Masalah Gelandangan Dan Hubungannya Dengan Penegakkan HAM Di Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sosial masyarakat,
kelompok ini biasanya menempati posisi hidup sebagai kelas bawah dalam tatanan
sosial masyarakat, sehingga mereka sering mengalami berbagai diskriminasi dalam
segi sosial serta sering kali mereka mengalami berbagai tindakan yang kurang
pada tempatnya kalau ditinjau dari sudut hak-hak sebagai warga negara.
Lahirnya kelompok masyarakat yang
menjalani hidup seperti ini, biasanya disebabkan karena kurang mampunya mereka
untuk bisa menempatkan diri dengan kelompok masyarakat yang mereka masuki,
sehingga mereka merasa tersisihkan dan keluar dari tatanan sosial masyarakat
mereka semula untuk mencari kelompok sosial baru. Tapi dalam kenyataan yang
mereka temukan juga menyebabkan mereka tidak bisa beradabtasi dengan kelompok
baru tersebut.
Bagi daerah perkotaan, masalah
gelandangan atau tuna wisma ini, adalah merupakan masalah sosial yang sering
menimbulkan berbagai aspek sosial terhadap pemerintahan kota untuk dapat mencari solusi terbaikd alam
memecahkan maslaah gelandangan ini.
Hal tersebut terjadi karena, dilihat
dari sudut sosial masyarakat terlihat bahwa gelandangan ini sering dijadikan
sebagai objek yang tidak manusiawi dan diperlakukan seakan-akan layaknya
binatang. Maka bagi masyarakat yang mempunyai moral tinggi dalam memandang
nilai hakiki dari manusia, selalu berupaya untuk dapat membantu serta
memperjuangkan hak-hak dari pada kelompok gelandangan ini sebagaimana layaknya
menghargai kodrat manusia sebagaimana mestinya.
Tapi usaha dari sebagian masyarakat
ini sering terbentur oleh beberapa hal di antaranya masalah dana dan sarana
yang dapat menata kembali kehidupan sosial serta dapat membina jiwa dari pada
kaum gelandangan ini untuk dapat hidup berdampingan dengan orang lain
sebagaimana layaknya kehidupan sosial yang dijalani manusia lainnya, sehingga
hak-hak mereka sebagai manusia yang hidup dalam satu wadah negara yang
berdaulat dapat terpenuhi sebagaimana mestinya.
B. Batasan Masalah
Untuk lebih jelas dan untuk
mengarahkan tulisan ini perlu adanya keterangan yang memberi penjelasan
terhadap hal-hal yang menjadi pokok pikiran untuk dapat dibahas dalam tulisan
ini, antara lain adalah :
1.
Apa penyebab terjadinya
Gelandangan (Tuna Wisma).
2.
Bagaimana problem yang timbul
dari masalah gelandangan.
3.
Gelandangan di tinjau dari
pandangan HAM.
C. Rumusan Masalah
Karena banyaknya permasalahan yang
dapat timbul dari masalah gelandangan ini, maka penulis berusaha merumuskan
masalah makalah ini terhadap hal yang berkaitan dengan batasan masalah sebagai
: “Masalah Gelandangan dan Hubungannya dengan Penegakkan HAM di Indonesia”.
D. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan masalah serta rumusan masalah maka tulisan
ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut :
1.
Dalam rangka memenuhi tugas
Mata Kuliah Pembelajaran IPS.
2.
Dapat menambah wawasan ilmu
pengetahuan.
3.
Dapat memberi manfaat bagi
orang-orang yang menulis.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Penyebab Terjadinya
Gelandangan (Tuna Wisma)
Manusia dalam menjalani kehidupannya
lebih cenderung berkelompok dan saling berintegrasi dengan kelompok sosial
lainnya untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup maupun sosial kehidupan
lainnya. Dalam menjalani berbagai interaksi sosial tersebut perlu adanya
adaptasi yang baik dari setiap individu masyarakat agar dapat bertahan hidup
dengan kelompok sosial yang dimasukinya.
Tapi bagi mereka yang hidup secara
gelandangan, hal tersebut merupakan suatu masalah lain, karena pada dasarnya
gelandangan atau yang biasa disebut dengan Tuna Wisma pada umumnya adalah
mereka-mereka yang kurang atau bahkan sama sekali tidak mempunyai tujuan hidup
yang pasti, dan mereka pada dasarnya mempunyai sikap serta mental yang rapuh
terhadap kehidupan.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh WP. Napitupulu, yaitu
:
“Gelandangan oleh sebagian warga masyarakat dianggap mempunyai
mental sakit. Mempunyai sikap patologis, sikap mental yang menyimpang, ……..
(Ramdlon Naning, 1983: 46)
Lahirnya kaum gelandangan atau Tuna
Wisma ini, juga dipengaruhi oleh hal-hal lain yang menjadi masalah terhadap
perubahan tata nilai masyarakat, seperti misalnya disebabkan pengaruh budaya
dan membawa masyarakat pada suatu pola hidup yang jauh dari rasa sosial yang
sebelumnya kokoh. Sehingga masyarakat atau sebagian dari individu masyarakat
yang tidak mampu mengikuti pola ini, akan mencari tempat baru dan dalam
kenyataannya mereka malah makin terpisah dari kelompok sosial tersebut.
Sebagaimana pendapat Alfian yang
dikutip oleh Frans Bona Sihombing, menyatakan :
“Kebudayaan adalah sebagai salah satu sumber utama sistem atau tata
masyarakat. Sistem nilai itulah yang membentuk sikap mental atau pola pikir
manusia dan masyarakat sebagaimana terpantul dalam pola sikap dan tingkah laku
sehari-hari dalam berbagai segi kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan
sebagainya”. (Frans Bona Sihombing, 1984: 25)
Dari keterangan diatas, dapat
terlihat bahwa munculnya sistem-sistem sosial yang hidup di tengah tatanan
sosial masyarakat dengan berbagai gejala yang mengiringinya akan memunculkan
sistem lain bagi individu masyarakat yang tidak bisa hidup dengan tatanan hidup
yang semula di tempatinya.
Maka masalah gelandangan yang terjadi
adalah merupakan suatu masalah dari pada tatanan nilai budaya masyarakat yang
tidak sepenuhnya dapat diikuti oleh seluruh masyarakat. Masyarakat yang tidak
dapat beradaptasi dengan pola baru ini, akan tersisih dari masyarakatnya dan
mencoba mencari tempat hidup baru dengan cara mengelandang dari satu tempat ke
tempat lainnya.
B. Problem Yang Timbul Dari
Masalah Gelandangan
Dilihat dari masalah yang berkaitan
dengan kepentingan individu-individu masyarakat, masalah gelandangan tidaklah
memberi pengaruh apa-apa, karena gelandangan merupakan suatu keadaan sebagian
masyarakat yang mengalami sikap hidup yang tidak mampu bersosialisasi secara
baik.
Sebagai gejala sosial yang sekaligus
merupakan fenomena kehidupan masyarakat di perkotaan, gelandangan diduga telah
ada semenjak lahirnya ciri-ciri kehidupan kota ,
dan hal tersebut berjalan sebagai suatu masalah yang kiranya membesar dan
mereda sesuai dengan tingkat kemakmuran maupun tata nilai yang berlaku di
tengah-tengah kehidupan masyarakat perkotaan.
Berbagai pandangan serta pendapat
telah di kemukakan oleh beberapa pakar menyangkut keberadaan serta lahirnya
kelompok masyarakat yang disebut dengan gelandangan ini, diantaranya pendapat
Artidjo Alkostar, yang menyatakan keberadaan gelandangan sebagai :
“Gelandangan adalah : Insan kesepian dalam keramaian mereka disebut
sebagai orang-orang hidup tidak normal, antara lain karena mereka tidak memiliki
profesi yang mantap” (Ramdlon Naning, 1983: 68).
Berdasarkan pendapat di atas, dimana
dengan tidak adanya jaminan kehidupan dari kaum gelandangan ini, dimana dengan
tidak memiliki pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka
sehari-hari, menimbulkan rasa kekhawatiran sebagian besar masyarakat di mana
kemungkinan terjadinya suatu perbuatan yang dapat mengancam ketenangan serta
ketentraman masyarakat dengan ulah mereka.
Rasa khawatir yang dirasakan anggota
masyarakat terhadap keberadaan kaum gelandangan sangat beralasan, karena
gelandangan ini memberi contoh yang tidak baik bagi tatanan hidup sosial
masyarakat. Ada
kalanya kaum gelandang ini berbuat hal yang kurang baik terhadap masyarakat
untuk memenuhi kebutuhannya.
C. Gelandangan di Tinjau Dari
Pandangan HAM
Keberadaan kaum gelandangan ini,
dilihat dari sudut pandangan Hak Asasi Manusia, 1948, pada pasal 1, dinyatakan
bahwa :
“Seluruh umat manusia dilahirkan merdeka dan setara martabat dan
hak. Mereka dikarunia akal serta nurani dan harus saling bergaul dalam semangat
persaudaraan” (James W. Nickel, 1996: 262).
Dengan demikian kalau kita lihat
berdasarkan ketentuan dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, maka kaum
gelandangan yang juga merupakan bagian dari umat manusia, maka mereka juga
patut dihargai sebagaimana layaknya manusia lain yaitu setara dengan martabat
dan hak-hak sebagaimana yang dimiliki
kelompok atau golongan manusia lainnya.
Maka dalam usaha menjalani sosial
kehidupan mereka, harus ada pertimbangan dari kalangan masyarakat yang lain
untuk mengerti akan situasi hidup yang mereka miliki, dan kalau terlihat suatu
kejanggalan, maka kewajiban dari kelompok lain untuk berupaya menolong mereka
untuk dapat terhindari dari maslaah yang kurang baik tersebut, yang sekaligus
merupakan bukti telah terwujudnya suatu rasa persaudaraan dan sekaligus
membuktikan terjalinnya rasa persatuan bangsa, (sesuai sila ke 2, 3 Pancasila).
Pada pasal 22, Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa :
“Setiap orang, sebagai anggota masyarakat berhak atas jaminan
sosial, serta berhak atas realisasi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang
tidak dapat dicabut, demi martabatnya dan perkembangan kepribadiannya secara
bebas, melalui upaya nasional dan kerjasama internasional serta sesuai dengan
organisasi dan sumberdaya masing-masing negara”. (James W. Nickel, 1996: 266)
Pernyataan tersebut merupakan suatu
ketentuan atas kewajiban dari suatu negara dalam melindungi hak-hak warganya,
yang juga harus di dapat oleh kaum gelandangan, dimana dalam kehidupan sosial
memiliki kekurangan.
Karena merasa tidak mampu beradabtasi
dengan lingkungan sosialnya tersebut, maka mereka lebih senang hidup
berpindah-pindah tanpa tujuan yang pasti sehingga keadaan serta kondisi mereka
lebih banyak memberikan gambaran keadaan sebagai orang yang menderita lahir dan
batin.
Sebagaimana layaknya seorang warga
negara, maka gelandangan juga harus mendapat perhatian dari negara, dan hal
tersebut terungkap dalam pembukaan UUD '45, yang menyatakan bahwa :
“Negara melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia
dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia ”, dalam
pengertian yang terdapat dalam UUD'45 ini, diterima aliran pengertian negara
melindungi segenap bangsa Indonesia
serta meliputi seluruhnya.” (Azhary, 1982: 19-20).
Dengan demikian, maka masalah
gelandangan ini adalah meupakan tanggung jawab negara, dan negara sebagai wadah
untuk dapat memberikan perlindungan pada seluruh masyarakat atau rakyatnya
harus memikirkan bagaimana seharusnya menempatkan sebagian masyarakat yang
hidup secara mengelandang diri.
Hal tersebut sangat erat sekali
kaitannya dengan sila Pancasila, terutama pada sila ke dua : “Kamanusiaan Yang
Adil dan Beradab”, yang secara tegas menyatakan bahwa di Indonesia prinsip ke adilan menempatkan posisi
yang sangat penting agar seluruh bangsa Indonesia dapat hidup layak, dan
serta merasakan keadilan dalam tatanan nilai masyarakat yang beradab (hidup
dalam norma dan kaidah hukum) secara baik.
Adil yang dimaksud juga memberi
makna, bahwa kaum gelandangan ini, tidak boleh diperlakukan sebagai masyarakat
kelas bawah, atau masyarakat sampah sebagaimana kebiasaan beberapa individu
masyarakat yang sering melakukan hal-hal yang tidak baik atau menganggap
gelandangan ini sebagai binatang yang berwujud manusia. Pancasila yang
merupakan pandangan hidup bangsa sangat menentang tindakan sedemikian ini.
Maka dalam mewujudkan sila-sila
Pancasila secara nyata dan konsekwen dalam kehidupan sosial masyarakat
sehari-hari kita sebagai bangsa yang besar dengan moral tinggi dan dengan
kesadaran penuh harus dapat mengamalkan pandangan hidup bangsa yang sekaligus
sebagai landasan Idiil dari negara kita Indonesia .
Khusus dalam masalah yang berkenaan
dengan masalah gelandangan, kalau kita tidak merasa mampu membantu mereka,
hargailah hak-hak mereka sebagai manusia dengan jalan jangan mempelakukan
mereka secara tidak baik, apalagi kalau kita sempat menganiaya meraka, hal
tersebut sangat tidak sesuai atau bertentangan dengan Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia, dan sekaligus bertentangan dengan sila Pancasila.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil uraian yang telah
penulis lakukan untuk dapat dijadikan pedoman serta memudahkan mengingat
hal-hal penting dalam tulisan ini, maka penulis berusaha membuat suatu
kesimpulan, yang antara lain adalah :
1.
Gelandangan adalah suatu
kondisi kehidupan sebagian kecil golongan atau kelompok masyarakat yang secara
sosiologis hidup dalam kondisi yang kurang baik dan memprihatinkan.
2.
Penyebab terjadinya gelandangan
ini atau Tuna Wisma ini karena kurang mampunya mereka beradabtasi dengan tata
nilai budaya atau tata cara kehidupan sosial masyarakat mereka terdahulu,
sehingga mereka berusaha keluar dari kondisi lingkungan sosial tersebut untuk
mencari lingkungan sosial yang baru.
3.
Sistem budaya memberi pengaruh
terhadap tata nilai kehidupan sosial yang dijalani di masyarakat. Maka
perubahan dari sistem budaya yang ada, akan memberi pengaruh bagi tata nilai
sosial masyarakat.
4.
Masalah gelandangan adalah merupakan
fenomena bagi kehidupan masyarakat perkotaan. Mereka pada umumnya adalah kaum
atau kelompok yang merasa tersisih dari sosial kehidupan masyarakat lainnya,
sehingga mereka hidup mengelandang atau berpindah-pindah dari satu tempat ke
tempat lainnya.
5.
Perlakuan yang terjadi pada
mereka oleh sebagian besar masyarakat, kalau dilihat dari sudut pandang sila
Pancasila dan Deklarasi HAM, adalah sesuatu yang sangat bertentangan sekali.
Karena sebagai bagian dari warga masyarakat dan sebagai warga negara, maka
meraka harus dapat menikmati hidup layak dan perlakuan yang baik dari
masyarakat, sebagaimana warga lainnya.
B. Saran
Dalam rangka menegakkan nilai-nilai yang terkandung
dalam sila-sila Pancasila, serta dalam upaya menjunjung tinggi nilai moral dari
pada Hak Asasi Manusia, maka penulis menyarankan :
1.
Pada setiap kelompok atau
golongan masyarakat, agar tidak memperlakukan kaum gelandangan secara tidak
baik, karena mereka juga mempunyai hak sebagaimana yang dimiliki warga lainnya.
2.
Pada Pemerintah, agar terus berusaha
memperbaiki kondisi kehidupan kaum gelandangan ini, agar mereka bisa hidup
berdampingan serta bersosialisasi dengan warga masyarakat lainnya.
3.
Pada Mahasiswa dan kaum
terpelajar lainnya, diharapkan dapat membantu serta membimbing kaum gelandangan
ini, untuk dapat hidup normal sebagaimana warga lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Azhary, (1982). Pancasila dan UUD'45, Jakarta : Ghalia Indonesia .
Bona Sihombing, Frans, (1984). Demokrasi Pancasila
Dalam Nilai-nilai Politik, Jakarta
: Erlangga.
Naning, Ramdlon, (1983). Problema Gelandangan Dalam
Tinjauan Tokoh Pendidikan dan Psikologi, Bandung
: Armico.
Nickel, James W, (1996). Hak Asasi Manusia (Making
Sense of Human Rights), Jakarta
: PT. Gramedia Pustaka Utama.
0 Response to "Masalah Gelandangan Dan Hubungannya Dengan Penegakkan HAM Di Indonesia"
Posting Komentar