Resensi Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
KASIH TAK
SAMPAI
Judul : Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck
Pengarang : Haji Abdul Malik Karim Amrullah
atau Buya Hamka
Penerbit : PT. Bulan Bintang
Tahun Terbit : Tahun 2012
Tebal Buku : 225 Halaman
Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih
dikenal dengan julukan Hamka, lahir di Sungai Batang, Tanjung Raya, Kabupaten
Agam, Sumatera Barat 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981.
Novel ini pertama kali ditulis Hamka sebagai cerita bersambung dalam sebuah
majalah. Dalam novel ini, Hamka mengkritik beberapa tradisi yang dilakukan oleh
masyarakat pada saat itu terutama mengenai kawin paksa. Kritikus sastra
Indonesia Bakri Siregar menyebut Van der Wijck sebagai karya terbaik Hamka,
meskipun pada tahun 1962 novel ini dituding sebagai plagiasi dari karya Jean
Baptiste Alphonse Karr.
Diterbitkan sebagai novel pada tahun 1939, novel ini
terus mengalami cetak ulang sampai sekarang. Novel ini juga diterbitkan dalam
bahasa Melayu sejak tahun 1963. Penerbit pertama da kedua adalah penerbit
Syarkawi. Lima cetakan berikutnya mulai pada tahun 1951, dengan Balai Pustaka.
Cetakan ke delapan pada tahun 1961, diterbitkan oleh penerbit Nusantara
Djakarta hingga tahun 1962, novel ini telah dicetak lebih dari 80 ribu
eksemplar. Cetakan setelah itu diterbitkan oleh Bulan Bintang. Novel Hamka juga
pernah diterbitkan di Malaysia beberapa kali.
Novel ini bercerita tentang kisah cinta dua insan yang
dilandasi oleh keikhlasan dan kesucian. Dalam ceritanya dilatar belakangi
dengan peraturan adat yang kokoh dan kuat. Novel ini menceritakan bahwa warisan
dapat membuat orang berselisih. Itulah yang dialami Zainuddin. Ia adalah
seorang yatim piatu dan ia terbuang dari negeri kelahirannya, Makasar. Ia
terbuang karena ibunya yang asli Makasar menikah dengan ayahnya yang asli
Minang. Sedangkan Makasar tersebut berdasarkan keturunan ayah atau sistem
patrilinial.
Mulanya Zainuddin tidak pernah tahu bahwa negeri asalnya
adalah Minangkabau. Dia baru mengetahui hal tersebut ketika pesan terakhir dari
ayahnya. Hingga suatu hari, Zainuddin memutuskan untuk pergi ke Padang Panjang.
Awalnya Zainuddin senang, namun perasaan itupun perlahan pudar karena ia masih
dianggap orang asing. Di saat ia mulai jenuh dengan keadaan itu, saat itu pula
ia bertemu dengan Hayati. Seorang gadis Minang yang membuat hatinya gelisah dan
Hayati pula yang menjadikannya alasan untuk bertahan.
Karena belum ada teknologi, maka mereka berkomunikasi
dengan jalan surat menyurat. Dan hadirlah cinta diantara keduanya. Kabar
kedekatan mereka tersiar luas dan menjadi bahan pembicaraan orang Minang. Dan
keluarga Hayati adalah keluarga terpandang, maka hal kedekatan mereka akan
menjadi aib bagi keluarga Hayati. Akhirnya mamak Hayati memanggil Zainuddin dan
menyuruhnya pergi dari Batipuh. Akhirnya dengan berat hati Zainuddin pindah ke
Padang Panjang. Hayati dan Zainuddin berjanji akan terus setia dan terus
berkirim surat.
Suatu hari, Hayati datang ke Padang Panjang dan menginap
di rumah temannya Khadijah. Merupakan suatu peluang untuk melepas rindu
diantara keduanya. Disana, Hayati didandani dengan gaya ala kota. Sungguh
terkejutnya Zainuddin ketika melihat Hayati yang sebelumnya berpakaian tertutup
menjadi pakaian terbuka seperti itu. Kesempatan yang dimiliki Hayati dan
Zainuddin tidak seperti yang mereka bayangkan, karena hadirnya orang ketiga,
Aziz yang merupakan kakak Khadijah dan juga tertarik oleh kecantikan Hayati.
Ketika Hayati pulang dari Padang Panjang, Hayati
terkejut karena datangnya rombongan keluarga Aziz untuk melamarnya. Padahal
beberapa hari yang lalu Zainuddin telah melamar Hayati juga. Namun, keluarga
Hayati lebih memilih Aziz, karena Aziz dipandang lebih beradab dan juga lebih
berada, ditambah lagi Aziz adalah pemuda asli Minang. Penolakan itu sungguh
memberatkan hati Zainuddin bahkan Zainuddin pun terbaring lemah karena sakit
parah. Apalagi Zainuddin tahu bahwa Aziz bukanlah sebaik yang kelihatannya.
Untuk melupakan masalahnya, Zainuddin pindah ke Jawa dan mulai menulis dan
mengarang. Ia dan sahabatnya (Muluk) menjadi pengarang terkenal yang dikenal
sebagai hartawan yang dermawan.
Ketika Hayati dan Aziz pindah ke Surabaya, kehidupan
perekonomian mereka semakin memprihatinkan dan terlilit banyak hutang. Semakin
lama watak asli Aziz terlihat juga. Ia suka berjudi dan main perempuan. Ketika
mereka diusir dari kontrakan, tanpa sengaja mereka bertemu dengan Zainuddin dan
sempat singgah di sana. Karena malu dengan Zainuddin, Aziz memutuskan untuk
pergi meninggalkan istrinya untuk mencari pekerjaan ke Banyuwangi. Beberapa
hari kemudian, datang surat dari Aziz untuk Zainuddin. Isinya permintaan maaf
dan permintaan agar Zainuddin mau meneri Hayati kembali. Sedangkan Aziz
meninggal dengan cara bunuh diri. Sebenarnya mereka masih sangat mencintai,
namun karena Hayati masih dalam ikatan pernikahan, Zainuddin memutuskan untuk
memulangkan Hayati ke kampung halamannya.
Setelah berangkat, barulah Zainuddin menyadari bahwa ia
masih sangat mencintai Hayati dan tidak mampu hidup tanpanya. Ditambah lagi
dengan surat Hayati yang isinya bahwa ia masih sangat mencintai Zainuddin, dan
kalaupun ia meninggal itu adalah meninggal dalam mengenang Zainuddin. Setelah
itu, datanglah kabar bahwa kapal yang ditompangi Hayati tenggelam, yaitu Kapal
Van Der Wijck. Seketika itu Zainuddin syok dan langsung pergi bersama Muluk
untuk mencari Hayati. Hingga akhirnya Zainuddin menemukan Hayati terbaring
lemah sambil memegangi foto Zainuddin. Dan itu adalah hari pertemuan terakhir
mereka, karena setelah itu Hayati meninggal dalam dekapan Zainuddin.
Hal tersebut membuat Zainuddin sedih karena ia merasa
bahwa Hayati meninggal adalah karena kesalahannya. Zainuddin selalu berkunjung
ke makam Hayati. Hingga Zainuddin pun akhirnya sakit-sakitan dan kurang
produktif lagi untuk menulis roman. Padahal sebenarnya ia sedang menyelesaikan
karya besar. Beberapa bulan kemudian Zainuddin meninggal. Karyanya sudah
selesai dan dibukukan. Zainuddin dimakamkan disebelah makam Hayati.
Gaya bahasa yang digunakan novel ini mudah dipahami,
sehingga pesan yang diceritakan tersampaikan dengan baik. Apalagi ceritanya
yang menarik membuat pembaca penasaran ingin mengetahui akhir dari novel ini.
Sayangnya, penggambaran dan penjelasan watak tokoh tidak
dijelaskan dengan baik, sehingga pembaca harus menerka-nerka karakter tokoh.
Serta adanya bahasa daerah setempat yang digunakan dalam dialog membuat pembaca
kurang memahami maksudnya.
Kasih tak sampai merupakan tema yang diambil dari Novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang ditulis oleh Hamka. Ceritanya sangat
menarik dan masih kentalnya budaya adat menjadi perjuangan sendiri bagi Hayati
dan Zainuddin untuk mendapatkan cinta mereka. Novel ini sangat menginspirasi
bagi kaum remaja apalagi yang sedang merasakan jatuh cinta. Namun novel ini
tidak diperuntukkan kepada anak-anak tapi lebih diperuntukkan kepada kaum
remaja.
0 Response to "Resensi Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck"
Posting Komentar