Makalah Tentang Pengaruh Krisis Ekonomi Terhadap Kemiskinan Di Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Industrialisasi yang berkembang di dunia ketiga ternyata
tidak serta merta membereskan masalah pengangguran yang kronis, bahkan
cenderung mempengaruhi logika kebijakan perekonomian menjadi lebih bisa pada
sektor formal. Sementara sector informal yang menampung tenaga kerja lebih
banyak terabaikan. Akibatnya pengangguran dan kemiskinan semakin sulit untuk
diatasi.
Besarnya dampak krisis terhadap kemiskinan terbukti
dengan adnaya data dan hasil sensus pada bulan Desember 1998 yang menyatakan
adanya suatu kenaikan besar pada insiden kemiskinan periode sebelum krisis
(1996) ke keadaan akhir (1998). Keadaan kemiskinan di Indonesia menjadi semakin parah
ketika terjadinya kenaikan harga-harga pokok dan komoditi-komoditi lainnya,
karena depresi nilai rupiah yang melaju semakin cepat. Situasi ini kemudian
diikuti dengan menjamurnya kebangkrutan dan kegagalan bisnis, khususnya yang
tergantung pada sumber-sumber dan komponen dari luar negeri. Akibatnya tekanan
pada kesempatan kerja di sektor informal perkotaan menjadi semakin besar,
permintaan terhadap barang dan jasa melemah, dan tingkat produksi dan
pendapatan dari pertanian di pedesaan semakin menurun.
Peta kemiskinan itu semakin meluas, kelompok-kelompok masyarakat
miskin tidak hanya terdapat di desa-desa dan daerah-daerah tepi pantai yang
selama ini belum tersentuh oleh program pembangunan pemerintah, tetapi juga
sudah mulai menjalar di kota-kota besar yang merupakan pusat sentral dari
pembangunan itu sendiri. Semakin banyaknya orang-orang yang tidak mendapat
kesempatan hidup secara layak, anak-anak jalanan yang tinggal di rumah-rumah
kardus dan dibawah kolongan jembatan serta pengangguran-pengangguran baru yang
jumlahnya meningkat tajam, telah menggambarkan betapa parahnya kondisi
kemiskinan yang ada di Indonesia
pada saat ini. Di tambah lagi dengan masalah kekurangan gizi karena
ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan pangan.
Dilatarbelakangi oleh kondisi seperti di ataslah yang
menyebabkan penulis mengangkatkan “Pengaruh Krisis Ekonomi Terhadap Kemiskinan
di Indonesia” sebagai judul dari makalah Bahasa Indonesia ini.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka yang
menjadi rumusan dari masalah ini adalah :
1.
Perkembangan kemiskinan di Indonesia .
2.
Faktor-faktor yang menyebabkan
kemiskinan di Indonesia .
3.
Gizi dan kesehatan masyarakat
di Indonesia .
4.
Penanggulangan kemiskinan di Indonesia .
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk
mengetahui bagaimana perkembangan kemiskinan di Indonesia, Faktor-faktor apa
yang menyebabkan terjadinya kemiskinan, sejauh mana masalah gizi dan kesehatan
pada masyarakat Indonesia, dan mencari solusi dalam rangka penanggulangan
kemiskinan di Indonesia.
Selain itu, penulisan makalah ini juga bertujuan untuk
memenuhi tugas mata pelajaran Bahasa Indonesia.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian Kemiskinan
Seseorang berada didalam kemiskinan bila penghasilannya,
kekayaannya dan sumber daya yang dikuasainya lebih kecil dari pada jumlah
masyarakat pandang sebagai cukup. Kemiskinan pada hakikatnya merupakan
perbedaan antara penghasilan dengan standar kehidupan minimum. Orang miskin
pada umumnya memiliki orientasi masa sekarang, penghasilan yang akan datang
tidak relevan dan penghasilan yang tertunda bukanlah suatu hal yang penting.
Yang terpenting itu adalah bagaimana memenuhi kebutuhan pangan yang sangat
mendesak.
Ilmu ekonomi telah mengkaji bagaimana cara yang
dilakukan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan materialnya. Pangan adalah
kebutuhan manusia yang paling mendasar, sehingga kekurangan pangan merupakan
masalah ekonomi yang paling penting bagi orang yang mengalaminya. Perkembangan
pertukaran pasar didalam perekonomian subsisten tidak selalu dapat mengatasi
ancaman kelaparan karena kelaparan juga dapat terjadi dalam perekonomian yang
telah di kuasai oleh kekuatan pasar. Pada sekotor pertanian dan perekonomian
pasar dimana kemiskinan meluas dan golongan miskinlah yang berperilaku paling
komersial.
Schlutz dan ekonom pembangunan lain tertarik untuk mengetahui
mengapa kemiskinan yang mencirikan banyak daerah pedesaan di Asia
kelihatan bertahan terus, bahkan tidak teratasi seperti tingkat kemiskinan
yangn tinggi di Jawa Tengah, padahal daerah ini merupakan bagian dari ekonomi
pasar internasional dan semua prasarana pokok tersedia di situ. Tetapi banyak
penduduknya yang miskin bahkan pada waktu-waktu tertentu menderita kelaparan.
Hal ini karena daerah pedesaan di Asia melalui proses pertumbuhan ekonomi
yangjauh lebih lama yang menjadikan pertaniannya lebih komersil dan
meningkatkan pendapatan per kapita, namun hasil akhirnya proses ekonomi itu
telah membawa kemakmuran bagi sebagian kecil dan kemiskinan pada bagian
penduduk yang lebih besar.
Dengan demikian kemiskinan secara umum dapat diartikan
sebagai sebuah situasi atau keadaan serba kekurangan yang dialami oleh
seseorang atau sekelompok orang dalam menjalankan kehidupannya. Kemiskinan yang
terjadi di Indonesia merupakan masalah yang sangat besar dan bersifat nasional,
dimana dari 180 juta jumlah penduduk Indonesia terdapat 27,1 juta berada di
bawah garis kemiskinan. Hal ini merupakan masalah nasional yang harus diatasi
secepat mungkin agar pembangunan tidak terganggu.
2.2 Ukuran Kemiskinan
Terdapat berbagai macam dari ukuran kemiskinan
diantaranya adalah berdasarkan penghasilan, konsumsi dan luas perumahan. Prof.
Sayogya mangatakan bahwa untuk mengukur kemiskinan dapat dipakai kebutuhan
fisik minim equivalent dengan 20 kg beras untuk orang desa dan 30 kg beras
untuk orang kota .
Dibawah itu orang dapat di masukkan dalam kategori yang miskin.
Selain itu ada beberapa pendekatan lagi yang dapat
dilakukan untuk memberikan ukuran kepada kemiskinan diantaranya :
- Pendekatan Humanitarian
Pendekatan humanitarian berlandaskan pada sejumlah
barang dan jasa untuk mencukupi kehidupan individu, keluarga ataupun kelompok,
dimana sejumlah barang dan jasa itu telah dapat mencukupi kebutuhan kalori
minimum, karena setiap orang akan berbeda kebutuhan kalori minimumnya baik atas
dasar usia, jenis pekerjaan, jenis kelamin, maupun tinggi dan berat badan.
Namun hal itu belum mampu menjelaskan kapan seseorang dikatakan berada dalam
kondisi miskin ataupun miskin secara struktural.
Tetapi pendekatan humanistik dapat dijadikan sebagai
ukuran kemiskinan ketika batas kebutuhan kalori minimum ini ditambah lagi
dengan batas minimum kebutuhan non-pangan. Baik kebutuhan energi maupun
non-pangan memiliki kualitas yang sangat berbeda antara individu dan kelompok.
- Pendekatan Egalitarian
Pendekatan ini lahir karena melihat dari kelemahan yang
ada pada konsep humanitarian yang cenderung kepada penentuan kebutuhan secara
absolut. Pendekatan egalitarian lebih bersifat relatif, dimana seseorang atau
kelompok dikatakan miskin jika pendapatannya termasuk pada kelompok bawah dalam
distribusi pendapatan. Namun pendekatan kedua ini juga memiliki beberapa
kelemahan diantaranya :
Ø Secara statistik dengan ukuran persentase tertentu pada kelompok
bawah maka dalam setiap struktur distribusi pendapatan, senantiasa ada yang
miskin walau telah berabad-abad pembangunan berlangsung.
Ø Tidak bisa melihat apakah bagian penduduk yang miskin masih tetap
atau telah berubah dalam proses pembangunan.
Kelemahan dari pendekatan egalitarian ini dapat ditutupi
apabila digabungkan dengan ukuran absolut pada pendekatan humanitarian.
Menurut etis ukuran kemiskinan dapat dilihat dari 3
dimensi yaitu kemiskinan ekonomi, kemiskinan sosial dan kemiskinan politik.
Selanjutnya juga dikatakan bahwa sekarang orang cenderung mengartikan
kemiskinan hanya menyangkut masalah ekonomi saja, sedangkan dalam pemberantasan
kemiskinan, masalah kemiskinan sosial dan politik perlu mendapatkan perhatian
yang serius. Berdasarkan hal diatas maka ukuran kemiskinan itu dapat dibagi
dari segi :
- Kemiskinan Ekonomi
Sebagaimana yang dikeluarkan oleh Depdagri, Bappenas RI
1993, maka standarisasi minimum yang dipakai adalah, mereka yang berada dibawah
garis kemiskinan dengan penghasilan per kapita dibawah Rp. 18.000,-/ bulan.
- Kemiskinan Sosial
Artinya sebagai kekurangan jaringan sosial atau struktur
sosial yang mendukung atau mendapatkan kesempatan agar produktivitas seseorang
meningkat atau dapat juga disebabkan adanya faktor penghambat sehingga mencegah
dan menghalangi seseorang memanfaatkan kesempatan yang tersedia.
- Kemiskinan Politik
Masalah faktor penghambat seseorang pada akses terhadap
kekuasaan yang mencakup ketahanan politik yang membutuhkan sumber daya manusia
untuk kepentingan sekelompok orang atau tatanan sistem sosial yang menentukan
akhir penggunaan sumber daya.
- Kemiskinan mental dan moral
Menyangkut masalah aspek kejiwaan atau mental sehingga
terkendala didalam melaksanakan dan mencapai kemakmuran.
2.3 Dualisme Ekonomi Indonesia
Faktor yang ingin dilihat dari eksistensi sektor formal
adalah kenyataan munculnya dualisme sosial di Indonesia. Dalam sistem sosial
dan ekonomi yang dualistis ini terdapat karakteristik keterpisahan dari satu
sistem menjadi dua bagian (tradisional-modern), yang berinteraksi secara tidak
seimbang dan kompleks sifatnya. Menurut Boeke, dalam masyarakat yang dualistis,
salah satu sistem sosial berasal dari luar dan memperoleh eksistensi dalam
lingkungan yang baru tanpa proses asimilasi yang memadai dengan sistem sosial
divergen yang telah tumbuh disana. Hasilnya menjadi tidak umum untuk konteks
masyarakat secara keseluruhan. Kebanyakan sistem sosial yang dualistis
ditemukan dari penetrasi sistem pra-kapitalis masyarakat agraris, dimana sistem
sosial yang asli memegang nilai sendiri sehingga sulit menyerap prinsip-prinsip
kapitalisme dan menempatkannya dalam praktek yang seutuhnya.
Menurut Gustau Ranis pemakaian kerangka teori dualisme
ekonomi sangat relevan dengn negara-negara yang sedang berkembang di Asia
termasuk di Indonesia, karena dualisme ekonomi merupakan karakteristik dari
negara-negara di Asia umumnya, khususnya bagian selatan dan tenggara, yang
tengah menghadapi kondisi dualistis di dalam kegiatan ekonomi mereka. Ranis
memandang dualisme ekonomi sebagai sebuah kontinum karena sektor modern
mempunyai hubungan erat. Dengan sektor tradisional. Pandangan seperti ini
mengacu pada pengalaman di negara-negara maju dimana perubahan struktur ekonomi
dari radisional ke modern merupakan suatu perjalanan yang historis.
Di dalam analisis tentang dualisme di negara sedang
berkembang yang cenderung dilupakan adalah prestasi sektor formal dalam
menyerap tenaga kerja yang tidak memadai sebagai penyangga dari sistem secara
keseluruhan. Sektor formal di Indonesia hanya mampu menopang sebagian kecil
unsur di dalam sistem. Satu hal yang tidak diduga oleh Renis adalah bahwa
tenaga kerja yang berlebihan (Surplus Of Labor) sudah sedemikian besar sehingga
berkembang menjadi sektor informal, karena sektor formal tidak mempunyai
kapasitas yang cukup untuk menyerapnya, sementara itu persoalan dalam sektor
informal itu sendiri semakin rumit. Akibatnya keterkaitan diantara kedua sektor
menjadi tidak fungsional.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Perkembangan Kemiskinan Di
Indonesia
Pemerintah diharapkan mengubah kebijakan ekonomi yang
stabilitas menjadi pro-pertumbuhan. Hal ini untuk menghindari ledakan
pengangguran pada tahun 2005 yang diperkirakan dapat mencapai 13-15 juta orang.
Kasus diatas telah menunjukkan bahwa krisis yang terjadi telah mengancam ribuan
angkatan kerja di Indonesia
yang ber efek kepada tingkat kemiskinan yang semakin melambung.
Selama periode 1976 – 1996 (20 Tahun, Repelita II-IV)
angka kemiskinan Indonesia turun drastis dari 40% menjadi 11% yang dianggap
cukup menjadi pembenaran bahwa pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% per tahun. Masa
krisis yang terjadi pada tahun 1997 kembali meningkatkan angka kemiskinan di Indonesia
menjadi 24% pada tahun 1998. Pengkajian berdasarkan data susenas menunjukkan
peningkatan jumlah penduduk miskin dari 22,5 juta jiwa tahun 1996 menjadi 49,5
juta jiwa pada tahun 1998. Pada tahun 1999 jumlah penduduk miskin sebesar 37,5
juta jiwa.
Kenaikan substansial pada kemiskinan absolut pada
periode 1996-1998 dalam kenyataannya juga berkaitan dengan perubahan drastis
pada garis kemiskinan baik di perkotaan maupun di pedesaan. Dibandingkan tahun
1996, garis kemiskinan tahun 1998 meningkat sekitar 153,5% di perkotaan dan
165,5% di pedesaan. Besarnya kenaikan garis kemiskinan ini disebabkan karena
meroketnya harga-harga khususnya komoditi makanan pada periode yang sama dan
sebagian kenaikan karena pendefenisian kembali pada paket non-makanan dalam garis
kemiskinan.
Berbagai temuan telah mengindentifikasikan bahwa dampak
krisis ekonomi terhadap peningkatan Insiden kemiskinan terlihat lebih besar di
perkotaan dari pada di pedesaan, terutama di wilayah perkotaan Indonesia
bagian Timur dan Jawa-Bali. Hal ini diduga karena ketergantungan pada sektor
formal dan tingkat kenaikan harga-harga lebih tinggi di perkotaan dari pada di
pedesaan, sehingga penduduk kota
lebih cepat merasakan dampak krisis. Disamping itu terutama di Sumatera dan
beberapa provinsi di Sulawesi yang banyak
mengandalkan perkebunan untuk ekspor, diperkirakan justru menikmati dampak
positif akibat kenaikan kurs dollar.
3.2 Faktor-Faktor Penyebab
Terjadinya Kemiskinan
Kemiskinan yang melanda negara sedang berkembang,
termasuk Indonesia banyak faktor yang menyebabkan termasuk seperti yang
dikemukakan Depdagri dan Bappenas yaitu kemiskinan disebabkan oleh rendahnya
nilai, terbatasnya modal yang dimiliki, rendahnya pendapatan dan terbatasnya
kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan. Sedangkan Teguh Sulistia
mengatakan, kendala yang menyebabkan terjadinya proses kemiskinan adalah
masalah bidang perthanan, perburuhan, sempitnya lapangan pekerjaan,
pengangguran, kurangnya perlindungan terhadap pengusaha ekonomi lemah, etos
kerja manusia Indonesia
lemah, dan kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka ada beberapa faktor yang
menyebabkan kemiskinan, diantaranya :
- Faktor Endogen
Faktor endogen merupakan faktor yang berasal dari
manusia itu sendiri seperti :
Ø Sikap malas dan sikap potalisme
Kemiskinan yang terjadi pada seseorang disebabkan karena
malas dalam bekerja dan berusaha serta menganggap kemiskinan itu merupakan
takdir dari Tuhan.
Ø Rendahnya sumberdaya manusia dan kurangnya keterampilan, keahlian
dan pengetahuan.
- Faktor Eksogen
Faktor eksogen berasal dari luar atau lingkungan
manusia.
Ø Bersifat alamiah seperti miskinnya sumberdaya alam, iklim yang tidak
menguntungkan, dan seringnya terjadi bencana alam.
Ø Bersifat buatan yang dipengaruhi oleh kebijakan ekonomi, politik,
sosial dan budaya.
- Kurangnya modal dan kurangnya lapangan pekerjaan.
Selain hal di atas ada pandangan yang sangat luas
tentang kemiskinan yang diderita seseorang atau sekelompok orang adalah sebagai
manusia yang sedang menerima cobaan. Bersamaan dengan itu dikatakan juga
kemiskinan terjadi pada seseorang atau sekelompok orang karena sedang menerima
akibat dari kecerobohan dan kesalahan yang telah dilakukan. Namun
kenyataan-kenyataan yang dihadapi pada akhir dekade 1980-an misalnya dengan
terjadinya krisis ekonomi di Amerika Serikat, dimana puluhan juta orang
mengganggur, sumber-sumber pendapatan hilang dan puluhan juta orang pula yang
tidak mampu memenuhi kebutuhannya, membuat pemikiran doktriner seperti itu
tidak dapat berkembang.
Pada tahun 2000 diperkirakan jumlah penduduk dunia yang
berada di bawah garis kemiskinan sekitar 825 juta jiwa, yang sebagian besar
(76%) berada di Afrika dan Asia Selatan. Jumlah penduduk miskin secara absolut
dan relatif terbesar baik sekarang maupun di masa datang akan terdapat di
India, yakni sekitar 255 juta jiwa. Sedangkan Indonesia dalam masa 17 tahun
(periode 1976-1993) telah mampu mengurangi penduduk miskin sekitar 28 juta
jiwa.
Walaupun angka-angka menunjukkan penurunan yang tajam
tentang jumlah penduduk miskin baik secara global maupun regional, namun
tidaklah mudah memperkirakan bahwa pada suatu saat dengan ukuran tertentu,
kemiskinan itu dapat berakhir. Oleh karena itu beberapa para ahli mencari
kembali konsep-konsep kemiskinan, para peneliti mulai mengajukan
batasan-batasan yang berasal dari berbagai pengalaman, seperti motivasi,
ambisi, kemampuan, dan orientasi budaya pada kelompok-kelompok miskin.
Pengalaman-pengalaman menunjukkan bahwa
kelompok-kelompok miskin sukar memanfaatkan peluang dan kualitas sumber dayanya
rendah. Secara ekonomis yang tampaknya mendapat konsensus adalah bahwa
seseorang atau kelompok miskin karena lack of economic resources. Tetapi
walaupun dengan menyediakan sumber daya ekonomi, tindihan kemiskinan belum
tentu dapat diselesaikan.
3.3 Gizi dan Kesehatan
Masyarakat Indonesia
Status gizi merupakan salah satu determinan utama status
kesehatan penduduk, karena masalah peningkatan gizi sangat erat hubungannya
dengan peningkatan kesehatan. Dalam melakukan peningkatan terhadap kesehatan
harus diiringi dengan peningkatan gizi. Peningkatan gizi yang perlu
diperhatikan sekali adalah peningkatan gizi pada bayi, balita, anak-anak yang
sedang berada di masa pertumbuhan.
Salah satu indikator rendahanya status gizi penduduk
adalah tingginya prevalesi gizi kurang dan gizi buruk pada anak di bawah lima tahun yang
didasarkan pada berat badan menurut umur. Menurut Jahari (2000) prevalensi gizi
kurang pada anak balita secara nasional menurun dari 36,2% di tahun 1989
menjadi 29,8% di tahun 1995 dengan kecepatan penurunan 1,0% per tahun, dan
turun lagi menjadi 28,3% di tahun 1998 dengan kecepatan penurunan 0,5% per
tahun. selanjutnya di tahun 1999 prevalensi gizi turun lagi menjadi 25,4%
dengan kecepatan penurunan 2,9% per tahun. Dan pada tahun 2000 prevalensi semakin
kecil yakni mencapai 24,7% atau penurunan sebesar 0,7%. Penurunan prevalensi
gizi tersebut dijumpai baik di daerah kota
maupun di desa.
Prevalensi gizi kurang di Indonesia pada tahun 1998
masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia,
Philipina, dan Thailand yang besarnya 20% pada tahun yang sama. Menurut data
susenas (2001) prevalensi gizi kurang menurun dari 31,2% ; 28,3% ; 20,0% ;
19,0% ; dan 18,3% berturut-turut dari tahun 1989 ; 1992 ; 1995 ; 1998 ; dan
1999. Dan untuk kasus gizi buruk terjadi peningkatan pada tahun 1998 dari 6,3%
menjadi 11,4% tahun 1995.
Masalah gizi memiliki etiologi yang sangat komplek,
tidak saja di pengaruhi oleh gizi dan kesehatan individu tetapi juga berkaitan
erat dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat.
3.4 Penanggulangan Kemiskinan
di Indonesia
Untuk mengurangi kemiskinan yang masih dinilai belum
berkurang secepat kenaikan GNP, serta mempertahankan momentum pembangunan, maka
Indonesia
dinilai berhak untuk tetap menerima bantuan kredit lunak dalam tahun anggaran
1982/1983. Dalam menilai keberhasilan pembangunan baik dilihat dari laju
pertumbuhan ekonomi, pendapatan per kapita, maupun keberhasilan menekan
inflasi, Bank Dunia tetap melihat bahwa keberhasilan tersebut tidak dengan
sendirinya menunjukkan kecepatan yang sama dalam mengurangi kemiskinan.
Dalam World Bank Report 1980, dengan jelas telah
digambarkan adanya keterkaitan yang erat
antara pendapatan, gizi, derajat kesehatan, pendidikan dan tingkat
kesuburan. Suatu negara dengan pendapatan per kapita rakyatnya yang rendah,
khususnya dilihat dari kepincangan distribusi pendapatan, akan berakibat
rendahnya mutu makanan, daya tahan terhadap penyakit rendah, tidak mampu
membiayai pendidikan, sedangkan di lain pihak angka kelahiran tinggi yang disertai
angka kematian bayi yang tinggi pula. Gizi rendah, daya tahan terhadap penyakit
rendah, serta tingkat pendidikan rendah akan mempengaruhi pula terhadap tingkat
produktivitas masyarakat khususnya angkatan kerja yang akhirnya akan berakibat
kepada pendapatan yang rendah.
Salah satu cara memerangi kemiskinan tersebut,
diperlukan suatu pemecahan melalui pendekatan sistem secara holistic,
keseluruhan dan terpadu, terutama diarahkan pada pembangunan sumber daya
manusia, baik melalui jalur pendidikan, perbaikan gizi keluarga, peningkatan
derajat kesehatan maupun program keluarga berencana. Karena program diatas
membutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit, sedangkan dilain pihak bukan
merupakan proyek yang memberikan keuntungan langsung secara ekonomis, maka diperlukan
dana murah dari luar negeri (soft loan) untuk memerangi kemiskinan.
Pengembangan sumber daya manusia juga merupakan salah
satu bentuk dalam mengentaskan kemiskinan, untuk itu harus ada peningkatan di
berbagai sektor, diantaranya :
- Sektor peningkatan derajat kesehatan
Usaha-usaha yang dapat dilakukan dalam peningkatan
derajat kesehatan dalam rangka pengembangan sumber daya manusia yakni :
Ø Mendirikan sarana dan prasarana kesehatan di seluruh tanah air,
sampai ke desa-desa pedalaman sekalipun seperti rumah sakit,
Puskesmas-puskesmas pembantu dan posyandu.
Ø Memberikan penyuluhan
kesehatan kepada masyarakat.
Ø Menyediakan tenaga dokter dan ahli kesehatan di daerah-daerah
seperti adanya penempatan dokter disetiap kecamatan / Puskesmas.
Ø Menyediakan obat-obatan yang baik dan murah yang terjangkau oleh
rakyat untuk membelinya.
Ø Program pemerintah dewasa ini adalah dengan memberikan makanan dan
minuman yang bergizi kepada anak-anak SD dengan cuma-cuma serta pemeriksaan
kesehatan sejak dini.
Ø Peningkatan kesehatan dasar secara lebih merata sehingga dapat
menurunkan angka kematian bayi dan balita serta ibu yang melahirkan.
Ø Meningkatkan kesehatan ibu dan anak.
Ø Memperpanjang usia harapan hidup rata-rata penduduk.
Ø Membudayakan kebersihan lingkungan dan hidup bersih di setiap daerah
dan keluarga.
Ø Menggalakkan gerakan keluarga berencana untuk mewujudkan keluarga
kecil bahagia dan sejahtera.
- Sektor Peningkatan Kecukupan Gizi
Program pemerintah dalam peningkatan gizi ini adalah
dengan mencanangkan pemakaian Asi bagi ibu yang menyusui, sebab asi merupakan
sumber gizi yang tinggi bagi pertumbuhan bayi dan hubungan tali batin antara
ibu dan anak. Disamping itu mencanangkan makanan empat sehat lima sempurna.
- Sektor Peningkatan Pendidikan
Zahar Idris mengatakan, umumnya telah diyakini bahwa
salah satu cara untuk menanggulangi kemiskinan ialah dengan memperbesar jumlah
penduduk yang bersekolah dan terdidik dengan baik. Dengan kata lain pendidikan
dipandang sebagai jalan menuju kemakmuran. Barang siapa yang menguasai
pendidikan dan pengetahuan, maka mereka akan menguasai masa depan.
Disamping itu William R. Neaci berpendapat bahwa
Institut pendidikan harus memberikan tiga jenis skill yaitu :
Ø Technical Skill, yaitu semua keahlian dan keterampilan khusus,
terutama yang memerlukan pengetahuan metoda, proses prosedur, dan teknik serta
kecakapan teknis yang memerlukan pengetahuan khusus.
Ø Human Skill, yaitu kemampuan bekerjasama dengan kelompok agar
terciptanya iklim kerja sama yang baik, saling mempercayai, menghormati dan
bersikap terbuka.
Ø Conceptual, yaitu kemampuan melihat sesuatu secara konseptual.
Dari uraian di atas jelas bahwa pendidikan merupakan
wadah yang penting dalam mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas dan
manusia Indonesia
yang sehat, sehingga kemiskinan yang terjadi secara berangsur-angsur dapat
diatasi.
- Sektor Keahlian dan Keterampilan
Manusia yang berkualitas bukan saja manusia yang
mempunyai pendidikan, tetapi adalah manusia yang mempunyai keahlian dan
keterampilan khusus. Sebab keterampilan dan keahlian khusus sangat penting
dalam pembangunan, untuk itu perlu dikembangkan tempat-tempat latihan
keterampilan yang siap pakai. Keahlian dan keterampilan untuk mewujudkan
manusia yang berkualitas diperlukan sekali dalam menghadapi pembangunan jangka
panjang.
- Sektor Perluasan Lapangan Kerja
Pengangguran yang terjadi dewasa ini bukan saja
disebabkan rendahnya kualitas sumber daya manusia, melainkan kurangnya lapangan
pekerjaan yang tersedia. Maka untuk itu perlu dilakukan berbagai usaha untuk
memperluas lapangan kerja bagi lulusan sekolah. Untuk perluasan lapangan kerja
ini diperlukan kerjasama pemerintah dengan pihak swasta.
Penciptaan dan perluasan lapangan kerja terus
diupayakan, terutama melalui peningkatan dan pemerataan pembangunan industri.
Pertanian dan jasa yang mampu menyerap tenaga kerja yang banyak serta
meningkatkan pendapatan masyarakat. Hal ini didukung oleh keterpaduan
kebijaksanaan investasi, fiskal, dan moneter ; pendidikan dan pelatihan ;
pengembangan dan penyuluhan ; penerapan teknologi.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kemiskinan secara umum dapat diartikan sebagai situasi
atau keadaan serba kekurangan yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang
dalam menjalankan kehidupan. Berbagai temuan telah mengidentifikasikan bahwa
dampak krisis ekonomi terhadap peningkatan insiden kemiskinan terlihat lebih
besar di perkotaan dari pada di pedesaan, terutama di wilayah perkotaan Indonesia
bagian timur, dan Jawa-Bali.
Kemiskinan dapat diukur dari berbagai segi diantaranya
dari segi ekonomi, sosial, politik, mental, dan moral. Selain itu ukuran
kemiskinan juga dapat dilihat dengan menggunakan 2 pendekatan yaitu pendekatan
humanitarian dan egalitarian.
4.2 Saran
Untuk mengatasi kemiskinan, maka beberapa hal yang
sebaiknya dilakukan oleh pemerintah yaitu :
1.
Menunjang mereka yang tidak
mampu yaitu misalnya pada orang tua, cacat, anak yatim piatu, dan lain-lain.
Dihindari menunjang mereka yang mampu bekerja karena justru menimbulkan
kemalasan berkerja.
2.
Memperbaiki keterampilan mereka
yang tidak mempunyai pekerjaan dalam rangka pengembangan sumber daya manusia,
dan dalam hal ini berbagai bentuk industri sangat diperlukan.
3.
Memberikan kesempatan kerja
dengan memberikan iklim usaha yang baik bagi sektor industri.
4.
Menunjang lembaga-lembaga
pendidikan tertentu, terutama sekolah-sekolah yang dapat meningkatkan
keterampilan dan keahlian.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. DR. Reksohadiprodjo Sukanto, M. Com. Ekonomi
Perkotaan. Yogyakarta – BPFE. 1981.
Sagir Soeharsono. Masalah Ekonomi Indonesia .
Angkasa. Bandung .
1982.
Rachbini. J. Didik, Ekonomi Informal Perkotaan. PT.
Pustaka LP3ES, Jakarta .
Mankiw N. Gregory. Pengantar Ekonomi Jilid 1. Erlangga.
0 Response to "Makalah Tentang Pengaruh Krisis Ekonomi Terhadap Kemiskinan Di Indonesia"
Posting Komentar