Budaya Minangkabau Dengan Filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK)
Provinsi Sumatera Barat memiliki budaya sendiri yaitu Budaya Minangkabau. Budaya Minangkabau adalah kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Minangkabau dan berkembang di seluruh kawasan kabupaten/kota di Sumatera Barat.
Budaya ini merupakan salah satu dari dua kebudayaan besar di Nusantara yang sangat menonjol dan berpengaruh. Berbeda dengan kebanyakan budaya yang berkembang di dunia, budaya Minangkabau menganut sistem matrilineal baik dalam hal pernikahan, persukuan, warisan, dan kepemimpinan.
Budaya Minangkabau mendorong masyarakatnya untuk mencintai pendidikan dan ilmu pengetahuan. Sehingga sejak kecil, para pemuda Minangkabau telah dituntut untuk mencari ilmu, hal ini sesuai dengan Filosofi Minangkabau yang mengatakan bahwa “alam takambang manjadi guru”.
Dalam hal nilai-nilai luhur keminangkabauan, masyarakat Minangkabau menganut filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK), yang berlaku luas di tengah otonomi nagari dan kaum sesuai prinsip Adat Salingka Nagari, Pusako Salingka Kaum, dan dilaksanakan secara Syarak Mangato, Adat Mamakai.
Nilai-nilai keminangkabauan inilah yang menjadi ciri khas, bungka nan piawai, dan budaya Minangkabau. Dan berdasarkan nilai-nilai ini pula, perilaku, etika, hubungan vertikal horizontal, tatanan masyarakat dan produk-produk budaya tradisionil berkembang sejak dahulu kala.
Filosofi Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah tersebut, dipraktikkan dalam bentuk komunikasi, tingkah laku (kurenah) dan hubungan sosial kemasyarakatan.
Dalam hal komunikasi, ABS-SBK terlihat pada tutur lisan masyarakat minangkabau, yang dikenal dengan “kato nan ampek”. Yakni, kato mandaki yang digunakan untuk bertutur sapa dengan orang yg lebih tua, kato manurun digunakan untuk bebicara kepada orang yang lebih kecil atau muda dari kita, kato mandata digunakan untuk berbicara dengan teman sebaya atau seumuran dengan kita, kato malereang adalah tata bicara kita kepada orang yang kita segani.
Sedangkan dalam hal tingkah laku atau kurenah, masyarakat Minangkabau sangat menjaga tata berkiprah, yang disebut “sumbang duo baleh”. Sumbang duo baleh adalah semacam aturan untuk bertutur kata, berpakaian, berjalan, tata cara makan, tata cara duduk, berjalan, bekerja, tata cara bertanya, menjawab, bergaul, tata cara berdiri, tata cara melihat atau memandang, dan tata cara bertingkah laku.
Adapun dalam hal interaksi sosial kemasyarakatan, ABS-SBK itu diturunkan pula menjadi semacam hukum adat yang sifatnya mengatur dan ada sanksi bilamana dilanggar. Hukum adat ini disebut “undang nan duopuluh”. Yakni, delapan hal menyatakan kejahatan atau kesalahan besar dan disebut juga “cemo dan bakaadaan” (tuduh yang mempunyai fakta) atau berkenaan dengan yang dihukum, antara lain Dago dagi mambari malu, Sumbang salah laku parangai, Samun saka tagak di bateh, Umbuak umbal budi marangkak, Maliang curi taluang diindian, Tikam bunuah padang badarah, Sia baka sabatang suluah, Upeh racun batabuang sayak.
Dan dua belas hal merupakan kapahukumnyo (penghukumnya) terdiri dari dua bahagian, yaitu “undang nan anam dahulu” dan “undang nan anam kudian”. Undang nan anam dahulu dikatakan juga “tuduah” atau sangka yang berkeadaan, jatuh kepada bukti yang bersuluah matahari, (bergelenggang mata orang banyak). Sedangkan undang nan anam kemudian dikatakan “cemo” atau syakwasangka apakah seseorang itu melakukan pekerjaan tersebut atau tidak.
Selain dari paparan di atas, ciri-ciri dari budaya Minangkabau adalah masyarakat yang terbuka, sehingga memungkinkan terjadinya perkawinan antar suku bangsa. Perkawinan antar suku bangsa itu menghasilkan asimilasi budaya yang saling menguatkan.
Budaya ini merupakan salah satu dari dua kebudayaan besar di Nusantara yang sangat menonjol dan berpengaruh. Berbeda dengan kebanyakan budaya yang berkembang di dunia, budaya Minangkabau menganut sistem matrilineal baik dalam hal pernikahan, persukuan, warisan, dan kepemimpinan.
Budaya Minangkabau mendorong masyarakatnya untuk mencintai pendidikan dan ilmu pengetahuan. Sehingga sejak kecil, para pemuda Minangkabau telah dituntut untuk mencari ilmu, hal ini sesuai dengan Filosofi Minangkabau yang mengatakan bahwa “alam takambang manjadi guru”.
Dalam hal nilai-nilai luhur keminangkabauan, masyarakat Minangkabau menganut filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK), yang berlaku luas di tengah otonomi nagari dan kaum sesuai prinsip Adat Salingka Nagari, Pusako Salingka Kaum, dan dilaksanakan secara Syarak Mangato, Adat Mamakai.
Nilai-nilai keminangkabauan inilah yang menjadi ciri khas, bungka nan piawai, dan budaya Minangkabau. Dan berdasarkan nilai-nilai ini pula, perilaku, etika, hubungan vertikal horizontal, tatanan masyarakat dan produk-produk budaya tradisionil berkembang sejak dahulu kala.
Filosofi Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah tersebut, dipraktikkan dalam bentuk komunikasi, tingkah laku (kurenah) dan hubungan sosial kemasyarakatan.
Dalam hal komunikasi, ABS-SBK terlihat pada tutur lisan masyarakat minangkabau, yang dikenal dengan “kato nan ampek”. Yakni, kato mandaki yang digunakan untuk bertutur sapa dengan orang yg lebih tua, kato manurun digunakan untuk bebicara kepada orang yang lebih kecil atau muda dari kita, kato mandata digunakan untuk berbicara dengan teman sebaya atau seumuran dengan kita, kato malereang adalah tata bicara kita kepada orang yang kita segani.
Sedangkan dalam hal tingkah laku atau kurenah, masyarakat Minangkabau sangat menjaga tata berkiprah, yang disebut “sumbang duo baleh”. Sumbang duo baleh adalah semacam aturan untuk bertutur kata, berpakaian, berjalan, tata cara makan, tata cara duduk, berjalan, bekerja, tata cara bertanya, menjawab, bergaul, tata cara berdiri, tata cara melihat atau memandang, dan tata cara bertingkah laku.
Adapun dalam hal interaksi sosial kemasyarakatan, ABS-SBK itu diturunkan pula menjadi semacam hukum adat yang sifatnya mengatur dan ada sanksi bilamana dilanggar. Hukum adat ini disebut “undang nan duopuluh”. Yakni, delapan hal menyatakan kejahatan atau kesalahan besar dan disebut juga “cemo dan bakaadaan” (tuduh yang mempunyai fakta) atau berkenaan dengan yang dihukum, antara lain Dago dagi mambari malu, Sumbang salah laku parangai, Samun saka tagak di bateh, Umbuak umbal budi marangkak, Maliang curi taluang diindian, Tikam bunuah padang badarah, Sia baka sabatang suluah, Upeh racun batabuang sayak.
Dan dua belas hal merupakan kapahukumnyo (penghukumnya) terdiri dari dua bahagian, yaitu “undang nan anam dahulu” dan “undang nan anam kudian”. Undang nan anam dahulu dikatakan juga “tuduah” atau sangka yang berkeadaan, jatuh kepada bukti yang bersuluah matahari, (bergelenggang mata orang banyak). Sedangkan undang nan anam kemudian dikatakan “cemo” atau syakwasangka apakah seseorang itu melakukan pekerjaan tersebut atau tidak.
Selain dari paparan di atas, ciri-ciri dari budaya Minangkabau adalah masyarakat yang terbuka, sehingga memungkinkan terjadinya perkawinan antar suku bangsa. Perkawinan antar suku bangsa itu menghasilkan asimilasi budaya yang saling menguatkan.
0 Response to "Budaya Minangkabau Dengan Filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK)"
Posting Komentar