Upaya Pemerintah Untuk Mewujudkan Pengarusutamaan Gender (PUG) Di Indonesia
Pembangunan kualitas hidup manusia merupakan upaya yang dilakukan secara berkesinambungan oleh pemerintah dalam rangka mencapai kehidupan yang lebih baik. Pembangunan yang dilakukan berdasarkan pada prinsip kesetaraan dan keadilan antara semua unsur dan komponen masyarakat, dimana dalam hal ini tidak ada satupun kelompok masyarakat yang terpinggirkan dari hasil pembangunan yang dilakukan.
Upaya untuk mewujudkan pembangunan yang berkeadilan dan berkesetaraan telah dilakukan sejak lama. Banyak upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, organisasi masyarakat maupun kalangan perguruan tinggi dan semua mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk mensejahterakan masyarakat.
Kita semua menyadari bahwa untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur tidak terlepas dari upaya dan peran serta seluruh unsur dalam masyarakat baik laki-laki maupun perempuan. Sumberdaya manusia yang baik dan berkualitas tercermin dari kualitas pendidikan, status kesehatan dan peran mereka dalam pembangunan ekonomi, merupakan modal utama dalam pembangunan nasional.
Pelaksanaan pembangunan yang setara dan berkeadilan haruslah memberikan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat yang sama baik bagi laki-laki dan perempuan.
Potensi sumber daya manusia merupakan modal utama pembangunan bila mereka mempunyai kualitas yang baik melalui peningkatan pendidikan, status kesehatan dan peran dalam pembangunan ekonomi.
Pelaksanaan wajib belajar telah meningkatkan pencapaian kualitas pendidikan formal bagi perempuan dan laki laki. Salah satu indikatornya adalah dari kepemilikan ijazah, persentase perempuan yang tidak memiliki ijazah adalah 21 %, sedangkan persentase laki-laki yang tidak memiliki ijazah sebanyak 20 orang (Susenas, 2015).
Peran perempuan dalam pembangunan ekonomi setiap tahunnya juga mengalami peningkatan baik secara kuantitas maupun kualitas. Namun kesenjangan dan ketidakadilan masih saja dialami oleh perempuan terutama yang bekerja disektor informal seperti hak bagi perempuan yang hamil, melahirkan dan menyusui dan upah yang tidak sebanding antara pekerja perempuan dan laki-laki. Partisipasi angkatan kerja perempuan terus meningkat setiap tahun. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan pada tahun 2015 sebesar 67,24%, masih lebih kecil dibanding laki-laki sebesar 97,76%.
Dalam bidang kesehatan, kemajuan yang dicapai dalam peningkatan kualitas pelayanan kesehatan perempuan dan anak terus membaik. Salah satu indikator kesehatan masyarakat yang penting adalah kematian ibu melahirkan. Pemerintah berupaya meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana persalinan yang memadai, ketersediaan tenaga medis dan kemudahan terhadap akses pelayanan kesehatan reproduksi.
Upaya menurunkan angka kematian ibu merupakan salah satu kesepakatan Internasional melalui MDGs (Millenium Development Goals) yang dilanjutkan dengan SDGs (Sustainable Development Goals).
Beberapa faktor penyebab kematian ibu melahirkan seperti pendarahan, keracunan kehamilan, aborsi tidak aman dan infeksi, menjadi pekerjaan rumah bagi kita bersama untuk mengatasinya. Tingginya angka kematian ibu melahirkan juga didasari oleh adanya masalah ketidaksetaraan gender terutama peran dan partisipasi laki-laki sebagai suami yang kurang tanggap terhadap kondisi istrinya yang lagi hamil. Kadang ditemui dalam masyarakat dimana suami sebagai kepala rumah tangga tidak dapat memutuskan dengan tepat tindakan yang perlu diambil bila istri mengalami komplikasi pada saat kehamilan maupun proses melahirkan. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman suami tentang resiko yang mungkin dialami pada proses kehamilan dan melahirkan dan memandang bahwa kehamilan dan proses melahirkan adalah urusan perempuan.
Disamping angka kematian ibu, salah satu masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian bersama adalah HIV/AIDS. Jumlah penderita HIV/AIDS terus meningkat, khususnya pada kelompok risiko tinggi pengguna narkoba suntik dan pekerja seks.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai ukuran kualitas hidup yang diukur dan tiga indikator yaitu kesehatan, pendidikan, dan ekonomi menunjukkan perkembangan yang semakin membaik dari waktu ke waktu. Pada tahun 2015, IPM Nasional diatas (69,66 persen). Sedangkan Indeks Pembangunan Gender (IPG) yang diturunkan dari IPM dan merupakan ukuran kesetaraan dan keadilan bagi perempuan dan laki-laki dalam mengakses, berpartisipasi, melakukan kontrol dan mendapatkan manfaat yang sama dalam pembangunan menunjukkan peningkatan setiap tahun. Idealnya nilai IPG adalah 100 yang berarti bahwa hasil-hasil pembangunan telah dirasakan manfaatnya secara setara/sama antara laki-laki dan perempuan.
Keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun individu masyarakat sangat tergantung dari peran serta seluruh penduduk baik laki-laki maupun perempuan sebagai pelaku, dan sekaligus pemanfaat hasil pembangunan yang setara dan berkeadilan.
Peningkatan peran dan kualitas perempuan dalam pembangunan paling tidak memiliki dampak pada dua hal. Pertama, dengan kualitas yang dimiliki, perempuan akan menjadi mitra kerja aktif laki-laki dalam mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik yang diarahkan pada pemerataan pembangunan.
Kedua, perempuan yang berkualitas turut mempengaruhi kualitas generasi penerus, mengingat fungsi reproduksi perempuan berperan dalam mengembangkan sumber daya manusia di masa datang melalui peningkatan kualitas hidup perempuan.
Namun demikian tidak dapat dipungkiri, pada pelaksanaannya masih terdapat kelompok penduduk khususnya perempuan yang tertinggal dalam pencapaian kualitas hidup. Persoalan penting yang menghalangi upaya peningkatan kualitas hidup perempuan adalah pendekatan pembangunan yang belum sepenuhnya mengintegrasikan isu tentang kesetaraan dan keadilan gender dalam sistem perencanaan dan penganggaran pembangunan.
Komitmen Pemerintah untuk mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam upaya mempercepat pencapaian tujuan pembangunan, yaitu mensejahterakan seluruh masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, maka sejak tahun 2000 telah diterbitkan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan dan Permendagri No 67 tahun 2011 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah. Prinsip Pengarusutamaan Gender juga telah diamanatkan sebagai salah satu prinsip dalam pelaksanaan RPJMN Tahun 2014-2019.
Pengarusutamaan gender (PUG) merupakan strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan pembangunan.
Pengarusutamaan Gender dilaksanakan dengan tujuan antara lain : mewujudkan kesetaraan gender di berbagai bidang pembangunan di daerah, Mewujudkan sistem politik yang demoknatis, pemerintahan yang desentralistik, pembangunan daerah yang berkelanjutan, serta pemberdayaan masyarakat yang partisipatif.
Pelaksanaan PUG direfleksikan dalam proses penyusunan kebijakan perencanaan dan penganggaran yang responsif gender (PPRG). PPRG bukanlah tujuan akhir, melainkan merupakan sebuah kerangka kerja atau alat analisis untuk mewujudkan keadilan dalam penerimaan manfaat pembangunan. PPRG juga merupakan bentuk implementasi dari Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) dimana pengelolaan anggaran menggunakan analisa gender pada input, output, dan outcome pada perencanaan dan penganggaran, serta mengintegrasikan aspek keadilan (equity) sebagai indikator kinerja, setelah pertimbangan ekonomi, efisiensi, dan efektifitas. Dengan demikian, Anggaran Responsif Gender (ARG) menguatkan secara signifikan dan kerangka penganggaran berbasis kinerja menjadi lebih berkeadilan.
Beberapa kendala saat ini yang dipandang cukup menghambat dalam pelaksanaan PPRG antara lain:
Berbagai permasalahan dimaksud harus ditangani bersama-sama secara komprehensif melalui penguatan peran dan fungsi dan Driver PPRG yang terdiri dari Bappeda, Inspektorat, Dinas Pengelola Keuangan Daerah, dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan peningkatan kapasitas Vocal Point dalam melakukan PPRG.
Upaya untuk mewujudkan pembangunan yang berkeadilan dan berkesetaraan telah dilakukan sejak lama. Banyak upaya telah dilakukan baik oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, organisasi masyarakat maupun kalangan perguruan tinggi dan semua mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk mensejahterakan masyarakat.
Kita semua menyadari bahwa untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur tidak terlepas dari upaya dan peran serta seluruh unsur dalam masyarakat baik laki-laki maupun perempuan. Sumberdaya manusia yang baik dan berkualitas tercermin dari kualitas pendidikan, status kesehatan dan peran mereka dalam pembangunan ekonomi, merupakan modal utama dalam pembangunan nasional.
Pelaksanaan pembangunan yang setara dan berkeadilan haruslah memberikan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat yang sama baik bagi laki-laki dan perempuan.
Potensi sumber daya manusia merupakan modal utama pembangunan bila mereka mempunyai kualitas yang baik melalui peningkatan pendidikan, status kesehatan dan peran dalam pembangunan ekonomi.
Pelaksanaan wajib belajar telah meningkatkan pencapaian kualitas pendidikan formal bagi perempuan dan laki laki. Salah satu indikatornya adalah dari kepemilikan ijazah, persentase perempuan yang tidak memiliki ijazah adalah 21 %, sedangkan persentase laki-laki yang tidak memiliki ijazah sebanyak 20 orang (Susenas, 2015).
Peran perempuan dalam pembangunan ekonomi setiap tahunnya juga mengalami peningkatan baik secara kuantitas maupun kualitas. Namun kesenjangan dan ketidakadilan masih saja dialami oleh perempuan terutama yang bekerja disektor informal seperti hak bagi perempuan yang hamil, melahirkan dan menyusui dan upah yang tidak sebanding antara pekerja perempuan dan laki-laki. Partisipasi angkatan kerja perempuan terus meningkat setiap tahun. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan pada tahun 2015 sebesar 67,24%, masih lebih kecil dibanding laki-laki sebesar 97,76%.
Dalam bidang kesehatan, kemajuan yang dicapai dalam peningkatan kualitas pelayanan kesehatan perempuan dan anak terus membaik. Salah satu indikator kesehatan masyarakat yang penting adalah kematian ibu melahirkan. Pemerintah berupaya meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana persalinan yang memadai, ketersediaan tenaga medis dan kemudahan terhadap akses pelayanan kesehatan reproduksi.
Upaya menurunkan angka kematian ibu merupakan salah satu kesepakatan Internasional melalui MDGs (Millenium Development Goals) yang dilanjutkan dengan SDGs (Sustainable Development Goals).
Beberapa faktor penyebab kematian ibu melahirkan seperti pendarahan, keracunan kehamilan, aborsi tidak aman dan infeksi, menjadi pekerjaan rumah bagi kita bersama untuk mengatasinya. Tingginya angka kematian ibu melahirkan juga didasari oleh adanya masalah ketidaksetaraan gender terutama peran dan partisipasi laki-laki sebagai suami yang kurang tanggap terhadap kondisi istrinya yang lagi hamil. Kadang ditemui dalam masyarakat dimana suami sebagai kepala rumah tangga tidak dapat memutuskan dengan tepat tindakan yang perlu diambil bila istri mengalami komplikasi pada saat kehamilan maupun proses melahirkan. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman suami tentang resiko yang mungkin dialami pada proses kehamilan dan melahirkan dan memandang bahwa kehamilan dan proses melahirkan adalah urusan perempuan.
Disamping angka kematian ibu, salah satu masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian bersama adalah HIV/AIDS. Jumlah penderita HIV/AIDS terus meningkat, khususnya pada kelompok risiko tinggi pengguna narkoba suntik dan pekerja seks.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebagai ukuran kualitas hidup yang diukur dan tiga indikator yaitu kesehatan, pendidikan, dan ekonomi menunjukkan perkembangan yang semakin membaik dari waktu ke waktu. Pada tahun 2015, IPM Nasional diatas (69,66 persen). Sedangkan Indeks Pembangunan Gender (IPG) yang diturunkan dari IPM dan merupakan ukuran kesetaraan dan keadilan bagi perempuan dan laki-laki dalam mengakses, berpartisipasi, melakukan kontrol dan mendapatkan manfaat yang sama dalam pembangunan menunjukkan peningkatan setiap tahun. Idealnya nilai IPG adalah 100 yang berarti bahwa hasil-hasil pembangunan telah dirasakan manfaatnya secara setara/sama antara laki-laki dan perempuan.
Keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun individu masyarakat sangat tergantung dari peran serta seluruh penduduk baik laki-laki maupun perempuan sebagai pelaku, dan sekaligus pemanfaat hasil pembangunan yang setara dan berkeadilan.
Peningkatan peran dan kualitas perempuan dalam pembangunan paling tidak memiliki dampak pada dua hal. Pertama, dengan kualitas yang dimiliki, perempuan akan menjadi mitra kerja aktif laki-laki dalam mengatasi masalah-masalah sosial, ekonomi dan politik yang diarahkan pada pemerataan pembangunan.
Kedua, perempuan yang berkualitas turut mempengaruhi kualitas generasi penerus, mengingat fungsi reproduksi perempuan berperan dalam mengembangkan sumber daya manusia di masa datang melalui peningkatan kualitas hidup perempuan.
Namun demikian tidak dapat dipungkiri, pada pelaksanaannya masih terdapat kelompok penduduk khususnya perempuan yang tertinggal dalam pencapaian kualitas hidup. Persoalan penting yang menghalangi upaya peningkatan kualitas hidup perempuan adalah pendekatan pembangunan yang belum sepenuhnya mengintegrasikan isu tentang kesetaraan dan keadilan gender dalam sistem perencanaan dan penganggaran pembangunan.
Komitmen Pemerintah untuk mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam upaya mempercepat pencapaian tujuan pembangunan, yaitu mensejahterakan seluruh masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, maka sejak tahun 2000 telah diterbitkan Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan dan Permendagri No 67 tahun 2011 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah. Prinsip Pengarusutamaan Gender juga telah diamanatkan sebagai salah satu prinsip dalam pelaksanaan RPJMN Tahun 2014-2019.
Pengarusutamaan gender (PUG) merupakan strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan pembangunan.
Pengarusutamaan Gender dilaksanakan dengan tujuan antara lain : mewujudkan kesetaraan gender di berbagai bidang pembangunan di daerah, Mewujudkan sistem politik yang demoknatis, pemerintahan yang desentralistik, pembangunan daerah yang berkelanjutan, serta pemberdayaan masyarakat yang partisipatif.
Pelaksanaan PUG direfleksikan dalam proses penyusunan kebijakan perencanaan dan penganggaran yang responsif gender (PPRG). PPRG bukanlah tujuan akhir, melainkan merupakan sebuah kerangka kerja atau alat analisis untuk mewujudkan keadilan dalam penerimaan manfaat pembangunan. PPRG juga merupakan bentuk implementasi dari Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK) dimana pengelolaan anggaran menggunakan analisa gender pada input, output, dan outcome pada perencanaan dan penganggaran, serta mengintegrasikan aspek keadilan (equity) sebagai indikator kinerja, setelah pertimbangan ekonomi, efisiensi, dan efektifitas. Dengan demikian, Anggaran Responsif Gender (ARG) menguatkan secara signifikan dan kerangka penganggaran berbasis kinerja menjadi lebih berkeadilan.
Beberapa kendala saat ini yang dipandang cukup menghambat dalam pelaksanaan PPRG antara lain:
- Belum efektifnya fungsi komponen pendukung PUG, terutama Vocal point PUG di masing-masing OPD
- Masih minimnya pemahaman perencana yang tergabung sebagai Vocal Point pada masing-masing OPD terhadap Perencanaan dan Penganggaran yang responsif Gender
- Masih kurangnya ketersediaan data terpilah gender
- Masih lemahnya pemantauan dan evaluasi pelaksanaan PUG di daerah.
Berbagai permasalahan dimaksud harus ditangani bersama-sama secara komprehensif melalui penguatan peran dan fungsi dan Driver PPRG yang terdiri dari Bappeda, Inspektorat, Dinas Pengelola Keuangan Daerah, dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan peningkatan kapasitas Vocal Point dalam melakukan PPRG.
T
BalasHapus