Resensi Novel Azab dan Sengsara Karya Merari Siregar
RESENSI
NOVEL AZAB DAN SENGSARA
Judul Buku : Azab dan Sengsara
Tema : Belajar Dari
Kehidupan
Karya : Merari Siregar
Penerbit : Balai Pustaka, Terbitan
XVII tahun 2000
Angkatan : 20-an
Tebal Buku : 162 Halaman
Warna Kulit : Putih dan Biru
Merari Siregar dilahirkan di Sipirok, Tapanuli, Sumatera
Utara pada tanggal 13 Juli 1896. Merari Siregar meninggal di Kalianget, Madura
pada tanggal 23 April 1941. Semasa kecil, Merari Siregar berada di Sipirok.
Oleh karena itu, sikap, perbuatan dan jiwa Merari Siregar sangat dipengaruhi
kehidupan masyarakat Sipirok. Ia menjumpai kepincangan-kepincangan khususnya
mengenai adat, misalnya kawin paksa yang terdapat dalam masyarakat
lingkungannya.
Banyak kita temui kisah roman klasik dengan tema adat
dan perkawinan. Tengok saja Siti Nurbaya, Tenggelamnya Kapal Van Der Wick, Dian
yang Tak Kunjung Padam, dan lain sebagainya. Demikian juga Azab dan Sengsara.
Alkisah di sebuah kota Sipirok, di dekat Tapanuli (Tapanuli sebenarnya adalah
Tapian na Uli yang artinya Tepian yang elok), tinggalah sebuah keluarga yang
memiliki seorang anak gadis, Mariamin namanya. Mariamin atau Riam tinggal
bersama Ibu dan adiknya. Ayah Mariamin, Sutan Baringin sesungguhnya adalah
seorang bangsawan. Namun kekayaan keluarga itu ludes disebabkan oleh perilaku
sang Ayah yang boros dan suka berhura-hura. Sejak kecil Mariamin bersahabat
erat dengan seorang pemuda bernama Aminuddin. Seperti Riam, Aminuddin adalah
anak dari keluarga terhormat dan bangsawan kaya. Ayah Aminuddin, Sutan Baginda
di atas adalah kepala kampung di desanya. Sesungguhnya Mariamin dan Aminuddin
mempunyai hubungan keluarga. Mereka saudara sepupu, karena Ayah Mariamin adalah
kakak kandung Ibu Aminuddin.
Hubungan akrab antara keduanya berlangsung sampai mereka
dewasa. Mereka pun berikrar untuk sehidup semati. Untuk itu Aminuddin pergi ke
lain kota untuk mencari penghidupan dan berjanji membawa Mariamin kelak
bersamanya. Setelah dirasa cukup bekal yang ia punya, Aminuddin mengirimkan
surat kepada orang tuanya dan mengutarakan niat hatinya untuk menyunting dan
membawa Riam ke Medan. Ibu Aminuddin bersuka cita mendengar berita tersebut.
Dalam adat mereka, perkawinan antara anak muda yang serupa itu amat disukai
orang tua kedua belah pihak.
“Tali perkauman bertambah kuat,” kata orang di
kampung-kampung. (hal 121).
Tak lupa Aminuddin pun mengabarkan keinginan hatinya
kepada Riam. Alangkah senang hati anak perawan itu. Demikian pula dengan sang
Ibu, yang berharap kebahagiaan untuk putri tercinta.
Ayah Aminuddin rupanya tak suka dengan kabar itu. Ia
kemudian bersekongkol dengan dukun dan mengajak istrinya untuk mendengar
ramalan yang akan menimpa Aminuddin jika ia menikah dengan Mariamin. Demi
mengetahui kesengsaraan yang kelak dihadapi Aminuddin maka sang Ibu tidak mampu
menolak keputusan sang suami untuk menjodohkan Aminuddin dengan gadis lain dari
golongan sederajat dengan keluarga mereka.
Surat mengenai kedatangan calon istri Aminuddin
dikirimkan oleh orang tuanya. Aminuddin bahagia mendengar kabar kedatangan
calon istrinya yang ia sangka adalah Mariamin. Namun alangkah getir hati
Aminuddin ketika mengetahui bahwa gadis yang didatangkan Ayahnya bukanlah Riam.
Ia pun tak mampu menolak keputusan orang tuanya untuk menikahi gadis pilihan
mereka. Dengan berat hati Aminuddin memberitahukan Riam rencana tersebut. Bisa
dibayangkan bagaimana perasaan hati gadis perawan itu. Mariamin jatuh sakit.
Lama berselang Ibu Mariamin kemudian menjodohkan anak
perempuannya kepada seorang lelaki. Ibu Riam sebenarnya tak mengetahui banyak
asal usul lelaki itu. Pernikahan pun dilaksanakan. Ternyata baru diketahui
lelaki itu telah beristri dan baru saja menceraikan istrinya ketika ia akan
menikahi Riam. Riam yang tidak pernah mencintai suaminya semakin benci melihat
perilaku lelaki itu yang kasar dan kejam. Suatu saat Aminuddin berkunjung dan
melihat keadaan Mariamin. Riam yang tak tahan menerima siksaan dari suaminya
memutuskan untuk melaporkan hal itu kepada polisi. Riam kemudian bercerai dari
suaminya. Ia kembali ke Sipirok, kampung halamannya dan meninggal karena
menanggung deraan dan kesedihan.
Tema pernikahan dan adat seringkali dipilih dalam banyak
karya sastra klasik. Posisi perempuan yang lemah menjadi topik sentral dalam
cerita ini.
“Mereka itu memandang perkawinan itu suatu kebiasaan, yakni kalau anaknya yang perempuan sudah genap umurnya harus dijodohkan. Demikian pula jadinya pada anak laki-laki. Haruslah ia lekas dikawinkan, karena keaibanlah di mata orang banyak, kalau orang tua terlambat memperistrikan anaknya.”
“Mereka itu memandang perkawinan itu suatu kebiasaan, yakni kalau anaknya yang perempuan sudah genap umurnya harus dijodohkan. Demikian pula jadinya pada anak laki-laki. Haruslah ia lekas dikawinkan, karena keaibanlah di mata orang banyak, kalau orang tua terlambat memperistrikan anaknya.”
Mengutip kalimat di buku ini “Perkawinan memang suatu
adat dan kebiasaan yang harus dilakukan tiap-tiap manusia, bila sudah sampai
waktunya.” Namun perkawinan yang dilakukan dengan terpaksa dan tanpa rasa cinta
akan meninggalkan kesedihan dan kekecewaan bagi yang menjalaninya. Tidak hanya
untuk si perempuan namun juga anak-anak yang mereka tinggalkan. Lagi-lagi
perempuan lah yang akan menanggung akibatnya.
artikelnya bagus, izin share ya..
BalasHapusSilahkan gan, thank kunjungannya
HapusBagus makasi
BalasHapusTerima kasih gan :D
Hapus