Persepsi Guru Terhadap Pengelolaan Konflik oleh Kepala Sekolah Menengah Pertama
Sekolah Menengah Pertama merupakan salah satu bentuk organisasi atau
lembaga, yang disebut juga organisasi pendidikan. Sebagai suatu organisasi
sudah tentu di dalamnya terdapat individu-individu yang saling bekerja sama
dalam rangka pencapaian tujuan organisasi sekolah. Seperti yang telah
dinyatakan oleh Ducan (Wahjosumidjo:1999) “organisasi adalah satu kebersamaan
dan interaksi serta saling ketergantungan individu-individu yang bekerja ke
arah tujuan yang bersifat umum dan hubungan kerja samanya telah diatur sesuai
dengan struktur yang telah ditentukan”.
Sebagai suatu organisasi, maka di dalamnya harus ada seorang
pemimpin yang akan memimpin pelaksanaan semua kegiatan individu-individu dalam
organisasi. Davis (Sutarto, 1995) menegaskan “organisasi adalah sesuatu
kelompok orang-orang yang sedang bekerja ke arah tujuan bersama di bawah
kepemimpinan”. Jadi, lancar tidaknya pelaksanaan segala kegiatan organisasi
dalam rangka pencapaian tujuan sangat tergantung kepada pemimpinnya.
Sama halnya dengan organisasi secara umum, kemajuan organisasi
sekolah juga ditentukan oleh pemimpin atau pengelolanya, yaitu kepala sekolah.
Dalam kepemimpinannya kepala sekolah dituntut untuk dapat meningkatkan serta
menghasilkan lulusan yang bermutu di organisasi sekolahnya. Dapat dikatakan
bahwa keberhasilan sekolah adalah keberhasilan kepala sekolahnya. Sejajar
dengan itu kepala sekolah harus mampu melaksanakan perannya sebagai seseorang
yang diberi tanggung jawab untuk memimpin sekolah.
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa organisasi dikatakan sebagai
kumpulan dari beberapa orang individu yang saling bekerja sama demi mencapai
tujuan bersama di bawah kepemimpinan seorang pemimpin. Individu-individu di
dalam organisasi ini memiliki karakteristik yang berbeda antara individu yang
satu dengan individu yang lainnya. Karakteristik individu atau pribadi ini
dapat meliputi perbedan dalam hal sikap, persepsi, pendapat, keyakinan,
nilai-nilai, kebutuhan dan kepribadian. Perbedaan individu ini juga bisa
dilatarbelakangi oleh pendidikan, budaya, lingkungan sosial, suku dan
lain-lain. Perbedaan latar belakang inilah yang pada akhirnya menimbulkan perbedaan
individu dalam bersikap dan bertindak di lingkungan kerja atau di dalam
organisasi.
Untuk mencapai tujuan organisasi sekolah, tidak jarang terjadi
perbedaan persepsi atau pandangan di antara individu atau di antara kelompok individu.
Perbedaan persepsi ini pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya
pertentangan atau konflik, di mana masing-masing individu berusaha
mempertahankan persepsi ataupun pendapatnya. Konflik dapat juga berakar dari
karakteristik struktural maupun kepribadian yang tidak cocok di antara individu
dalam organisasi.
Pada dasarnya konflik selalu hadir pada setiap organisasi, baik
organisasi kecil maupun organisasi besar, organisasi yang bergerak di bidang
waralaba ataupun yang bergerak di bidang pendidikan. Pandangan lama menganggap
konflik dalam organisasi sebagai hal yang negatif, menjurus pada perpecahan
organisasi, karena itu konflik harus dihilangkan, karena dapat menghambat
kinerja organisasi. Pandangan ini juga selalu mengkhawatirkan keberadaan
konflik, karena itu pemimpin ditintut dan ditugaskan untuk menghindarkan serta
menghilangkan konflik.
Seiring dengan perkembangan zaman, sejumlah ahli manajemen
berpendapat bahwa konflik dalam organisasi tidak dapat dihindari. Bahkan lebih
dari itu, dengan adanya konflik maka hal ini dapat memperjelas bahwa ada
masalah dalam organisasi, dapat mengetahui kekurangan oragnisasi, dapat
menemukan solusi terhadap kelemahan serta mengarahkannya pada pencapaian tujuan
organisasi. Robbins (1995:453) menyatakan “pandangan yang satu ini berargumentasi
bahwa konflik meningkatkan keefektifan organisasi dengan merangsang perubahan
dan memperbaiki proses pengambilan keputusan”. Berbeda dengan organisasi yang
tidak pernah terjadi konflik atau bahkan sangat menghindari konflik, dalam hal
ini Robbins (1995:453) menegaskan bahwa “suatu organisasi yang bebas dari
konflik mungkin juga merupakan organisasi yang statis, apatis dan tidak tanggap
terhadap kebutuhan akan perubahan”.
Dari kedua pandangan ini dapat disimpulkan bahwa tidak semua bentuk
konflik itu harus dihilangkan, kecuali konflik yang dapat menghambat pencapaian
tujuan organisasi, atau disebut juga konflik yang bersifat destruktif atau disfungsional. Tugas pemimpin adalah
mengelola konflik agar dapat bermanfaat bagi organisasi guna mendorong perubahan
dan inovasi. Jadi, pada dasarnya konflik itu ada yang bersifat positif dan
bersifat negatif bagi organisasi.
Konflik dapat terjadi apabila masing-masing individu mempertahankan
pendirian atau pendapatnya dan tidak bersedia menerima pendapat dan pikiran
orang lain. Di dalam organisasi sekolah, individu-individu yang terlibat dalam
konflik bisa jadi siswa, guru, kepala sekolah dan orang tua siswa. Konflik ini
dapat terjadi karena kedua belah pihak yang bekerja sama, baik itu antar
individu ataupun antar kelompok saling mempunyai ketergantungan dan pandangan
yang berbeda. Agar konflik ini tidak berdampak negatif, maka perlu pengelolaan
yang tepat dari kepala sekolah.
Namun, dunia pendidikan dihadapkan pada masalah masih langkanya
tenaga-tenaga administrator pendidikan yang profesional, sehingga hal ini
mengakibatkan krisis dalam dunia pendidikan. Kemerosotan mutu pendidikan pada
dasarnya juga disebabkan oleh langkanya pemimpin pendidikan yang kompeten, di
samping kurangnya motivasi siswa, belum penuhnya perhatian orang tua atau
karena kelemahan-kelemahan di pihak guru.
Masih kurangnya ketersediaan tenaga-tenaga administrator pendidikan
yang profesional dan berkompeten, khususnya kepala sekolah yang mampu mengelola
konflik dalam organisasi sekolah, dapat dilihat dari fenomena-fenomena yang ada
di lapangan di antaranya adalah:
1.
Masih ada kepala sekolah kurang
peka terhadap situasi yang dapat merangsang timbulnya konflik antar sesama guru
ataupun staf lainnya.
2.
Masih ada kepala sekolah yang
beranggapan bahwa konflik dapat merugikan organisasi dan harus dihindari.
3.
Masih ada kepala sekolah yang
tidak menyadari kalau setiap kebijakan yang telah diambilnya dapat merangsang
timbulnya konflik.
4.
Kepala sekolah jarang melakukan
komunikasi dengan guru menyangkut permasalahan yang sedang dihadapi guru,
terutama mengenai hubungan antar sesama guru.
5.
Masih kurangnya komunikasi yang
bersifat terbuka antara guru dengan kepala sekolah menyangkut permasalahan yang
sedang dihadapi guru, terutama jika ada pertentangan dengan guru lain.
0 Response to "Persepsi Guru Terhadap Pengelolaan Konflik oleh Kepala Sekolah Menengah Pertama"
Posting Komentar