagaimana kadar efisiensi itu dilapangan (realita)?. Hal
ini ditentukan oleh keadaan pendayagunaan ketika kriteria seperti disebutkan
terdahulu. Bila penyelenggaraan pendidikan tidak/kurang memfungsikan tenaga
yang ada, sementara waktu kurang dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga banyak
yang terbuang sia-sia, apalagi biaya yang dikeluarkan banyak maka kadar
efisiensi rendah (kurang efisien).
Analisis seperti ini dapat diarahkan pada unsur-unsur
terkecil dari ketiga kriteria tersebut. Misalnya apakah waktu digunakan sesuai
jadual/rencana, apakah guru mengajar atau dosen memberi kualiah minimal sama
dengan jam wajib mengajar setara dengan pegawai negeri (37 jam / minggu).
Demikian pula analisis dapat dilakukan dari unsur-unsur makro sehingga dapat
diketahui efisiensi secara nasional.
b.
Efektivitas
Pendidikan dikatakan efektif (ideal) adalah bila hasil
yang dicapai sesuai dengan rencana/program dibuat sebelumnya (tepat guna). Bila
rencana mengajar (persiapan mengajar) yang dibuat oleh guru atau silabus/ SAP
yang dibuat oleh dosen sebelum mengajar / memberi kuliah terlaksana secara utuh
dengan sempurna, maka pelaksanaan perkuliahan tersebut dikatakan efektif.
Sempurna di sini meliputi semua komponen perencanaan seperti tujuan,
materi/bahan, strategi dan evaluasi.
Sebaliknya, dikatakan kurang efektif bila
komponen-komponen rencana tidak terlaksana dengan sempurna, misalnya tujuan
tidak tercapai semua, materi tidak tersajikan semua, strategi belajar mengajar
tidak tepat, evaluasi tidak dilakukan sesuai rencana.
4.
Masalah Relevansi Pendidikan
Pendidikan dikatakan relevan (yang ideal) ialah bila
sistem pendidikan dapat menghasilkan output (keluaran) yang sesuai dengan
kebutuhan pembangunan. Kesesuaian (relevansi) tersebut meliputi/ mencakup
kuantitas (jumlah) ataupun kualitas (mutu) output tersebut. Selanjutnya
kesesuaian tersebut hendaknya mempunyai tingkat keterkaitan (link) dan
kesepadanan (match).
Pendidikan dikatakan tidak atau kurang relevan ialah
bila tingkat kesesuaian tidak ada / kurang. Kadar permasalahan ditentukan oleh
tingkat kesesuaian antara sistem pendidikan dengan kebutuhan masyarakat
pembangunan tersebut. Bila tingkat kesesuaian tinggi maka pendidikan dikatakan
relevan. Permasalahan akan semakin besar/rumit bila tingkat kesesuaian tersebut
rendah.
5.
Saling Kait Antar Masalah
Permasalahan pokok seperti dipaparkan di sub A,
sesungguhnya tidak berdiri sendiri. Dalam kenyataannya dilapangan masalah
tersebut saling terkait. Mungkin pada suatu situasi/kondisi muncul secara
serempak meskipun dalam bobot yang berbeda. Pada kondisi tertentu misalnya kita
(negara) ingin pendidikan itu merata, maka pada saat ini mutu terabaikan
(bermasalah) efisiensi akan bermasalah demikian pula relevansi pendidikan akan
mengalami penurunan (bermasalah).
Keadaan seperti ini, mengharuskan negara memusatkan perhatian
pada program pendidikan tertentu. Misalnya pada periode tertentu, memusatkan
perhatian pada pemerataan pendidikan, kemudian pada periode berikutnya pada
peningkatan mutu. Bila negara sudah maju (developed bukan developing apalagi
under developing country), maka pada kondisi ini permasalahan pendidikan tidak
akan ada lagi. Jika terdapat juga permasalahannya tidak akan berat/besar lagi.
0 Response to "Permasalahan Pokok Pendidikan Di Indonesia"
Posting Komentar