Kebenaran Ilmiah dan Konsep Filsafat Pendidikan Serta Aliran-alirannya
Dalam filsafat pendidikan, kebenaran ilmiah sebagai entitas struktur
komponen ilmu pendidikan, dimana hakekat pelaksanaan pendidikan yang bersangkut
paut dengan tujuan, latar belakang, cara dan hasilnya akan dipraktekkan
berdasarkan analisis kritis terhadap struktur dan kegunaannya.
Aliran-aliran yang menempatkan manusia sebagai bagian dari
kebudayaan. Sisi kebenaran dari konsep filsafat dari masing-masing aliran
terletak pada konsep dasar orientasi yang membawa dampak pada penerjemahan
kebijakan dalam dunia pendidikan. Adapun aliran-aliran tersebut mengelompok
sebagai aliran progrevisme, esensialisme, parenialisme dan rekonstruksionisme.
1.
Progresivisme
Progresivisme mempunyai konsep yang didasari oleh
pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan
yang wajar dan dapat mengahadapi dan masalah-masalah yang bersifat menekan atau
mengancam adanya manusia itu sendiri (Barnadib, 1994: 28). Oleh karena kemajuan
atau proses ini menjadi suatu statemen progrevisme, maka beberapa ilmu
pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang merupakan bagian utama
dari kebudayaan yang meliputi ilmu-ilmu hayat, antropologi, psikologi dan ilmu
alam.
Hal ini karena progrevisme memandang manusia sebagai
makhluk yang bebas, aktif, dinamis, dan kreatif. Kedudukan manusia penting
dalam perkembangan kebudayaan dan peradaban. Dengan kemampuan fikiran yang
diberikan Tuhan, manusia mampu menciptakan berbagai ilmu pengetahuan, kesenian
dan sarana untuk menghasilkan perubahan dan perkembangan (progress), artinya
dalam meninjau kebudayaan dan pendidikan, progrevisme mengutamakan tinjauan ke
depan dari pada masa lalu (Barnadib, 1996: 62).
Untuk menjelaskan pandangan progravisme, misalnya kita
ambil contoh dari antropologi, disini dapat dipelajari bahwa manusia membentuk
masyarakat, mengembangkan kebudayaan, dan telah berhasil untuk terus membina
kehidupan dan peradaban dan selalu diupayakan untuk mendapatkan kemajuan.
Dari psikologi dapat dipelajari bahwa manusia mempunyai
akal budi. Dengan kemampuan berfikirnya dan pengembangan imajinasinya ternyata
manusia mampu kreatif untuk meringankan hidupnya dengan ciptaannya. Semuanya
itu digunakan untuk meraih kemajuan dalam kehidupannya (Barnadib, 1996: 19).
Kebenaran menurut pandangan progrevisme adalah sesuatu
yang rasional yang dapat membawa kepada kemajuan atau progress. Sehubungan
dengan ini ide-ide, teori-teori atau cita-cita tidaklah cukup hanya diakui
sebagai hal-hal yang ada dan mengandung nilai kebenaran, tetapi yang ada dan
benar secara ilmiah haruslah dicari artinya dan diimplikasikan bagi suatu
kemajuan perkembangan ilmu.
Untuk itulah progrevisme mengadakan perbedaan antara pengetahuan
dan kebenaran. Pengetahuan adalah kumpulan kesan-kesan dan
penerangan-penerangan yang terhimpun dari pengalaman yang siap digunakan.
Kebenaran adalah hasil tertentu dari usaha untuk mengetahui, memiliki dan
mengarahkan beberapa segmen pengetahuan agar dapat menimbulkan petunjuk atau
penyesuaian pada siatuasi tertentu, yang mungkin keadaannya kacau (Barnadib,
1996: 31).
2.
Esensialisme
Esensialisme dalam memandang kebudayaan dan pendidikan
berbeda degan progrevisme, kalau progrevisme menganggap pandangan bahwa banyak
hal itu mempunyai sifat yang serba fleksibel dan nilai-nilai itu berubah dan
berkembang, esensialisme menganggap bahwa dasar pijak semacam ini kurang tepat
karena fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya
pandangan yang berubah-ubah, pelaksanaan yang kurang stabil dan tidak menentu
(Barnadib, 1996: 38)
Disamping itu esensialisme memandang manusia sebagai
makhluk budaya, artinya keberadaan manusia mempunyai peranan sebagai penghayat,
pelaksana dan sebagai pengembang kebudayaan. Dalam kehidupannya manusia
dilingkupi oleh nilai dan norma budaya, agar kehidupan manusia bermakna dan
mantap perlu berlandaskan pada nilai dan norma budaya yang mantap, telah teruji
oleh waktu.
Makna atau nilai kebenaran ilmiah yang dikemukakan
aliran ini sebagaimana yang diungkapkan Richard Pratte (1977: 139), adalah
sikap konservatisme kefilsafatan, artinya bahwa kebenaran yang dilakukan
manusia adalah relatif karena ketidaksempurnaan manusia. Tetapi setidaknya
kebenaran yang dilakukan menurut teori ini adalah kemampuan manusia
mengembangkan norma dan nilai yang mewarnai kebudayaan, termasuk pendidikan,
sehingga tidak dengan mudah meninggalkan prestasi serta produknya (kebudayaan,
norma, dan nilai termasuk sebagian dari produk dan prestasi itu).
Ini menunjukkan bahwa anggapan mengenai adanya kenyataan
itu tidak dapat hanya sebagai hasil tinjauan menyebelah saja. Berarti bukan
hanya dari subyek atau obyek semata-mata, melainkan pertemuan antara keduanya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan
dan ide-ide. Dibalik dunia fenomenal ini ada jiwa yang tidak terbatas, yaitu
Tuhan, yang merupakan pencipta adanya kosmos. Dengan menguji dan menyelidiki
ide-ide serta gagasan-gagasannya, manusia dapat mencapai kebenaran, yang
sumbernya adalah Tuhan sendiri (Butler, 1951: 161).
Disinilah fungsi pendidikan dalam berbagai bentuk dan
manifestasinya yang senantiasa berkembang dan berubah, merupakan refleksi dari
kebudayaan mengantarkan manusia ke dalam fikiran dan alam modern yang ditandai
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3.
Perenialisme
Perenialisme dalam memandang keadaan sekarang adalah
sebagai zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan,
kebingungan dan kesimpangsiuran. Berhubung dengan itu dinilai sebagai zaman
yang membutuhkan usaha untuk mengamankan lapangan moral, intelektual dan
lingkungan sosial kultural yang lain. Ibarat kapal yang akan berlayar, zaman
memerlukan pangkalan dan arah tujuan yang jelas. Perenialisme berpendapat bahwa
mencari dan menemukan pangkalan yang demikian ini merupakan tugas yang
pertama-tama dari filsafat dan filsafat pendidikan (Barnadib, 1996: 59)
Sesuai dengan asal katanya, yaitu perenial: hal-hal yang
ada sepanjang masa, perenialisme mengikuti tradisi perkembangan intelektuali
akademik yang ada pada dua zaman, Yunani dan abad pertengahan. Hal-hal yang ada
sepanjang masa inilah yang perlu digunakan untuk menatap kehidupan sekarang
yang penuh dengan liku-liku (Pratte, 1977: 166). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa perenialisme bersifat regresif, artinya kembali kepada
kebenaran yang sesungguhnya sebagaimana telah diletakkan dasarnya oleh para
filosof zaman lampau. Motif dengan mengambil jalan regresif bukan hanya
nostalgia atau rindu akan nilai-nilai lama untuk diingat atau dipuja, melainkan
berpendapat bahwa nilai-nilai tersebut mempunyai kedudukan vital bagi
pembangunan kebudayaan abad ini (Barnadib, 1996: 59).
Dalam memandang pengetahuan, perenialisme berpendapat
bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan adalah
merupakan keyataan adalah apa yang terlindung pada kepercayaan. Kebenaran
adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian antara pikir dan benda-benda
(Barnadib, 1996: 67). Maksudnya adalah hal-hal yang adanya bersendikan atas
prinsip-prinsip keabadian. Hal ini berarti bahwa perhatian mengenai kebenaran
adalah perhatian mengenai esensi dari sesuatu, artinya telah memenuhi
syarat-syarat logis dan memiliki evidensi diri bagi pengertian yang dirumuskan.
4.
Rekonstruksionisme
Aliran ini memandang manusia sebagai makhluk sosial.
Manusia tumbuh dan berkembang dalam keterkaitannya dengan proses sosial dan
sejarah dari pada masyarakat. Pendidikan mempunyai peranan untuk mengadakan
pembaharuan dan pembangunan masyarakat (Barnadib, 1996: 63).
Perkembangan ilmu dan teknologi tidak memberikan
sumbangan yang sangat berarti bagi masyarakat, namun juga membawa dampak
negatif. Masyarakat yang hidup damai berangsur-angsur diganti oleh masyarakat
yang coraknya tidak menentu, tiada kemantapan, dan yang lebih penting dari itu
lepasnya individu dalam keterkaitannya dengan masyarakat serta adanya
keterasigan, hal ini menciptakan budaya hegemoni sebagai ideologi.
George F. Kneller (1984: 195) membuat iktisar pandangan
Michael W. Apple tentang ideologi yang dimaksud ada 3 unsur, (1) pandangan
bahwa kemajuan itu tergantung dari sains dan industri, (2) suatu kepercayaan
dalam masyarakat bahwa agar orang mampu menyumbangkan jasanya dalam masyarakat
kompetitif, (3) kepercayaan bahwa hidup yang memadai dan sama dengan menghasilkan
dan mengkonsumsikan barang dan jasa bagi masyarakat. Sehingga menurut Apple
ketiganya tercermin dalam kurikulum sekolah. Agar keadaan masyarakat dapat
diperbaiki, pendidikan menjadi wahana penting untuk rekonstruksi.
Hal tersebut yang menyebabkan tumbuhnya pikiran kritis
rekonstruksionisme yang terjadi dalam masyarakat, sehingga dapat dikatakan
rekonstruksi sebagai tujuan mencari titik kebenaran melalui lembaga pendidikan.
0 Response to "Kebenaran Ilmiah dan Konsep Filsafat Pendidikan Serta Aliran-alirannya"
Posting Komentar