Kejahatan Kerah Putih (White Collar Crime) Tindak Pidana Korupsi
1.
Tindak Pidana Korupsi
Fenomena korupsi dapat menjadi objek
kajian dari beberapa cabang ilmu pengetahuan seperti ilmu administrasi, ilmu
politik, kriminologi, ilmu hukum pidana, dan sosiologi, dan sosiologi.
Masing-masing cabang ilmu dapat menyorotinya dri sudut yang berbeda sesuai
dengan ruang lingkupnya.
Dictionary of Justice Data Terminology mendefenisikan
white collar crime sebagai non violent crime dengan tujuan untuk
mendapatkan keuntungan financial yang dilakukan dengan menipu oleh orang yang
memiliki status pekerjan sebagai penguasa, profesional, semi profesional dan
menggunakan kemampuan teknis serta kesempatan atas dasar pekerjaan.
Kajian kriminologi mendapatkan
korupsi secara umum sebagai white collar
criminal atau kejahatan kerah putih. Hal ini dikarenakan salah satu pihak
yang terlibat atau keduanya berhubungan dengan pekerjaan atau profesinya.
Sesuai dengan karakteristik white collar
crime, yang memang susah dilacak karena biasanya pelaku adalah orang yang
memiliki status sosial tinggi (pejabat), memiliki kepandaian, berkaitan dengan
pekerjaannya, yang dengannya memungkinkan pelaku bisa menyembunyikan bukti.
Kriminologi menempatkan korupsi sebagai salah satu bentuk perilaku menyimpang
khususnya yang bersumber pada penggunaan kekuasaan. Kriminologi mengkaji
perkembangan bentuk-bentuk perilaku korupsi, sebab-sebabnya dan perlakuan
terhadap pelaku dan korban.
Arrigo dan Claussen (2003) misalnya
mendefenisikan korupsi sebagai “mengambil atau menerima suatu keuntungan buat
diri sendiri yang tidak sah secara hukum dikarenakan individu tersebut
mempunyai otoritas dan kekuasaan”. Jadi jelas dalam pengertian ini, segala
bentuk penggelapan, pencurian terhadap dana publik untuk menguntungkan diri
sendiri adalah perbuatan korupsi.
2.
Reaksi Sosial
Secara umum ternyata ada kelas yang
membedakan perlakuan sosial masyarakat, termasuk piranti/aparat hukum, terhadap
berbagai jenis kejahatan yang ada. Sudah bukan rahasia bahwa polisi masih sulit
meninggalkan hobi mereka untuk menyiksa para tersangka kejahatan kelas teri,
hanya untuk mendapatkan pengakuan yang sesuai dengan keinginan mereka. Belum
lagi sebagian anggota masyarakat yang seringkali diminta atau tidak juga ikut
menyumbang pukulan dan tendangan.
Sulit dijelaskan apa yang menyebabkan
timbulnya perbedaan perlakuan sosial terhadap para pelaku kejahatan ini,
terutama jika ditinjau dari sudut logika, meskipun keduanya sama-sama tersangka
pelaku kejahatan. Padahal sesungguhnya yang membedakan hanyalah pembagian kelas
kejahatan menurut standar barat. Mereka yang beresiko mendapat perlakuan
kekerasan fisik adalah tersangka pelaku kejahatan kerah biru (blue collar crime), yakni merek yang di
dalam tatanan masyarakat dianggap sebagai kelas buruh, kelas orang biasa, kelas
the man on the street. Sementara para tersangka kasus korupsi digolongkan dalam
tersangka kejahatan kerah putih (white
collar crime). Mereka ini memang memiliki status sosial yang cukup baik di
masyarakat, serta tentunya memiliki kesempatan untuk melakukan korupsi.
Koruptor memang maling berkelas.
Saking berkelasnya, masyarakat bahkan media, cenderung lebih hati-hati
memperlakukan mereka. Istilah-istilah yang digunakan untuk menggambarkan
kejahatan mereka menunjukkan hal itu. Sanksi moral untuk koruptor cenderung
lebih ringan dibanding sanksi moral terhadap maling ayam. Orang masih bisa
membungkuk hormat di hadapan orang yang sudah nyata-nyata diputus pengadilan
sebagai koruptor.
Belakangan, korupsi malah cenderung
dianggap sebagai perbuatan terhormat. Rasanya kurang pas kalau ada kesempatan,
tapi tidak melakukan korupsi. Selain bisa menunjang semangat memuja kebendaan,
korupsi juga bisa menaikkan popularitas, yang dalam skala tertentu bisa
mencapai tujuan politis maupun tujuan lainnya. Bahkan kalau berhasil lolos dari
jeratan hukum, terkesan ada semacam kebanggaan bahwa diri sang pelaku memiliki
kehebatan luar biasa, kekebalan hukum, sekaligus barangkali ketebalan muka di
atas rata-rata, sehingga membuat yang bersangkutan semakin menepuk dada.
3.
Kejahatan Tindak Pidana Korupsi
Inti dari perbuatan korupsi adalah
penyalahgunaan kekuasaan publik (abuse of political power or authority).
Pertanyaannya adalah mengapa orang menyalahgunakan kekuasaannya tersebut untuk
kepentingan pribadinya? Secara psikologis, jawaban tersebut harus ditelusuri
dari hal-hal yang mendasari orang berperilaku dalam suatu konteks tertentu.
Menurut pandangan teori behavioris, tingkah laku seseorang adalah fungsi dari
lingkungannya. Tingkah laku yang tampak adalah semata-mata hasil respons
seseorang terhadap stimulus dari lingkungannya.
Secara psikologis, tentu menjadi
jelas bahwa perbuatan menyalahgunakan wewenang tersebut bisa saja terjadi
karena individu tersebut sudah memiliki kencendrungan (sifat) untuk berbuat curang. Ini kalau
penjelasannya kita alamatkan kepada karakteristik kepribadian.
4.
Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Dominannya unsur jabatan dalam tindak
pidana ini, menyebabkan pelaku tindak pidana korupsi tergolong sulit dilacak
secara yuridis dibandingkan dengan rata-rata pelaku tindak pidana lain, karena
ia memiliki kedudukan yang ditopang oleh berbagai ketentuan yang memungkinkan
dijalankannya kekuasaan diskresional. Dengan kekuasaan itu, korupsi yang
dilakukan dapat dibungkus dengan kebijakan (policy) yang sah, sehingga dari
segi hukum dapat dinilai sebagai bagian dari pelaksanaan fungsi jabatan resmi
yang pelakunya adalah Pejabat Tinggi Negara.
Di belahan bumi manapun, senantiasa
terdapat kecendrungan pejabat tinggi negara yang tersangkut perkara korupsi
sulit dijerat hukum. Dakwaan korupsi terhadap
beberapa petinggi negara memiliki kesamaan prinsipil, yakni bahwa tindak
pidana yang didakwakan tersebut berkaitan erat dengan jabatan yang disandang
tatkala kejahatan itu dilakukan. Jabatan (okupasi), yang didalamnya mengandung
sejumlah power and authority (kekuasaan dan kewenangan), menjadi instrumen
utama dimungkinkannya kejahatan yang dituduhkan itu dapat dilaksanakan pelaku.
Untuk menumbuhkan citra hukum ditegakkan proses hukum formal mungkin
dijalankan. Tetapi berkat berbagai power (terutama politik dan uang) tersebut,
hasil akhir proses itu sejak awal sudah dapat diramalkan. Mereka akan bebas
dari segala tuntutan.
Itulah antara lain sebabnya, semakin
tinggi tampuk jabatan yang diduduki, semakin powerfull pelaku tindak pidana
ini. Oleh karena, hampir senantiasa bertalian dengan jabatan, maka tindak
pidana korupsi sering pula dikelompokkan sebagai occupational crime (kejahatan jabatan), yakni kejahatan yang
terlaksananya mensyaratkan adanya suatu jabatan atau jenis pekerjaan tertentu
yang dilindungi undang-undang.
Seorang Kriminolog dari Kanada, Ezzat E Fattah (1997), menamakan mereka
sebagai penjahat-penjahat berkekuasaan dan penjahat-penjahat yang memegang
kekuasaan (powerfull criminals and criminals in power). Menurut kriminolog
tersebut, penjahat-penjahat jenis tangguhan ini terdiri dari dua kelas:
pertama, yang tak tersentuh (untouchable),
yakni pelaku-pelaku kejahatan yang realitasnya benar-benar berada di atas hukum
(above the law), seperti Hitler, Idi Amin, Pinochet, dan sebagainya pada saat
mereka berkuasa. Kedua, yang tak terjangkau (unreachable). Termasuk dalam kategori ini adalah para pelaku
kejahatan yang berkekuasaan (formal maupun informal) yang cukup tinggi dan
sangat sulit dijangkau tangan hukum, kecuali dengan kesulitan yang besar dan
dalam kondisi-kondisi khusus.
5.
Korban Tindak Pidana Korupsi
Korban korupsi tidak berwajah karena
korban korupsi sering tidak langsung tampak sebagai pribadi, terutama yang
terkait dengan penyelewengan uang Negara atau Rakyat. Selain itu kerugian yang
diakibatkan oleh perilaku korupsi biasanya tidak dengan mudah dan cepat
dirasakan oleh korban. Korupsi bisa mempunyai akibat lebih dasyat dari pada
pencurian, perampokan dan pembunuhan, tanpa bisa terlihat hubungan langsung
sebab-akibat karena antara keputusan/tindakan dengan konsekuensi-konsekuensi
atau korban, ada jarak. Jarak itu diantarai oleh struktur atau model
pengorganisasian tertentu. Untuk mengungkap kesalahan dan bisa menimpakan
tanggung jawab perlu melacak serangkaian keputusan, keterlibatan banyak pelaku
organisasi dalam bentang waktu dan tempat tertentu.
Dalam kehidupan keseharian timbul
pemahaman bahwa koruptor tidak merasa bersalah. Oleh karena dalam melaksanakan
korupsi tersebut pelakunya melibatkan banyak orang sehingga seolah-olah
kejahatan ini adalah sesuatu yang biasa dan merupakan hak. Dengan melibatkan
banyak pihak yang biasanya adalah orang-orang penting dalam suatu negara, maka
semua harus ikut bertanggung jawab. Maka dengan kata lain kejahatan kualitas
ini dapat disebut sebagai kejahatan terorganisir yang dilakukan oleh
pejabat-pejabat negara (State
Organization Crime), (W.. Chambliss 1968).
0 Response to "Kejahatan Kerah Putih (White Collar Crime) Tindak Pidana Korupsi"
Posting Komentar